32.6 C
Jakarta
25 April 2024, 15:41 PM WIB

Jadi Lokasi Ideal Amati Migrasi Burung Elang dari Siberia ke Australia

Sejak lima tahun belakangan, Masjid Al-Ikhlas di Bukit Tabuan, di Desa Bukit, Karangasem menjadi sorotan.

Banyak tayangan video di media sosial menayangkan keindahan letak masjid yang berada di ketinggian hingga dijuluki Masjid di Atas Awan.

 

 

ZULFIKA RAHMAN, Amlapura

SUASANA sejuk menyelimuti Banjar Dinas Bukit Tabuan, Desa Bukit Kecamatan Karangasem. Bukit Tabuan menjadi salah satu dari enam banjar muslim yang berada di Desa Bukit.

Terletak diketinggian 1.200 meter dari permukaan laut (Mdpl), wilayah ini bergantung pada perkebunan dan peternakan.

Dikelilingi bukit buntu pada sisi barat, dan laut lepas pada sisi selatan, rumah warga satu dengan lainnya terpisah.

“Bukit Tabuan itu ada banjar induk yang di bawah dan yang di atas itu sekitar 30 KK. Totalnya 150 KK,” kata Hasan Basri, Takmir Masji Al-Ikhlas ditemui Jawa Pos Radar Bali.

Dia mengakui, Bukit Tabuan banyak dikunjungi warga muslim yang penasaran dengan keberadaan Masjid di atas awannya itu.

Bahkan, tidak hanya orang lokal Bali namun dari luar hingga negara tetangga seperti Malaysia, Singapura hingga Turki juga pernah singgah untuk sekadar i’tikaf di masjid yang memiliki luas dua are itu.

“Kesan pertama biasanya sudah jatuh cinta. Mereka sampai I’tikaf beberapa hari. Beberapa kegiatan keagamaan juga sering di gelar di Masjid Al-Ikhlas ini,” terangnya.

Berada di ketinggian 1.200 Mdpl, Masjid Al-Ikhlas sendiri mampu menampung jamaah sholat hingga 150 orang. Masjid ini, kata Hasan Basri, berdiri sekitar tahun 80-an.

Berawal dari mushola kecil, selanjutnya mengalami renovasi di tahun 2008 hingga terakhir dilakukan di tahun 2010 lalu.

“Waktu yang pas mengunjungi masjid itu antara bulan Januari sampai Maret. Karena saat itu kabut cukup tebal.

Sehingga ketika habis sholah subuh selain bisa menikmati sunrise juga menunggu kabut. Serasa berada di atas awan,” katanya.

Padahal jika dilihat dari segi bangunan, Masjid Al-Ikhlas sendiri terbilang sederhana. Didomanisi warna krem, masjid ini memiliki halaman yang juga tidak begitu lebar.

Namun pada sisi atas masjid, ada tempat duduk santai. Dan itu menjadi tempat yang pas untuk menikmati kabut.

Bahkan ketika kabut sudah hilang, suguhan pemandangan juga tak kalah menarik dengan hamparan hutan dan lautan yang cantik.

“Masjid ini cukup menjadi daya tarik wisata religi. Tidak hanya berwisata juga melakukan kegiatan ibadah. Sehingga fungsi masjid tidak hilang,” terangnya.

Soal kegiatan saat bulan puasa. Hasan Basri menuturkan berjalan seperti pada umum. Kegiatannya pun sebatas sholat berjamaah, tarawih dan tadarus. “Berjalan seperti biasanya saja,” imbuhnya. 

Yang tak kalah menarik, ternyata Bukit Tabuan menjadi persinggahan migrasi burung elang dari Siberia, Rusia, menuju Australia. Itu terjadi di bulan Maret. Dan berlangsung tiap tahun.

Ada ratusan burung yang melakukan perjalanan panjang dan singgah di beberapa kawasan hutan di Bukit Tabuan.

“Biasanya pengamat burung itu melakukan pemantauan di Masjid Al-Ikhlas ini. Tapi, kalau memandang dengan mata telanjang, hampir tidak bisa. Kalau pakai alat baru bisa ketahuan. Itu terjadi hampir tiap tahun,” ungkapnya.

Bukit Tabuan tidak hanya dikenal memiliki Masjid di atas awan saja. Tapi, lebih dari itu, masyarakatnya memiliki hubungan yang rukun dengan masyarakat Hindu.

Karena bagi mereka, perbedaan bukan halangan untuk menjadi saudara. Karena jauh sebelum itu, hubungan keakraban keduanya sudah terbangun sejak abad 16.

Ketika Kerajaan Karangasem berhasil menaklukan Kerajaan Sasak, ada banyak warga muslim yang dibawa menuju Karangasem.

Salah satunya Bukit Tabuan ini yang masih menggunakan bahasa sasak sebagai bahasa sehari-hari mereka.

“Awalnya ditempatkan di pinggiran pantai di Desa Seraya. Pada tahun 1720, dipindahkan ke titik nol Bukit Tabuan. Itu letaknya di areal Pura Bhur Bwah Swah,” ucap Hasan.

Di pura tersebut, ada semacam prasasti. Sayangnya kini sudah tidak ada lagi. Di pura itu pula ada pohon dadap yang disakralkan oleh saudara umat Hindu.

Tak jarang masyarakat muslim kerap terlibat bersih-bersih di pura tersebut. Selain itu dilibatkan dalam pengamanan ketika ada upacara keagamaan.

Begitu juga sebaliknya, ketika umat Muslim melakukan kegiatan keagamaan dijaga oleh saudara Hindu.

