Ternyata masih banyak ternyata warga Buleleng yang hidup di bawah garis kemiskinan. Seorang pria paruh baya hidup selama bertahun-tahun dengan kondisi fisik yang tidak normal dan hidup di gubuk yang nyaris roboh.
JULIADI, Seririt
SUNGGUH memprihatinkan melihat kondisi Ketut Yasa, 40, warga Banjar Padama Sari, Desa Kalianget, Seririt, Buleleng ini.
Seumur hidup, Yasa hidup sebatang kara. Dalam kondisi demikian papa, Yasa ternyata seorang penyandang disabilitas yang mengidap penyakit diabetes alias kencing manis.
Meski punya keluarga, namun tak ada yang peduli pada Yasa. Dia pun harus menjalani kehidupan dengan menempati rumah berukuran 2 x 2 meter jauh dari kata layak huni.
Kondisi rumahnya tambal sulam, bak warga miskin kota. Mulai dari tembok rumah yang ditutupi kardus, seng, triplek, dan kain bekas. Sementara atap rumah terbuat dari seng bekas seadanya.
“Sekitar 5 tahun lebih saya tinggal di gubuk ini. Dulu ada rumah warisan bapak, namun sudah roboh,” tutur Ketut Yasa ditemui sambil duduk mengupas buah pohon asem kemarin.
Menurut Yasa, kakinya sakit tidak dapat berjalan seperti orang normal karena bawaan sejak lahir ke dunia.
Sebelum orang tuanya meninggal, beberapa kali dia melakukan proses pengobatan secara medis dan non medis. Namun tak pernah berhasil.
“Kedua kaki saya bengkak, kalau berjalan terasa berat sekali. Sehingga harus menggunakan tongkat,” kata Yasa.
Diakui Yasa, untuk hidup dan makan sehari-hari dirinya mengandalkan pemberian tetangga rumah. Meski kondisinya seperti ini, Yasa tak pernah menyerah dengan hidupnya.
Untuk sekedar beli es dan makan lainnya, dia harus menjual buah asem dan kembang (bunga) jepun yang dia pungut dari kebun warga.
Kendati sudah bertahun-tahun tinggal di rumah reyot hingga saat ini dari desa dan pemerintah daerah belum ada perhatian sama sekali.
“Hanya sekali dulu saya sempat diberikan sembako oleh pemerintah. Sedangkan untuk program bedah rumah belum ada,” ungkapnya.
Tidak hanya kondisi rumah yang reyot, tetapi Yasa juga tidak memilik jamban dan kamar mandi. Bahkan e-KTP, kartu miskin dan KIS juga dia tak miliki.
Sementara listrik harus nyantel ke rumah penduduk lainnya karena dirinya tak memiliki kilometer listrik.
“Mandi ya di sungai atau numpang ke rumah warga,” imbuh Yasa. Dengan kondisi rumahnya yang reyot, Yasa berharap pemerintah dapat membangun rumahnya.
“Saya takut tempati rumah, karena bisa saja roboh sewaktu-waktu. Apalagi musim hujan angin, tampiasan air hujan masuk ke rumah,” pungkasnya. (*)