29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 0:58 AM WIB

Suami Divonis Dua Tahun, Istri Langsung Pingsan di Depan Sidang

Sidang pembacaan putusan kasus pemalsuan dokumen dengan terdakwa R Gerard Arta Warmadewa di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Kamis (7/9) berlangsung heboh dan dramatis.

DIDIK DWI PRAPTONO, Denpasar

PROSES sidang pembacaan kasus pemalsuan dokumen dengan terdakwa R Gerard Arta Warmadewa, awalnya berlangsung normal. Bahkan, seperti proses sidang lainnya, jaksa, majelis hakim maupun jaksa penuntut serta terdakwa duduk sesuai tempat masing-masing.

Suasana ruang sidang pun hening, dan yang terdengar hanya suara pimpinan majelis hakim saat membacakan amar putusan. 

Namun suasana menjadi sedikit tegang saat pimpinan majelis hakim membacakan putusan dan menjatuhkan hukuman pidana 2 tahun kepada terdakwa R Gerard Arta Warmadewa.

 

Istri terdakwa, Sienny Karmana, 40, yang sebelumnya berdiri di ruang paling belakang mendadak pingsan di ruang sidang setelah mendengar putusan majelis hakim pimpinan I Made Pasek.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pemalsuan dokumen sesuai pasal 263 ayat (1) KUHP dan menjatuhkan hukuman fisik kepada terdakwa.

“Menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada terdakwa,” ujar majelis hakim membacakan putusan di hadapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Suhadi dan terdakwa yang didampingi kuasa hukumnya, Edward Pangkahila dkk.

Medengar putusan tersebut, istri terdakwa yang berada di ruang sidang langsung ambruk tak sadarkan diri. Keluarga dan kerabatnya yang juga ada di ruang sidang langsung membawa Sienny keluar sidang.

Setelah mendapat perawatan, Sienny akhirnya sadar dan kembali menjenguk suaminya yang sudah berada di sel tahanan PN Denpasar.

Penasehat hukum terdakwa, Edward Pangkahila yang ditemui mengatakan istri korban shock setelah mendengar putusan hakim yang menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara kepada suaminya.

Pasalnya, melihat fakta persidangan, pihaknya sangat yakin jika terdakwa Gerard tidak bersalah karena perkara ini masuk ranah perdata.

“Kami sangat yakin kalau hakim akan memutus onslag (bukan pidana melainkan perdata). Tapi putusan mengatakan lain dan menyatakan terdakwa bersalah,” jelas Edward dengan nada kecewa.

Ia mengatakan perkara ini bermula dari kerjasama antara terdakwa Gerard dan rekannya, Slamet H (korban) pada 2013 lalu. Dalam kerjasama ini juga berisi perjanjian jual beli tanah milik Slamet yang akan dibeli terdakwa.

Di atas tanah ini nantinya akan dipecah menjadi tiga (kavling) dan akan dibangun tiga buah rumah. “Sesuai permintaan korban dibuatlah kwitansi Rp 2 miliar seolah-olah sudah terjadi jual beli antara keduanya,” jelasnya.

Nantinya, Gerard akan membangun tiga unit rumah di atas lahan milik Slamet ini. Setiap unit bangunan yang laku, sebagian uangnya akan digunakan untuk melunasi pembayaran tanah milik Slamet.

Awalnyaya satu unit rumah selesai dan laku terjual. Terdakwa memberikan sebagian hasil penjualan kepada korban. Masalah muncul saat pembangunan rumah kedua.

Pihak korban ingin menguasai lahan tersebut dan membatalkan kerjasama. “Korban juga langsung lapor penipuan ke Polda Bali,” jelasnya.

Saat penyelidikan di kepolisian, ditemukanlah bukti baru yaitu kwitansi jual beli antara terdakwa dan korban. Saat dikonfrontir, korban mengaku tidak pernah melakukan jual beli dan menyatakan tanda tangan di kwitansi tersebut palsu.

Akhirnyaya penyidik membuat laporan polisi baru yaitu pemalsuan tanda tangan hingga akhirnya terdakwa duduk di kursi pesakitan.

“Padahal jelas kalau ide membuat kwitansi jual beli tersebut dari pihak korban dan korban juga yang tanda tangan. Tapi di penyidik dia membantah,” lanjut Edward.

Dalam persidangan juga terungkap fakta menarik dimana korban dan kuasa hukumnya menggunakan putusan palsu ke persidangan.

“Majelis hakim mengecek bukti yang diajukan dan ternyata palsu. Meski masuk dalam pertimbangan dalam putusan, namun hakim tetap menyatakan terdakwa bersalah,” bebernya.

Dengan putusan ini, terdakwa langsung menyatakan banding. Sementara JPU Suhadi menyatakan menerima putusan meski jauh dari tuntutan sebelumnya yaitu 4 tahun penjara.

