29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 11:30 AM WIB

Defisit Rp 10,5 Triliun, Rai Wirajaya Sentil “Mafia Kesehatan”

DENPASAR – Masih ingat tunggakan klaim pasien BPJS sebesar Rp 78 miliar yang diutarakan Direktur Keuangan RS Sanglah, Yulis Quarti SE Akt MSi, Selasa (25/9) lalu?

Tak hanya di Bali, gangguan operasional rumah sakit juga menjadi momok sejumlah provinsi lain.

Bukannya “menyehatkan”, BPJS yang bertugas menangani orang sakit justru ibarat masuk instalasi unit gawat darurat (UGD).

Hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menaksir defisit anggaran BPJS mencapai Rp 10,5 triliun hingga akhir tahun 2018.

Imbasnya, pemerintah harus menggelontorkan dana untuk  menambal defisit tersebut. Kondisi “tidak sehat” itu mendapat respons serius dari I Gusti Agung Rai Wirajaya.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, Kamis (8/11), anggota Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan, perencanaan pembangunan,

dan perbankan itu menyebut ada sejumlah pemantik BPJS Kesehatan akhirnya harus menanggung beban hutang dan merugikan pemerintah.

Rai Wirajaya menilai carut-marut terjadi mulai hulu sampai hilir; mulai di internal BPJS hingga di tempat pelayanan kesehatan mitra BJPS.

“Gaji Direksi BPJS Kesehatan perlu dievaluasi! Kinerjanya tidak jelas dan tidak becus mengurus BPJS sehingga terjadi permasalahan hutang yang begitu besar,” ucap politisi PDI Perjuangan kelahiran 16 Desember 1965 tersebut.

Sembari menegaskan bahwa masalah lain datang dari layanan kesehatan, Rai Wirajaya mengaku banyak memperoleh informasi seputar permainan “nakal” oknum penyedia layanan kesehatan.

“Contoh, ketika masyarakat hanya memerlukan obat batuk dan pilek, oleh oknum tersebut resep ditambah dengan obat-obatan lain,” terang pria yang sudah tiga periode ngayah di Senayan untuk tanah Bali.

Dikejar lebih lanjut, Rai Wirajaya enggan memberi penjelasan spesifik. Rumah sakit atau oknum dokter yang ditengarai berperilaku nakal tidak disebut.

Meski demikian dirinya memastikan ada sejumlah aduan masyarakat terkait hal memalukan tersebut.

“Oknum ini bisa dokter bisa perawat yang mengusulkan agar obat-obatan ditambah. Banyak terjadi ketika pasien hendak pulang dari rumah sakit obat-obatnya tersisa banyak.

Padahal sakit yang diderita masyarakat tidak parah. Nah ini juga harus menjadi perhatian serius,” tegas caleg DPR RI dapil Bali nomor urut 4 itu.

Rai Wirajaya juga membeberkan faktor lain, yakni kurangnya kesadaran masyarakat menunaikan kewajiban sebagai pengguna layanan BPJS Kesehatan.

Dominan hanya membayar iuran pada saat pendaftaran dan sering menunggak setelah itu. “Pemerintah mengeluarkan kebijakan ini kan demi masyarakat.

Semua harus bekerja sama. Baik masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan, BPJS Kesehatan maupun pihak rumah sakit atau pemberi layanan kesehatan,” kata Rai Wirajaya.

Terkait wacana dan rencana  BPJS Kesehatan menaikkan iuran bagi peserta, Rai Wirajaya menyarankan kebijakan itu tidak tergesa-gesa diambil.

Harus ada solusi lain yang lebih bijak agar tidak malah membebani masyarakat. (rba)

DENPASAR – Masih ingat tunggakan klaim pasien BPJS sebesar Rp 78 miliar yang diutarakan Direktur Keuangan RS Sanglah, Yulis Quarti SE Akt MSi, Selasa (25/9) lalu?

Tak hanya di Bali, gangguan operasional rumah sakit juga menjadi momok sejumlah provinsi lain.

Bukannya “menyehatkan”, BPJS yang bertugas menangani orang sakit justru ibarat masuk instalasi unit gawat darurat (UGD).

Hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menaksir defisit anggaran BPJS mencapai Rp 10,5 triliun hingga akhir tahun 2018.

Imbasnya, pemerintah harus menggelontorkan dana untuk  menambal defisit tersebut. Kondisi “tidak sehat” itu mendapat respons serius dari I Gusti Agung Rai Wirajaya.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, Kamis (8/11), anggota Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan, perencanaan pembangunan,

dan perbankan itu menyebut ada sejumlah pemantik BPJS Kesehatan akhirnya harus menanggung beban hutang dan merugikan pemerintah.

Rai Wirajaya menilai carut-marut terjadi mulai hulu sampai hilir; mulai di internal BPJS hingga di tempat pelayanan kesehatan mitra BJPS.

“Gaji Direksi BPJS Kesehatan perlu dievaluasi! Kinerjanya tidak jelas dan tidak becus mengurus BPJS sehingga terjadi permasalahan hutang yang begitu besar,” ucap politisi PDI Perjuangan kelahiran 16 Desember 1965 tersebut.

Sembari menegaskan bahwa masalah lain datang dari layanan kesehatan, Rai Wirajaya mengaku banyak memperoleh informasi seputar permainan “nakal” oknum penyedia layanan kesehatan.

“Contoh, ketika masyarakat hanya memerlukan obat batuk dan pilek, oleh oknum tersebut resep ditambah dengan obat-obatan lain,” terang pria yang sudah tiga periode ngayah di Senayan untuk tanah Bali.

Dikejar lebih lanjut, Rai Wirajaya enggan memberi penjelasan spesifik. Rumah sakit atau oknum dokter yang ditengarai berperilaku nakal tidak disebut.

Meski demikian dirinya memastikan ada sejumlah aduan masyarakat terkait hal memalukan tersebut.

“Oknum ini bisa dokter bisa perawat yang mengusulkan agar obat-obatan ditambah. Banyak terjadi ketika pasien hendak pulang dari rumah sakit obat-obatnya tersisa banyak.

Padahal sakit yang diderita masyarakat tidak parah. Nah ini juga harus menjadi perhatian serius,” tegas caleg DPR RI dapil Bali nomor urut 4 itu.

Rai Wirajaya juga membeberkan faktor lain, yakni kurangnya kesadaran masyarakat menunaikan kewajiban sebagai pengguna layanan BPJS Kesehatan.

Dominan hanya membayar iuran pada saat pendaftaran dan sering menunggak setelah itu. “Pemerintah mengeluarkan kebijakan ini kan demi masyarakat.

Semua harus bekerja sama. Baik masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan, BPJS Kesehatan maupun pihak rumah sakit atau pemberi layanan kesehatan,” kata Rai Wirajaya.

Terkait wacana dan rencana  BPJS Kesehatan menaikkan iuran bagi peserta, Rai Wirajaya menyarankan kebijakan itu tidak tergesa-gesa diambil.

Harus ada solusi lain yang lebih bijak agar tidak malah membebani masyarakat. (rba)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/