29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:19 AM WIB

Ahli Hukum Sebut Kasus Bule Irlandia Bukan Penganiayaan, Ini Dasarnya

DENPASAR – Sidang kasus dugaan tindak pidana penganiayaan dengan terdakwa warga asing asal Irlandia bernama Ciaran Francis Caulfield

terhadap korban Ni Made Widyastuti Pramesti kembali berjalan di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa (18/8).

Dalam sidang kali ini, kuasa hukum terdakwa menghadirkan saksi ahli pidana dari Fakultas Hukum Universitas Udayana Gede Made Suardana.

Dalam sidang dengan majelis hakim yang diketuai Putu Gde Novyartha itu, kuasa hukum terdakwa, Chandra Katharina Nutz bertanya kepada saksi Gede Made Suardana perihal definisi penganiayaan.

Lalu dijawab oleh Suardana bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan”.

Namun, menurut yurisprudensi, kata dia, maka yang diartikan dengan “penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak atau penderitaan, rasa sakit, dan luka.

“Kendati demikian, penganiayaan bisa disebut bukan perbuatan penganiayaan jika dilakukan karena hal lain. Misalnya ketika saya mengajar, dan ada mahasiswa yang bercanda atau ribut

terus saya lempar bolpoin dan membuat mahasiswa tersebut luka, ini bisa dikatakan bukan penganiayaan karena tidak ada niat awal untuk menganiaya,” jelas Suardana. 

Selanjutnya saat kuasa hukum bertany perihal visum, dia menjelaskan bahwa tindakan visum umumnya dilakukan setelah ada laporan dari korban ke polisi.

Itu dilakukan jika polisi memandang bahwa hal itu memang perlu dilakukan. Ditemui usai sidang, Gede Made Suardana menyatakan, apa yang disampaikan di muka sidang murni pendapatannya sebagai ahli pidana.

Ia juga menegaskan tidak ada kepentingan apapun dalam kasus ini apalagi dirinya sebagai saksi.

Terkait kasus yang menjerat terdakwa, Made Suardana berpandangan jika terdakwa tidak layak dikenakan Pasal 351 KUHP, namun yang tepat yakni Pasal 352 KUHP.

“Kalau melihat kasus ini, visumnya sudah tiga hari dari peristiwa pertama terjadi. Semestinya dia lapor dulu ke polisi, baru minta visum.

Kalau yang saya dapat baca dari berita, hasil visum ditemukan luka baru, ini seolah saksi korban sendiri yang melakukan.

Sehingga saya menjelaskan kepada hakim bahwa pasal 351 KUHP tidak tepat, kalau ke 352 KUHP lebih riil jatuhnya,” tegas ahli hukum pidana dan kriminologi Fakultas Hukum Universitas Udayana ini. 

Sebelumnya, dua orang saksi juga dihadirkan dalam sidang. Kedua saksi tersebut yakni Lilik selaku waitress di Vila Kubu dan Arjana, Chief Security di Vila Kubu.

Dalam kesaksiannya, Lilik sempat mengaku melihat saksi korban, Ni Made Widyastuti Pramesti berjalan hendak mandi serta minta air di restoran.

“Saat itu jalannya biasa saja dan tidak pincang serta tidak ada luka,” jelasnya. Sementara saksi Arjana mengatakan, ketika berada di pos satpam, dirinya didatangi saksi korban.

Saat itu, saksi korban berkata jika suaminya datang agar menelepon ke extension 167 (kantor housekeeping).

“Di dalam kantor housekeeping ada telepon yang bisa dipakai. Dan, Pramesti bilang jika suaminya datang agar menelpon ke kantor housekeeping,” ucap saksi Arkana.

Tak lama, saksi melihat Pramesti ke depan untuk berbicara dengan suaminya. Saksi juga menyatakan saat berjalan kondisi Pramesti biasa dan tidak ada luka.

Dalam persidangan, saksi Arjana mengungkapkan, pada saat polisi datang setelah dipanggil mengenai kasus penggelapan, mereka memberikan saran untuk melaporkan kasus tersebut karena nilai yang digelapkan cukup tinggi.

Namun, Ciaran selaku owner vila merasa kasihan dengan saksi korban dan akhirnya memutuskan bahwa ia tidak melaporkan kasus tersebut.

“Pak Ciaran mengatakan kepada polisi tidak jadi melaporkan Pramesti karena mau menyelesaikan dengan cara kekeluargaan,” tandas saksi. 

