Big data. Algoritma. Dua kata itu kini jadi mantra baru.
Barang siapa bisa mendapatkan big data dan mampu mengolahnya melalui algoritma dialah jagonya. Jago apa saja: bisnis, politik, intelijen, pengelolaan kesehatan, sampai ke menjual bra dan celana dalam.
Algoritma bisa menguraikan onggokan data seruwet dan secampur-aduk apa pun menjadi informasi nyata. Big data adalah onggokan data ruwet yang jumlahnya mencapai exabytes. Satu exabytes adalah 1.000 petabytes. Satu petabytes adalah 1.000 terabytes.
Bayangkan gunungan data bertriliun megabyte itu bisa diurai oleh algoritma: bisa dipilah-pilah mana emas, perak, tembaga, mangaan, bijih besi, pasir, tahi ayam dan sperma masing-masing suku, ras, agama sampai pengikut Setya Novanto.
Pertanyaannya: apakah di Pemilu 2019 nanti dua mantra itu sudah akan memainkan peran utama?
Donald Trump sudah menggunakannya. Lewat Facebook. Menang. Padahal semua pooling menyatakan Hillary Clintonlah yang unggul.
Belakangan, ketika penggunaan big data ini terungkap, harga saham Facebook jatuh pingsan. Tapi Hillary toh sudah terlanjur kalah.
Dalam waktu dekat Malaysia juga segera berpemilu. Partai petahana (Barisan Nasional, UMNO) dan Pakatan Harapan bersaing frontal. Kampanye meningkat kian panas.
Padahal kapan Pemilunya belum ditetapkan. Suka-suka yang lagi berkuasa. Hanya disebutkan: tahun ini. Bulan apa belum jelas. Hanya disebutkan: kemungkinan April ini. Tanggal berapa belum disebutkan. Bisa-bisa ditetapkan secara mendadak. Yang lagi berkuasalah yang menetapkan. Tanggalnya akan dicari yang bisa membuat petahana menang.
Big data, di Malaysia sudah menjadi bagian perang. Tiba-tiba saja, minggu lalu parlemen mengagendakan perubahan batas-batas daerah pemilihan (dapil). Oposisi, yang dipimpin Mahathir Muhamad, menuduh itu bagian dari siasat penguasa agar calegnya tidak kalah.
Hasil algoritma big data di sana rupanya mengindikasikan kekalahan di dapil tertentu. Karena itu batas distrik perlu digeser.
Di India yang demokrasinya mirip kita soal big data dan algoritma juga lagi jadi topik politik. Penguasaan IT di India tergolong maju. Big data akan menjadi obyek penting dalam pelaksanaan demokrasi di sana.
Saya menyerah di sini.
Saya murid di era yang belum ada pelajaran matematika. Nilai rapot aljabar saya di madrasah dulu merah.
Tapi anak muda sekarang mulai asyik beralgoritma. Sadar nilai rupiah di baliknya.
Di Indonesia, saya mulai mendengar ada partai yang sangat sadar big data. Tanpa biaya besar, tanpa tokoh terkenal, tanpa gembar-gembor partai itu bisa lolos KPU. Mengalahkan partai seperti PKPI yang dimotori jendral sundul langit Hendropriyono. Juga nyaris mempermalukan Partai Bulan Bintang dengan mataharinya Yusril Ihza Mahendra: kok tidak lolos.
Untung akhirnya lolos. Meski kartu suara simulasi partai lain terlanjur tidak sempat mencantumkan PBB sebagai peserta pemilu.
Ilmuwan politik, pejuang demokrasi, dan para mahasiswa sudah harus membicarakan ini. Bagaimana big data akan mempengaruhi demokrasi kita. Bagaimana big data akan mereduksi peran ulama, peran istikharah, peran tim sukses dan bahkan sampai peran politik uang.
Akankah era big data akan menjadi akhir era demokrasi?
Zaman smartphone telah membawa konsekuensi bagi kehidupan demokrasi. Big data sudah terlanjur ada di tangan pihak ketiga.
Data-data pribadi Anda sudah dikuasai pihak yang ingin memanfaatkannya. Baik untuk kepentingan bisnis, politik maupun jualan kondom.
Big data yang diolah dengan algoritma akan langsung bisa mengerucut pada dapil. Bahkan pada lingkup TPS.
Selamat datang Pemilu big data!(dis)