“Kami putuskan banding karena kami menganggap perkara ini merupakan ranah perdata,” pungkas Edward. 

Sidang pembacaan putusan kasus pemalsuan dokumen dengan terdakwa R Gerard Arta Warmadewa di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Kamis (7/9) berlangsung heboh dan dramatis.

DIDIK DWI PRAPTONO, Denpasar

PROSES sidang pembacaan kasus pemalsuan dokumen dengan terdakwa R Gerard Arta Warmadewa, awalnya berlangsung normal. Bahkan, seperti proses sidang lainnya, jaksa, majelis hakim maupun jaksa penuntut serta terdakwa duduk sesuai tempat masing-masing.

Suasana ruang sidang pun hening, dan yang terdengar hanya suara pimpinan majelis hakim saat membacakan amar putusan. 

Namun suasana menjadi sedikit tegang saat pimpinan majelis hakim membacakan putusan dan menjatuhkan hukuman pidana 2 tahun kepada terdakwa R Gerard Arta Warmadewa.

 

Istri terdakwa, Sienny Karmana, 40, yang sebelumnya berdiri di ruang paling belakang mendadak pingsan di ruang sidang setelah mendengar putusan majelis hakim pimpinan I Made Pasek.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pemalsuan dokumen sesuai pasal 263 ayat (1) KUHP dan menjatuhkan hukuman fisik kepada terdakwa.

“Menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada terdakwa,” ujar majelis hakim membacakan putusan di hadapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Suhadi dan terdakwa yang didampingi kuasa hukumnya, Edward Pangkahila dkk.

Medengar putusan tersebut, istri terdakwa yang berada di ruang sidang langsung ambruk tak sadarkan diri. Keluarga dan kerabatnya yang juga ada di ruang sidang langsung membawa Sienny keluar sidang.

Setelah mendapat perawatan, Sienny akhirnya sadar dan kembali menjenguk suaminya yang sudah berada di sel tahanan PN Denpasar.

Penasehat hukum terdakwa, Edward Pangkahila yang ditemui mengatakan istri korban shock setelah mendengar putusan hakim yang menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara kepada suaminya.

Pasalnya, melihat fakta persidangan, pihaknya sangat yakin jika terdakwa Gerard tidak bersalah karena perkara ini masuk ranah perdata.

“Kami sangat yakin kalau hakim akan memutus onslag (bukan pidana melainkan perdata). Tapi putusan mengatakan lain dan menyatakan terdakwa bersalah,” jelas Edward dengan nada kecewa.

Ia mengatakan perkara ini bermula dari kerjasama antara terdakwa Gerard dan rekannya, Slamet H (korban) pada 2013 lalu. Dalam kerjasama ini juga berisi perjanjian jual beli tanah milik Slamet yang akan dibeli terdakwa.

Di atas tanah ini nantinya akan dipecah menjadi tiga (kavling) dan akan dibangun tiga buah rumah. “Sesuai permintaan korban dibuatlah kwitansi Rp 2 miliar seolah-olah sudah terjadi jual beli antara keduanya,” jelasnya.

Nantinya, Gerard akan membangun tiga unit rumah di atas lahan milik Slamet ini. Setiap unit bangunan yang laku, sebagian uangnya akan digunakan untuk melunasi pembayaran tanah milik Slamet.

Awalnyaya satu unit rumah selesai dan laku terjual. Terdakwa memberikan sebagian hasil penjualan kepada korban. Masalah muncul saat pembangunan rumah kedua.

Pihak korban ingin menguasai lahan tersebut dan membatalkan kerjasama. “Korban juga langsung lapor penipuan ke Polda Bali,” jelasnya.

Saat penyelidikan di kepolisian, ditemukanlah bukti baru yaitu kwitansi jual beli antara terdakwa dan korban. Saat dikonfrontir, korban mengaku tidak pernah melakukan jual beli dan menyatakan tanda tangan di kwitansi tersebut palsu.

Akhirnyaya penyidik membuat laporan polisi baru yaitu pemalsuan tanda tangan hingga akhirnya terdakwa duduk di kursi pesakitan.

“Padahal jelas kalau ide membuat kwitansi jual beli tersebut dari pihak korban dan korban juga yang tanda tangan. Tapi di penyidik dia membantah,” lanjut Edward.

Dalam persidangan juga terungkap fakta menarik dimana korban dan kuasa hukumnya menggunakan putusan palsu ke persidangan.

“Majelis hakim mengecek bukti yang diajukan dan ternyata palsu. Meski masuk dalam pertimbangan dalam putusan, namun hakim tetap menyatakan terdakwa bersalah,” bebernya.

Dengan putusan ini, terdakwa langsung menyatakan banding. Sementara JPU Suhadi menyatakan menerima putusan meski jauh dari tuntutan sebelumnya yaitu 4 tahun penjara.

“Kami putuskan banding karena kami menganggap perkara ini merupakan ranah perdata,” pungkas Edward. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/