27.3 C
Jakarta
21 November 2024, 22:15 PM WIB

Sehari Penuh Pantang Beraktivitas di Sawah, Cari Rumput di Tepi Jalan

Krama subak di Desa Bungkulan punya tradisi unik. Saban tahun mereka melangsungkan tradisi nyepi carik. Seperti apa ritual tersebut?

 

 

EKA PRASETYA, Singaraja 

LAHAN padi terhampar luas di sisi selatan Kantor Perbekel Bungkulan. Bulir-bulir padi mulai tumbuh.

Burung gereja yang selama ini menjadi momok bagi para petani tiap kali bulir padi muncul, tak begitu banyak terlihat di hamparan sawah.

Pag itu suasana terbilang ganjil. Biasanya saban pagi para petani akan mendatangi lahan persawahan mereka.

Entah itu untuk menyiangi gulma, menebar pupuk, atau mengusir burung. Namun pagi kemarin, tak nampak petani yang ada di areal persawahan.

Hanya ada beberapa orang yang sedang mencari rumput untuk pakan ternak. Itu pun hanya rumput yang tumbuh di tepi jalan raya menuju Pantai Bungkulan.

Sementara rumput di pematang sawah, kendati tumbuh lebat, tak disentuh warga. Telisik punya telisik, ternyata kemarin krama subak melakukan tradisi nyepi carik.

Praktis selama sehari penuh, krama subak tak boleh beraktivitas di sawah. Jangankan untuk membajak sawah atau melakukan panen, untuk sekadar mencari sayur gonda atau keong mas di areal persawahan pun tak diizinkan.

Krama hanya boleh mencari pakan rumput untuk pakan ternak mulai pukul 06.00 pagi hingga pukul 18.00 sore. Namun tak banyak mengambil opsi pengecualian itu.

Krama lebih memilih menghormati tradisi. Mereka mencari pakan ternak di luar areal persawahan. Ada pula yang memilih mencari pakan lebih banyak sehari sebelumnya.

Sesepuh di Subak Dalem Desa Bungkulan, Made Rai Pering menuturkan, tradisi itu sudah berlangsung selama puluhan tahun.

Saat masih remaja, ia mengaku sudah melihat langsung pelaksanaan tradisi ini. Sehingga ia tak bisa memastikan sejak kapan tradisi itu terlaksana.

Menurutnya tradisi nyepi carik selalu berlangsung saban tahun. Tradisi ini dilangsungkan sehari setelah rahina purnama kedasa.

Pada tahun ini purnama kedasa jatuh pada Minggu (29/3) lalu. Sehingga nyepi carik terlaksana kemarin.

“Jadi selama sehari ini tidak boleh ada aktivitas apa-apa di sawah. Filosofinya menyepikan sawah, istirahat barang sehari. Ini juga wujud bakti petani pada Ida Bhatara,” ujar Pering yang juga mantan Kelian Subak Dalem itu.

Menurutnya, nyepi carik hanya salah satu rangkaian ritual yang dilaksanakan krama subak dalam satu tahun kalender.

Sejak November 2020 lalu, krama sudah mulai melaksanakan rangkaian ritual. Awalnya krama memohon toya pamungkah di Pura Ulun Swi di Kabupaten Bangli.

Sebulan berselang, krama melakukan matur piuning di Pura Ulun Danu Batur, sekaligus memohon anugerah dari Ida Bhatara yang ber-stana di pura tersebut.

Pada bulan Januari, krama baru mulai mengolah lahan. Dilanjutkan dengan ritual meayu-ayu pada purnama kedasa dan nyepi carik.

Sebulan kemudian pada purnama jiyestha, krama subak akan melangsungkan ngusaba di Pura Desa Bungkulan dan Pura Yang Ai.

Krama yang mengolah lahan di Subak Dalem, Subak Yeh Lembu, dan Subak Lebeha, bertanggungjawab terhadap proses ngusaba di Pura Desa Bungkulan.

Sementara krama di Subak Pungakan, Gulian, dan Yang Ai, bertanggungjawab terhadap ngusaba di Pura Yang Ai. Prosesi itu dilaksanakan pada hari yang sama.

”Ngusaba itu semacam ucap syukur seluruh krama kepada Ida Bhatara, bahwa sudah berhasil mengolah lahan dan memberikan hasil panen yang cukup.

Jadi, nyepi carik ini hanya salah satu bagian dari rangkaian upacara yang sudah ada,” ungkap pria yang sudah 24 tahun menjabat sebagai kelian subak itu.

Selanjutnya rangkaian ritual akan ditutup pada tilem kaenem. Pada momen itu, krama akan melaksanakan upacara yang disebut bayah utang.

“Ini maksudnya bukan bayar hutang secara harfiah. Tapi kami sebagai krama ada kewajiban melaksanakan upacara kepada Ida Bhatara.

Saat upacara itu, kami menyampaikan pada Beliau, bahwa seluruh rangkaian upacara telah terlaksana. Makanya saat upacara itu ada megat sot,” jelasnya.

Kini seiring dengan tradisi nyepi carik, Rai Pering yang kini berusia 78 tahun, berharap agar tradisi itu tetap lestari.

