29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:35 AM WIB

Sempat Tekuni Dunia Spiritual, Sika Galeri Diteruskan Sang Putra

Maestro lukis yang juga pemilik Sika Galeri, I Wayan Sika, berpulang pada Sabtu tengah malam (4/1) pukul 24.00.

Jasadnya telah dikuburkan di setra Desa Silakarang, Kecamatan Sukawati pada Senin (6/1). Sang putra, Made Aswino Aji, mengenang aktivitas almarhum sebelum meninggal.

 

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

USAI pemakaman sang maestro, kediaman I Wayan Sika di Jalan Silakarang, Desa Singapadu Kaler, Kecamatan Sukawati masih dikunjungi kerabat.

Sang putra kedua I Made Aswino Aji, mengaku penguburan ayahnya berlangsung Senin lalu. “Penguburan biasa. Karena nanti akan diikutkan ngaben masal,” ujar Made Aswino Aji kemarin.

Keluarga dan Aswino sendiri tak menyangka dengan kepergian ayahnya. “Bapak sehari-hari di galeri (Ubud, red). Pagi sempat pulang bersih-bersih, cukur rambut.

Kalau potong rambut sama paman. Pulang lagi ke Ubud. Bilang pegal capek. Minta dipijitin. Adikku pijetin,” jelasnya.

Setelah merasa enakan, kata Aswino, Sika, tidur. Ternyata, sekitar pukul 24.00, ayahnya lemas. “Nggak ada riwayat sakit.

Sempat dibawa ke Rumah Sakit Ari Canti. Kami minta kepastian. Dokter bilang sudah meninggal. Kata dokter jantung,” ujarnya.

Sika meninggal di usia 70 tahun meninggalkan seorang istri Dwiatmi, dengan tiga anak. Yakni Putu Krisnawati seorang PNS, Made Aswino Aji dan Komang Astri seorang wiraswasta.

“Nanti saya yang teruskan di Sika Galeri di Campuhan. Saya kelola galeri. Saya juga seniman, kuliah di ISI Jogja. Kayak bapak juga kuliah di Jogja juga,” terangnya.

Sebagai seniman muda, Aswino banyak belajar dari ayahnya. Meski beda gaya melukis, namun ayahnya banyak membagi ilmu.

“Sekarang saya bikin Art Bali di Nusa Dua, sama teman satu kuliah dari Jogja,” jelasnya. Art Bali itu diisi lukisan terakhir Sika bergaya abstrak. “Lukisan terakhir bapak dibuat 2019, dipajang di Nusa Dua,” jelasnya.

Diakui, lukisan terakhir itu sebetulnya karena permintaan dari Aswino sendiri yang membuat gedung di Nusa Dua.

“Karena bapak sudah lama nggak melukis, cenderung ke spiritual. Sebetulnya sejak muda ke spritual. Namun bapak sempat sakit, mati suri.

Nunas bawos (minta petunjuk, red) disuruh ngiring. Sebagai anak saya ditanya, sanggup nggak jalani (dunia seni, red). Saya bilang sanggup. Besok paginya bapak bangun,” kenangnya.

Menurut keluarga, Sika dianggap sudah medwijati atau semacam prosesi menjadi sulinggih. “Sudah nyeda rage. Bukan di rumah pendeta, tapi di pura Puncak Mundi. Itu hasil nunas bawos. Namun tidak menjalani seperti sulinggih,” terangnya.

Setelah cenderung ke spritual, Sika yang sempat merancang program pertukaran seniman Bali-Jogja itu banyak mundur dari kegiatan seni.

Di antaranya mundur sebagai Ketua Sanggar Dewata. “Bapak minta diganti. Harus ada regenerasi. Gak mau terus-terusan. Harus ada ide baru untuk pengembangan,” tukasnya. (*)

Maestro lukis yang juga pemilik Sika Galeri, I Wayan Sika, berpulang pada Sabtu tengah malam (4/1) pukul 24.00.

Jasadnya telah dikuburkan di setra Desa Silakarang, Kecamatan Sukawati pada Senin (6/1). Sang putra, Made Aswino Aji, mengenang aktivitas almarhum sebelum meninggal.

 

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

USAI pemakaman sang maestro, kediaman I Wayan Sika di Jalan Silakarang, Desa Singapadu Kaler, Kecamatan Sukawati masih dikunjungi kerabat.

Sang putra kedua I Made Aswino Aji, mengaku penguburan ayahnya berlangsung Senin lalu. “Penguburan biasa. Karena nanti akan diikutkan ngaben masal,” ujar Made Aswino Aji kemarin.

Keluarga dan Aswino sendiri tak menyangka dengan kepergian ayahnya. “Bapak sehari-hari di galeri (Ubud, red). Pagi sempat pulang bersih-bersih, cukur rambut.

Kalau potong rambut sama paman. Pulang lagi ke Ubud. Bilang pegal capek. Minta dipijitin. Adikku pijetin,” jelasnya.

Setelah merasa enakan, kata Aswino, Sika, tidur. Ternyata, sekitar pukul 24.00, ayahnya lemas. “Nggak ada riwayat sakit.

Sempat dibawa ke Rumah Sakit Ari Canti. Kami minta kepastian. Dokter bilang sudah meninggal. Kata dokter jantung,” ujarnya.

Sika meninggal di usia 70 tahun meninggalkan seorang istri Dwiatmi, dengan tiga anak. Yakni Putu Krisnawati seorang PNS, Made Aswino Aji dan Komang Astri seorang wiraswasta.

“Nanti saya yang teruskan di Sika Galeri di Campuhan. Saya kelola galeri. Saya juga seniman, kuliah di ISI Jogja. Kayak bapak juga kuliah di Jogja juga,” terangnya.

Sebagai seniman muda, Aswino banyak belajar dari ayahnya. Meski beda gaya melukis, namun ayahnya banyak membagi ilmu.

“Sekarang saya bikin Art Bali di Nusa Dua, sama teman satu kuliah dari Jogja,” jelasnya. Art Bali itu diisi lukisan terakhir Sika bergaya abstrak. “Lukisan terakhir bapak dibuat 2019, dipajang di Nusa Dua,” jelasnya.

Diakui, lukisan terakhir itu sebetulnya karena permintaan dari Aswino sendiri yang membuat gedung di Nusa Dua.

“Karena bapak sudah lama nggak melukis, cenderung ke spiritual. Sebetulnya sejak muda ke spritual. Namun bapak sempat sakit, mati suri.

Nunas bawos (minta petunjuk, red) disuruh ngiring. Sebagai anak saya ditanya, sanggup nggak jalani (dunia seni, red). Saya bilang sanggup. Besok paginya bapak bangun,” kenangnya.

Menurut keluarga, Sika dianggap sudah medwijati atau semacam prosesi menjadi sulinggih. “Sudah nyeda rage. Bukan di rumah pendeta, tapi di pura Puncak Mundi. Itu hasil nunas bawos. Namun tidak menjalani seperti sulinggih,” terangnya.

Setelah cenderung ke spritual, Sika yang sempat merancang program pertukaran seniman Bali-Jogja itu banyak mundur dari kegiatan seni.

Di antaranya mundur sebagai Ketua Sanggar Dewata. “Bapak minta diganti. Harus ada regenerasi. Gak mau terus-terusan. Harus ada ide baru untuk pengembangan,” tukasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/