25.2 C
Jakarta
20 November 2024, 0:13 AM WIB

Pentaskan Drama “Kabar Dari Angin”, Kenang Para Eksil Orde Lama

Dramawan Putu Satria Kusuma selama ini kerap menjadikan sosok Bung Karno dalam drama yang ia tulis.

Terbaru ia menulis sebuah naskah drama berjudul “Kabar Dari Angin”. Naskah itu dipentaskan pada Senin (21/6) malam lalu. Seperti apa ceritanya?

 

EKA PRASETYA, Singaraja 

ALUNAN seruling terdengar lirih. Di atas panggung, sesosok perempuan duduk bersimpuh. Menangis tersedu-sedu.

Teringat sang kekasih yang kini menjadi eksil. Kaum yang tak berani pulang ke tanah air setelah gejolak politik 1965.

Sesaat kemudian perempuan itu bangkit. Ia melihat sosok pujaan hati kembali ke rumah. Ternyata itu hanya angan belaka.

 Bayangan pria itu hilang tertiup angin. Ia harus menerima kenyataan bahwa sang kekasih tak akan kembali. Untuk selamanya.

Penggalan drama itu begitu menyayat hati. Sekaligus mengaduk emosi. Mengingatkan kembali gejolak politik yang terjadi puluhan tahun silam.

Tragedi itu bukan hanya menghilangkan ratusan ribu nyawa. Ribuan orang lain juga terusir dari Indonesia.

Senin (21/6) malam itu drama berjudul “Kabar Dari Angin” itu dipentaskan di panggung terbuka Teater Selem Putih di wilayah Banyuning.

Ada tiga orang aktor yang dilibatkan. Mereka adalah Ni Ketut Santi Sucita Dewi yang memainkan tokoh perempuan, Ketut Purnadha membawakan tokoh kekasih, dan Made Tegeh Okta Maheri sebagai penari kontemporer.

Naskah “Kabar Dari Angin” merupakan naskah yang ditulis oleh dramawan Putu Satria Kusuma. Total ia telah menulis sebelas naskah yang terkait dengan kisah Bung Karno.

Naskah-naskah itu berupa drama pendek dengan durasi 15-20 menit. Seluruh naskah sudah pernah dipentaskan dalam berbagi acara.

Entah itu pementasan independen di Teater Selem Putih, maupun dipentaskan dalam festival-festival tertentu.

Satria sengaja menulis naskah Kabar Dari Angin. Ia mengaku terinspirasi dari para eksil. Pemerintahan orde lama dulunya menugaskan para eksil ini belajar ke luar negeri.

Nantinya mereka diminta pulang ke tanah air, mengimplementasikan ilmu yang diperoleh. Kenyataan berkata lain. Pada 1965 terjadi gejolak politik.

Sehingga mereka memilih tetap tinggal di luar negeri. Mereka tidak berani pulang ke tanah air karena kondisi politik tak mendukung. Hingga kini pun para eksil itu masih berstatus WNA.

“Saya hanya mengingatkan bahwa ini pernah terjadi. Ini fakta yang tidak bisa dipungkiri. Pesannya sederhana saja. Supaya tidak terjadi lagi di masa mendatang,” kata Satria.

Khusus naskah Kabar Dari Angin, menceritakan tentang seorang perempuan yang memiliki kekasih. Pria itu disekolahkan ke luar negeri oleh Bung Karno. Gejolak 1965 pecah. Kekasihnya pun tak bisa kembali ke tanah air.

Orang tuanya memaksa perempuan itu menikah dengan pria yang tak dicintainya. Perempuan itu dipaksa, karena pria yang diajak menikah itu telah menyelamatkan orang tuanya dari pembantaian.

Dalam kesedihan, ia pun terbayang kembali dengan sosok kekasihnya. Untuk proses latihan, Satria mengaku hanya butuh waktu selama sepekan.

Proses latihan dilakukan secara intens. Sebab rencana pementasan sudah beberapa kali molor. Tadinya ia berencana mementaskan naskah itu pada hari lahir Pancasila pada 1 Juni lalu.

“Tapi karena pandemi ini, ada banyak kendala. Akhirnya seminggu ini saya dorong terus. Sehingga pentas hari ini. Saya pun tidak menyangka kalau akhirnya tepat dengan momentum wafatnya Bung Karno,” tuturnya.

Lewat drama ini pula, Satria berharap pemuda tetap meneladani ajaran Trisakti yang digagas Bung Karno.