DENPASAR – Sidang kasus dugaan tindak pidana penganiayaan dengan terdakwa warga asing asal Irlandia bernama Ciaran Francis Caulfield

terhadap korban Ni Made Widyastuti Pramesti kembali berjalan di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa (18/8).

Dalam sidang kali ini, kuasa hukum terdakwa menghadirkan saksi ahli pidana dari Fakultas Hukum Universitas Udayana Gede Made Suardana.

Dalam sidang dengan majelis hakim yang diketuai Putu Gde Novyartha itu, kuasa hukum terdakwa, Chandra Katharina Nutz bertanya kepada saksi Gede Made Suardana perihal definisi penganiayaan.

Lalu dijawab oleh Suardana bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan”.

Namun, menurut yurisprudensi, kata dia, maka yang diartikan dengan “penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak atau penderitaan, rasa sakit, dan luka.

“Kendati demikian, penganiayaan bisa disebut bukan perbuatan penganiayaan jika dilakukan karena hal lain. Misalnya ketika saya mengajar, dan ada mahasiswa yang bercanda atau ribut

terus saya lempar bolpoin dan membuat mahasiswa tersebut luka, ini bisa dikatakan bukan penganiayaan karena tidak ada niat awal untuk menganiaya,” jelas Suardana. 

Selanjutnya saat kuasa hukum bertany perihal visum, dia menjelaskan bahwa tindakan visum umumnya dilakukan setelah ada laporan dari korban ke polisi.

Itu dilakukan jika polisi memandang bahwa hal itu memang perlu dilakukan. Ditemui usai sidang, Gede Made Suardana menyatakan, apa yang disampaikan di muka sidang murni pendapatannya sebagai ahli pidana.

Ia juga menegaskan tidak ada kepentingan apapun dalam kasus ini apalagi dirinya sebagai saksi.

Terkait kasus yang menjerat terdakwa, Made Suardana berpandangan jika terdakwa tidak layak dikenakan Pasal 351 KUHP, namun yang tepat yakni Pasal 352 KUHP.

“Kalau melihat kasus ini, visumnya sudah tiga hari dari peristiwa pertama terjadi. Semestinya dia lapor dulu ke polisi, baru minta visum.

Kalau yang saya dapat baca dari berita, hasil visum ditemukan luka baru, ini seolah saksi korban sendiri yang melakukan.

Sehingga saya menjelaskan kepada hakim bahwa pasal 351 KUHP tidak tepat, kalau ke 352 KUHP lebih riil jatuhnya,” tegas ahli hukum pidana dan kriminologi Fakultas Hukum Universitas Udayana ini. 

Sebelumnya, dua orang saksi juga dihadirkan dalam sidang. Kedua saksi tersebut yakni Lilik selaku waitress di Vila Kubu dan Arjana, Chief Security di Vila Kubu.

Dalam kesaksiannya, Lilik sempat mengaku melihat saksi korban, Ni Made Widyastuti Pramesti berjalan hendak mandi serta minta air di restoran.

“Saat itu jalannya biasa saja dan tidak pincang serta tidak ada luka,” jelasnya. Sementara saksi Arjana mengatakan, ketika berada di pos satpam, dirinya didatangi saksi korban.

Saat itu, saksi korban berkata jika suaminya datang agar menelepon ke extension 167 (kantor housekeeping).

“Di dalam kantor housekeeping ada telepon yang bisa dipakai. Dan, Pramesti bilang jika suaminya datang agar menelpon ke kantor housekeeping,” ucap saksi Arkana.

Tak lama, saksi melihat Pramesti ke depan untuk berbicara dengan suaminya. Saksi juga menyatakan saat berjalan kondisi Pramesti biasa dan tidak ada luka.

Dalam persidangan, saksi Arjana mengungkapkan, pada saat polisi datang setelah dipanggil mengenai kasus penggelapan, mereka memberikan saran untuk melaporkan kasus tersebut karena nilai yang digelapkan cukup tinggi.

Namun, Ciaran selaku owner vila merasa kasihan dengan saksi korban dan akhirnya memutuskan bahwa ia tidak melaporkan kasus tersebut.

“Pak Ciaran mengatakan kepada polisi tidak jadi melaporkan Pramesti karena mau menyelesaikan dengan cara kekeluargaan,” tandas saksi. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/