DENPASAR – Eks Ketua Kadin Anak Agung Ngurah Alit Wiraputra menjalani sidang pertama dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Denpasar pada Senin (17/6).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Gede Raka Arimbawa dalam isi dakwaan menyebut, kasus ini bermula saat korban atas nama Sutrisno hendak berinvestasi di Pelabuhan Benoa.
Sutrisna ingin mendirikan Marina Center, sebuah dermaga tempat bersandar kapal pesiar kecil, hotel, pertokoan, pembangkit listrik kawasan Benoa, depo minyak, pusat budaya, dan terminal penumpang domestik serta internasional.
Lalu, ia pun menghubungi Chandra Wijaya untuk mencari seseorang yang dapat mengurus proses pengajuan perizinan pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa.
Chandra pun menghubungi Made Jayantara, selanjutnya Made Jayantara menghubungi terdakwa Alit Wiraputra yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua kadin Bali.
Kepada Alit, Jayantara meminta agar Alit membantu mengurus proses perizinan dan mempertemukan antara Sutrisno dengan Gubernur Bali.
“Saya bisa Bli, karena saya adalah anak angkat Gubernur Bali bahkan anaknya Gubernur Bali yang bernama Sandoz saja dititipkan kepada saya, saya sanggup mempertemukan Sutrisno Lukito Disastro dengan gubernur Bali,” ujar terdakwa Alit dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa.
Gayung bersambut, Jayantara pun memperkenalkan Alit dengan Chandra.
Kemudian Pada (23/11) bertempat di HIPMI, Jayantara mempertemukan Chandra dan Putu Pasek Sandoz Prawirotama untuk membagi tugas dan peran masing-masing.
Dalam pertemuan itu, Jayantara mengungkapkan Alit memiliki kemampuan untuk mengurus perizinan pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa.
Alasannya, karena Alit mengaku dekat dengan tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama, serta DPRD dan Pemda Provinsi Bali, serta dekat dengan Gubernur Bali.
“Dan mengaku sebagai anak angkat dari Gubernur Bali sehingga bisa mengurusi proyek perizinan pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa,” ujar Jaksa Arimbawa.
Pada akhirnya November Alit pun bertemu dengan Sutrisno didampingi Jayantara dan Chandra di Restoran Kopi Bali, Sanur untuk membicarakan pengurusan izin tersebut.
Kepada Alit, Sutrisno ingin berinvestasi senilai Rp 3 Trilliun di Pelabuhan Benoa.
Sutrisno pun berharap bisa dipertemukan dengan Gubernur Bali.
“Ya pak Tris, saya bisa mempertemukan bapak dengan Gubernur Bali karena saya anak angkat gubernur Bali, dan saya sanggup membantu mengurusi seluruh perizinan proyek pengembangan kawasan pelabuhan Benoa dan segal hal yang pak Tris perlukan dalam pengurusan izin proyek tersebut di Pemprov Bali, bisa saya urus izin -izin dalam waktu secepatnya, ” kata Arimbawa mengulang ucapan Alit.
“Dan saya orang kepercayaan Gubernur Bali, Saya bisa memanggil kepala dinas Pemprov Bali dan Saya bisa melobi DPRD Tingkat I dan Tingkat II, Pelindo, dan tokoh-tokoh masyarakat dan saya sanggup menyelesaikan izin-izin proyek pengembangan pelabuhan dalam kurun waktu enam bulan untuk pengurusan izin proyek tersebut saya minta uang operasional dibayar didepan sebesar Rp 6 miliar dan sisanya sebesar Rp 24 miliar bisa dibayar bertahap dan dilunasi secara perjanjian, ” kata Arimbawa kembali mengulang Alit.
Sutrisno pun setuju dengan permintaan Alit asal bisa dipertemukan dengan Gubernur Bali. Lalu, tanggal 26 Januari 2012, keduanya pun membuat kesepakatan diatas hitam dan putih.
Dalam prosesnya, pada Juni 2013, terbit surat Bappeda Pemprov Bali Nomor 650/1692/Bapedda tentang Feasibility Study dan surat yang sama juga keluar pada 21 Januari 2014 dari DPRD Bali Nomor 443.4/185/DPRD.
Namun, kedua surat tersebut bukan surat yang diinginkan Sutrisno. Sutrisno perlu surat rekomendasi dari Gubernur.
Surat itu cuma syarat kelengkapan mengajukan surat permohonan rekomendasi dari Gubernur Bali.
Namun, Sutrisno telah memberi uang sebesar Rp 16,1 miliar. Karena Tak kunjung mendapatkan surat rekomendasi, Sutrisno yang merasa tertipu akhirnya menyeret Alit ke meja hijau.