Yakni berdaulat dalam politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. (*)

Dramawan Putu Satria Kusuma selama ini kerap menjadikan sosok Bung Karno dalam drama yang ia tulis.

Terbaru ia menulis sebuah naskah drama berjudul “Kabar Dari Angin”. Naskah itu dipentaskan pada Senin (21/6) malam lalu. Seperti apa ceritanya?

 

EKA PRASETYA, Singaraja 

ALUNAN seruling terdengar lirih. Di atas panggung, sesosok perempuan duduk bersimpuh. Menangis tersedu-sedu.

Teringat sang kekasih yang kini menjadi eksil. Kaum yang tak berani pulang ke tanah air setelah gejolak politik 1965.

Sesaat kemudian perempuan itu bangkit. Ia melihat sosok pujaan hati kembali ke rumah. Ternyata itu hanya angan belaka.

 Bayangan pria itu hilang tertiup angin. Ia harus menerima kenyataan bahwa sang kekasih tak akan kembali. Untuk selamanya.

Penggalan drama itu begitu menyayat hati. Sekaligus mengaduk emosi. Mengingatkan kembali gejolak politik yang terjadi puluhan tahun silam.

Tragedi itu bukan hanya menghilangkan ratusan ribu nyawa. Ribuan orang lain juga terusir dari Indonesia.

Senin (21/6) malam itu drama berjudul “Kabar Dari Angin” itu dipentaskan di panggung terbuka Teater Selem Putih di wilayah Banyuning.

Ada tiga orang aktor yang dilibatkan. Mereka adalah Ni Ketut Santi Sucita Dewi yang memainkan tokoh perempuan, Ketut Purnadha membawakan tokoh kekasih, dan Made Tegeh Okta Maheri sebagai penari kontemporer.

Naskah “Kabar Dari Angin” merupakan naskah yang ditulis oleh dramawan Putu Satria Kusuma. Total ia telah menulis sebelas naskah yang terkait dengan kisah Bung Karno.

Naskah-naskah itu berupa drama pendek dengan durasi 15-20 menit. Seluruh naskah sudah pernah dipentaskan dalam berbagi acara.

Entah itu pementasan independen di Teater Selem Putih, maupun dipentaskan dalam festival-festival tertentu.

Satria sengaja menulis naskah Kabar Dari Angin. Ia mengaku terinspirasi dari para eksil. Pemerintahan orde lama dulunya menugaskan para eksil ini belajar ke luar negeri.

Nantinya mereka diminta pulang ke tanah air, mengimplementasikan ilmu yang diperoleh. Kenyataan berkata lain. Pada 1965 terjadi gejolak politik.

Sehingga mereka memilih tetap tinggal di luar negeri. Mereka tidak berani pulang ke tanah air karena kondisi politik tak mendukung. Hingga kini pun para eksil itu masih berstatus WNA.

“Saya hanya mengingatkan bahwa ini pernah terjadi. Ini fakta yang tidak bisa dipungkiri. Pesannya sederhana saja. Supaya tidak terjadi lagi di masa mendatang,” kata Satria.

Khusus naskah Kabar Dari Angin, menceritakan tentang seorang perempuan yang memiliki kekasih. Pria itu disekolahkan ke luar negeri oleh Bung Karno. Gejolak 1965 pecah. Kekasihnya pun tak bisa kembali ke tanah air.

Orang tuanya memaksa perempuan itu menikah dengan pria yang tak dicintainya. Perempuan itu dipaksa, karena pria yang diajak menikah itu telah menyelamatkan orang tuanya dari pembantaian.

Dalam kesedihan, ia pun terbayang kembali dengan sosok kekasihnya. Untuk proses latihan, Satria mengaku hanya butuh waktu selama sepekan.

Proses latihan dilakukan secara intens. Sebab rencana pementasan sudah beberapa kali molor. Tadinya ia berencana mementaskan naskah itu pada hari lahir Pancasila pada 1 Juni lalu.

“Tapi karena pandemi ini, ada banyak kendala. Akhirnya seminggu ini saya dorong terus. Sehingga pentas hari ini. Saya pun tidak menyangka kalau akhirnya tepat dengan momentum wafatnya Bung Karno,” tuturnya.

Lewat drama ini pula, Satria berharap pemuda tetap meneladani ajaran Trisakti yang digagas Bung Karno.

Yakni berdaulat dalam politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/