Generasi penerus juga diharapkan dapat meneladani pesan-pesan yang ada dalam rangkaian tradisi tersebut. Tak kalah penting, ia ingin ada pemuda-pemuda yang bersedia terjun sebagai petani. (*)

Krama subak di Desa Bungkulan punya tradisi unik. Saban tahun mereka melangsungkan tradisi nyepi carik. Seperti apa ritual tersebut?

 

 

EKA PRASETYA, Singaraja 

LAHAN padi terhampar luas di sisi selatan Kantor Perbekel Bungkulan. Bulir-bulir padi mulai tumbuh.

Burung gereja yang selama ini menjadi momok bagi para petani tiap kali bulir padi muncul, tak begitu banyak terlihat di hamparan sawah.

Pag itu suasana terbilang ganjil. Biasanya saban pagi para petani akan mendatangi lahan persawahan mereka.

Entah itu untuk menyiangi gulma, menebar pupuk, atau mengusir burung. Namun pagi kemarin, tak nampak petani yang ada di areal persawahan.

Hanya ada beberapa orang yang sedang mencari rumput untuk pakan ternak. Itu pun hanya rumput yang tumbuh di tepi jalan raya menuju Pantai Bungkulan.

Sementara rumput di pematang sawah, kendati tumbuh lebat, tak disentuh warga. Telisik punya telisik, ternyata kemarin krama subak melakukan tradisi nyepi carik.

Praktis selama sehari penuh, krama subak tak boleh beraktivitas di sawah. Jangankan untuk membajak sawah atau melakukan panen, untuk sekadar mencari sayur gonda atau keong mas di areal persawahan pun tak diizinkan.

Krama hanya boleh mencari pakan rumput untuk pakan ternak mulai pukul 06.00 pagi hingga pukul 18.00 sore. Namun tak banyak mengambil opsi pengecualian itu.

Krama lebih memilih menghormati tradisi. Mereka mencari pakan ternak di luar areal persawahan. Ada pula yang memilih mencari pakan lebih banyak sehari sebelumnya.

Sesepuh di Subak Dalem Desa Bungkulan, Made Rai Pering menuturkan, tradisi itu sudah berlangsung selama puluhan tahun.

Saat masih remaja, ia mengaku sudah melihat langsung pelaksanaan tradisi ini. Sehingga ia tak bisa memastikan sejak kapan tradisi itu terlaksana.

Menurutnya tradisi nyepi carik selalu berlangsung saban tahun. Tradisi ini dilangsungkan sehari setelah rahina purnama kedasa.

Pada tahun ini purnama kedasa jatuh pada Minggu (29/3) lalu. Sehingga nyepi carik terlaksana kemarin.

“Jadi selama sehari ini tidak boleh ada aktivitas apa-apa di sawah. Filosofinya menyepikan sawah, istirahat barang sehari. Ini juga wujud bakti petani pada Ida Bhatara,” ujar Pering yang juga mantan Kelian Subak Dalem itu.

Menurutnya, nyepi carik hanya salah satu rangkaian ritual yang dilaksanakan krama subak dalam satu tahun kalender.

Sejak November 2020 lalu, krama sudah mulai melaksanakan rangkaian ritual. Awalnya krama memohon toya pamungkah di Pura Ulun Swi di Kabupaten Bangli.

Sebulan berselang, krama melakukan matur piuning di Pura Ulun Danu Batur, sekaligus memohon anugerah dari Ida Bhatara yang ber-stana di pura tersebut.

Pada bulan Januari, krama baru mulai mengolah lahan. Dilanjutkan dengan ritual meayu-ayu pada purnama kedasa dan nyepi carik.

Sebulan kemudian pada purnama jiyestha, krama subak akan melangsungkan ngusaba di Pura Desa Bungkulan dan Pura Yang Ai.

Krama yang mengolah lahan di Subak Dalem, Subak Yeh Lembu, dan Subak Lebeha, bertanggungjawab terhadap proses ngusaba di Pura Desa Bungkulan.

Sementara krama di Subak Pungakan, Gulian, dan Yang Ai, bertanggungjawab terhadap ngusaba di Pura Yang Ai. Prosesi itu dilaksanakan pada hari yang sama.

”Ngusaba itu semacam ucap syukur seluruh krama kepada Ida Bhatara, bahwa sudah berhasil mengolah lahan dan memberikan hasil panen yang cukup.

Jadi, nyepi carik ini hanya salah satu bagian dari rangkaian upacara yang sudah ada,” ungkap pria yang sudah 24 tahun menjabat sebagai kelian subak itu.

Selanjutnya rangkaian ritual akan ditutup pada tilem kaenem. Pada momen itu, krama akan melaksanakan upacara yang disebut bayah utang.

“Ini maksudnya bukan bayar hutang secara harfiah. Tapi kami sebagai krama ada kewajiban melaksanakan upacara kepada Ida Bhatara.

Saat upacara itu, kami menyampaikan pada Beliau, bahwa seluruh rangkaian upacara telah terlaksana. Makanya saat upacara itu ada megat sot,” jelasnya.

Kini seiring dengan tradisi nyepi carik, Rai Pering yang kini berusia 78 tahun, berharap agar tradisi itu tetap lestari.

Generasi penerus juga diharapkan dapat meneladani pesan-pesan yang ada dalam rangkaian tradisi tersebut. Tak kalah penting, ia ingin ada pemuda-pemuda yang bersedia terjun sebagai petani. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/