DENPASAR– I Dewa Gede Rhadea Prana Prabawa, 34, terdakwa dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang mulai disidangkan kemarin (8/9). Putra sulung mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Buleleng, I Dewa Ketut Puspaka, itu dijerat pasal berlapis.
JPU Kejari Buleleng yang dikoordinir Jaksa Agus Eko Purnomo dalam dakwaan primernya memasang Pasal 12 huruf e UU Tipikor, dan Pasal Pasal 18 ayat 1 huruf a dan b UU yang sama juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara dakwaan subsider kesatu, JPU memakai Pasal 12 huruf e juncto Pasal 15 juncto Pasal 18 ayat 1 huruf a dan b dalam undang-undang yang.
Sedangkan dalam dakwaan primer kedua, JPU menerapkan Pasal 3 juncto Pasal 10 UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara dakwaan subsider kedua, JPU menggunakan Pasal 5 ayat 1 UU Pencegahan dan Pemberantasan TTPU.
Menanggapi pasal berlapis yang digunakan JPU, terdakwa kelahiran Surabaya, 21 Januari 1988, itu mengajukan eksepsi. “Kami keberatan atas dakwaan jaksa,” ujar Gede Indria, pengacara terdakwa.
Indria menilai dakwaan tidak cermat dan kabur. Surat dakwaan yang dibacakan kemarin juga dianggap tidak tepat untuk Radhea. Selain itu, kesimpulan mengenai hasil penghitungan kerugian tidak sinkron dengan jumlah uang yang ditransfer kepada terdakwa. “Kami menilai pasal yang di-juncto-kan yaitu Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP juga kami rasa tidak tepat,” tandas Indria.
Sementara itu, dalam dakwaan JPU dijelaskan, terdakwa Radhea diduga melakukan korupsi dan TPPU bersama ayahnya saat masih menjabat Sekda Buleleng. Perbuatan rasuah itu diduga dilakukan rentang waktu November 2016 hingga 2020.
Puspaka sebagai Sekda Buleleng menjadi broker alias makelar pengurusan izin pembangunan Terminal Penerima dan Distribusi LNG di Celukan Bawang. Proyek lainnya yang diurus adalah penyewaan lahan Desa Adat Yeh Sanih di Kabupaten Buleleng.
Total keseluruhan dana yang diterima saksi Dewa Ketut Puspaka kurang lebih sebesar Rp 12,5 miliar. Salah satunya dana diterima melalui rekening terdakwa Radhea.
Puspaka yang saat ini menjadi terpidana terbukti secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, yaitu PT Titis Sampurna.
Rangkaian korupsi dan TPPU berawal pada 2014 di rumah Puspaka di Desa Bakti Seraga, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Puspaka bertemu dengan saksi Dicky Ahmad Gustyana (Direktur PT Titis Sampurna). Dalam pertemuan tersebut dibahas terkait dengan rencana pembangunan Terminal Penerima dan Distribusi LNG di Celukan Bawang, dan proposal penyewaan lahan Desa Adat Yeh Sanih di Kabupaten Buleleng.
PT Titis Sampurna berencana membangun Kabupaten Buleleng dari sektor energi yang dalam pelaksanaan pembangunannya dilaksanakan oleh anak perusahaan PT Titis Sampurna, yaitu PT Padma Energi Indonesia.cPuspaka kemudian bertemu Budi Indianto (Direktur PT Padma Energi Indonesia) di ruang kerja Puspaka. “Puspaka bersedia membantu dan menjanjikan kelancaran proses pengurusan perizinan-perizinan terkait yang diajukan oleh PT Padma Energi Indonesia,” jelas JPU.
Akhir 2014, saksi Puspaka bersama Direktur CV Singajaya Konsultan yaitu Made Sukawan Adika datang ke Kantor PT Padma Energi Indonesia di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut sekaligus juga membahas masalah pekerjaan dan biaya konsultan.
Pada 2015, Puspaka juga mempunyai keinginan untuk menyewakan lahan Desa Adat Yeh Sanih, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng kepada PT Titis Sampurna. Puspaka telah menyiapkan proposal penyewaan lahan tersebut sehingga PT Titis Sampurna hanya menandatangani proposal yang telah disiapkan Puspaka.
Terkait dengan sewa lahan Desa Adat Yeh Sanih tersebut, PT Titis Sampurna sudah melakukan pembayaran kurang lebih sebesar Rp 12,5 miliar dengan cara ditransfer ke rekening saksi Made Sukawan Andika, Hasyim, Made Chandra Berata dan terdakwa Rhadea.
Uang tersebut sebenarnya diterima Puspaka, tapi sengaja ditampung dulu di rekening beberapa orang. Pada 2016, Puspaka dan Sukawan Adika ke Jakarta meneken surat sewa lahan Yeh Sanih. Salah satu isi kesepakatan dalam perjanjian tersebut adalah nilai sewa lahan sebesar Rp 25 miliar dengan masa sewa lahan selama 40 tahun, dengan luas lahan seluas 58 hektare.
Pada 2018 dilakukan addendum posisi Sukawan Adika digantikan oleh terdakwa Radhea. Setelah terdakwa menggantikan posisi Sukawan Adika dalam surat perjanjian sewa tanah Desa Adat Yeh Sanih, terdakwa mulai melakukan komunikasi dengan saksi Devy Maharani pada 1 Februari 2018. Selanjutnya PT Titis Sampurna beberapa kali melakukan transfer uang ke rekening Bank Danamon milik Rhadea.
“Secara keseluruhan PT Titis Sampurna telah melakukan pembayaran sewa lahan Desa Adat Yeh Sanih melalui transfer ke rekening milik terdakwa sebesar Rp 4,8 miliar,” beber JPU Kejari Buleleng itu.
Dari uang yang diterima terdakwa, tidak ada yang diterima masyarakat Desa Adat Yeh Sanih selaku pemilik lahan, sehingga membuat masyarakat Desa Adat Yeh Sanih merasa dirugikan oleh perbuatan Puspaka.
Uang sewa lahan Desa Adat Yeh Sanih yang telah diterima Puspaka sebesar Rp 12,5 miliar yang “dibungkus” dengan perjanjian sewa lahan yang sebenarnya tidak pernah disewakan. (san)