“Di sana juga kami berencana membangun mushola kecil. Sekadar tempat singgah. Nantinya kami juga akan membuat

miniatur hubunga kekerabatan dengab saudara Hindu. Kami ingin terus menjaga keharmonisan ini selamanya,” tandasnya. (*)

Sejak lima tahun belakangan, Masjid Al-Ikhlas di Bukit Tabuan, di Desa Bukit, Karangasem menjadi sorotan.

Banyak tayangan video di media sosial menayangkan keindahan letak masjid yang berada di ketinggian hingga dijuluki Masjid di Atas Awan.

 

 

ZULFIKA RAHMAN, Amlapura

SUASANA sejuk menyelimuti Banjar Dinas Bukit Tabuan, Desa Bukit Kecamatan Karangasem. Bukit Tabuan menjadi salah satu dari enam banjar muslim yang berada di Desa Bukit.

Terletak diketinggian 1.200 meter dari permukaan laut (Mdpl), wilayah ini bergantung pada perkebunan dan peternakan.

Dikelilingi bukit buntu pada sisi barat, dan laut lepas pada sisi selatan, rumah warga satu dengan lainnya terpisah.

“Bukit Tabuan itu ada banjar induk yang di bawah dan yang di atas itu sekitar 30 KK. Totalnya 150 KK,” kata Hasan Basri, Takmir Masji Al-Ikhlas ditemui Jawa Pos Radar Bali.

Dia mengakui, Bukit Tabuan banyak dikunjungi warga muslim yang penasaran dengan keberadaan Masjid di atas awannya itu.

Bahkan, tidak hanya orang lokal Bali namun dari luar hingga negara tetangga seperti Malaysia, Singapura hingga Turki juga pernah singgah untuk sekadar i’tikaf di masjid yang memiliki luas dua are itu.

“Kesan pertama biasanya sudah jatuh cinta. Mereka sampai I’tikaf beberapa hari. Beberapa kegiatan keagamaan juga sering di gelar di Masjid Al-Ikhlas ini,” terangnya.

Berada di ketinggian 1.200 Mdpl, Masjid Al-Ikhlas sendiri mampu menampung jamaah sholat hingga 150 orang. Masjid ini, kata Hasan Basri, berdiri sekitar tahun 80-an.

Berawal dari mushola kecil, selanjutnya mengalami renovasi di tahun 2008 hingga terakhir dilakukan di tahun 2010 lalu.

“Waktu yang pas mengunjungi masjid itu antara bulan Januari sampai Maret. Karena saat itu kabut cukup tebal.

Sehingga ketika habis sholah subuh selain bisa menikmati sunrise juga menunggu kabut. Serasa berada di atas awan,” katanya.

Padahal jika dilihat dari segi bangunan, Masjid Al-Ikhlas sendiri terbilang sederhana. Didomanisi warna krem, masjid ini memiliki halaman yang juga tidak begitu lebar.

Namun pada sisi atas masjid, ada tempat duduk santai. Dan itu menjadi tempat yang pas untuk menikmati kabut.

Bahkan ketika kabut sudah hilang, suguhan pemandangan juga tak kalah menarik dengan hamparan hutan dan lautan yang cantik.

“Masjid ini cukup menjadi daya tarik wisata religi. Tidak hanya berwisata juga melakukan kegiatan ibadah. Sehingga fungsi masjid tidak hilang,” terangnya.

Soal kegiatan saat bulan puasa. Hasan Basri menuturkan berjalan seperti pada umum. Kegiatannya pun sebatas sholat berjamaah, tarawih dan tadarus. “Berjalan seperti biasanya saja,” imbuhnya. 

Yang tak kalah menarik, ternyata Bukit Tabuan menjadi persinggahan migrasi burung elang dari Siberia, Rusia, menuju Australia. Itu terjadi di bulan Maret. Dan berlangsung tiap tahun.

Ada ratusan burung yang melakukan perjalanan panjang dan singgah di beberapa kawasan hutan di Bukit Tabuan.

“Biasanya pengamat burung itu melakukan pemantauan di Masjid Al-Ikhlas ini. Tapi, kalau memandang dengan mata telanjang, hampir tidak bisa. Kalau pakai alat baru bisa ketahuan. Itu terjadi hampir tiap tahun,” ungkapnya.

Bukit Tabuan tidak hanya dikenal memiliki Masjid di atas awan saja. Tapi, lebih dari itu, masyarakatnya memiliki hubungan yang rukun dengan masyarakat Hindu.

Karena bagi mereka, perbedaan bukan halangan untuk menjadi saudara. Karena jauh sebelum itu, hubungan keakraban keduanya sudah terbangun sejak abad 16.

Ketika Kerajaan Karangasem berhasil menaklukan Kerajaan Sasak, ada banyak warga muslim yang dibawa menuju Karangasem.

Salah satunya Bukit Tabuan ini yang masih menggunakan bahasa sasak sebagai bahasa sehari-hari mereka.

“Awalnya ditempatkan di pinggiran pantai di Desa Seraya. Pada tahun 1720, dipindahkan ke titik nol Bukit Tabuan. Itu letaknya di areal Pura Bhur Bwah Swah,” ucap Hasan.

Di pura tersebut, ada semacam prasasti. Sayangnya kini sudah tidak ada lagi. Di pura itu pula ada pohon dadap yang disakralkan oleh saudara umat Hindu.

Tak jarang masyarakat muslim kerap terlibat bersih-bersih di pura tersebut. Selain itu dilibatkan dalam pengamanan ketika ada upacara keagamaan.

Begitu juga sebaliknya, ketika umat Muslim melakukan kegiatan keagamaan dijaga oleh saudara Hindu.

“Di sana juga kami berencana membangun mushola kecil. Sekadar tempat singgah. Nantinya kami juga akan membuat

miniatur hubunga kekerabatan dengab saudara Hindu. Kami ingin terus menjaga keharmonisan ini selamanya,” tandasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/