Para pecinta sepakbola di Bali Utara, menggelar doa bersama untuk merefleksikan tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Para suporter sepakat berjiwa besar dalam mendukung tim kesayangan, sekaligus menghapus fanatisme berlebihan terhadap klub.
Eka Prasetya, Buleleng
MADE Suprapta tertunduk memandangi lilin yang menyala. Petang itu ia terlibat dalam aksi doa bersama yang digelar di Taman Kota Singaraja. Doa bersama itu sengaja digelar untuk mendoakan korban yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada Sabtu (1/10) lalu.
Suprapta adalah salah satu suporter yang terlibat dalam kegiatan tersebut. ia adalah pendukung kesebelasan Bali United. Khususnya dari kelompok suporter Brigaz Bali. Pria yang akrab disapa Ocik itu rutin menyaksikan pertandingan Bali United di Stadion Kapten Dipta, Gianyar.
Saat mendengar insiden di Stadion Kanjuruhan, ia ikut terhenyak. “Saya bingung, tidak bisa berkata-kata. Kenapa stadion yang dipenuhi pendukung tim tuan rumah, justru terjadi tragedi mengerikan seperti itu,” kata Ocik.
Menurutnya peristiwa itu jadi sejarah kelam dalam sepakbola Indonesia. Insiden itu juga membuat ia melakukan refleksi diri. Bersama rekan-rekannya di kelompok suporter Brigaz Bali wilayah Desa Sulanyah, mereka sepakat menghapus fanatisme berlebihan.
“Kami dan rekan-rekan suporter sadar bahwa tragedi ini jadi refleksi kita semua. Tidak ada pertandingan sepakbola seharga nyawa. Jadi tidak perlu ada fanatisme berlebihan. Persaingan cukup di atas sepakbola, setelah itu kita semua saudara,” ujarnya.
Petang kemarin, komponen suporter sepakat menggelar doa bersama di Taman Kota Singaraja. Doa bersama itu diinisiasi Askab PSSI Buleleng. Kegiatan itu dihadiri sejumlah klub, seperti Persibu Buleleng, Persada Sukasada, Putra Devata Pakisan, Komodo Reborn Futsal Club, Brigaz Bali Korlap Sulanyah, dan Polres Buleleng.
Ketua Umum PSSI Buleleng Gede Suyasa mengatakan insiden di Stadion Kanjuruhan Malang, memicu kesedihan semua pihak. Hal itu menyebabkan luka yang mendalam di dunia olahraga, khususnya sepakbola. Sebab sepakbola seharusnya jadi olahraga yang menghibur, untuk meningkatkan sportivitas, dan profesionalisme dalam olahraga.
“Tapi pertandingan itu memicu insiden yang begitu besar dan untuk pertama kalinya ada ratusan jiwa melayang akibat pertandingan sepakbola. Kami harap ini insiden terakhir dan jadi bagian kewaspadaan bersama,” ujarnya.
Suyasa mengatakan, insiden itu harus jadi refleksi semua pihak. Bahwa dalam setiap pertandingan, selalu ada yang menang maupun pihak yang kalah
“Ini jadi pelajaran berharga agar semua bisa kendalikan diri. Semua pertandingan aka nada menang kalah, yang disadari, menang jangan jumawa, bagi yang kalah harus meningkatkan kemampuan,” katanya. (*)