“…Kemampuan berbicara keharmonisan di sini (Bali) menjadi pertanda intelektualitas dan keperdulian sosial seseorang…Orang yang berbicara keharmonisan disegani karena dianggap bersastra. Kami tidak bertanya dari mana datangnya kepandaian bicara keharmonisan. Sebagaimana kami juga tidak bertanya, kemana keharmonisan itu pergi, ketika mendadak semua orang menjadi benci dan beringas entah pada apa, atau justru pada apa saja…”
(IBM Dharma Palguna, “Modifikasi Kebencian” 2007:3)
RENTANG usaha pangaturan desa adat, desa pakraman, dan kembali ke desa adat di Bali menghasilkan tiga Peraturan Daerah (Perda) penting. Diawali dengan Perda Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi Dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Selanjutnya lahir Perda No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman. Tidak cukup hanya itu, kemudian lahir Perda Nomer 3 Tahun 2003 tentang perubahan atas Perda Provinsi Bali Nomer 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Terakhir, yang mencabut seluruh Perda di atas adalah kelahiran Perda Nomer 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.
Saya tidak hendak membahas secara komparatif kesamaan dan keberbedaan Perda di atas. Ulasan tersebut sungguh sangat penting dan perlu dilakukan oleh personal yang berkompeten dalam bidangnya. Saya justru akan mencoba mengelaborasi apa sebenarnya nalar atau landasan berpikir yang digunakan oleh para akademisi cum teknokrat yang bekerja sama dengan para birokrat untuk menerjemahkan hasrat “memberdayakan” desa desa pakraman/ desa adat tersebut. Jika telisik lebih mendalam, saya melihat keseluruhan peraturan untuk “menata dan memberdayakan adat” bernaung di bawah nalar taken for granted (menerima warisan pengetahuan/ kebudayaan secara pasif dan tidak critical) yang situasi di dalamnya juga sungguh sangat kontradiktif.
Alat Pengaturan
Argumen saya ini bertitik tolak persis seperti apa yang diajukan oleh Tania Murray Li dalam buku The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia. Dalam sebuah bab-nya dengan kasus Sulawesi Tengah, Li mengungkapkan bahwa adat dengan segala vitalitas serta modal sosial yang ada di dalamnya, dalam pikiran pemerintah hanya dilihat sebagai alat pengaturan untuk ketertiban.
Nalar pengaturan untuk penertiban ini dibangun di atas landasan yang sangat rapuh dalam memahami desa, adat, dan pengaturan otonom di dalamnya. Hak-hak dasar serta kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai asli, seperti juga kapasitas otonom untuk mengelola pemerintahan sendiri, dianggap muncul secara alamiah dari komunitas desa yang harmonis, yang utuh dan tidak berubah, sekalipun ada campur tangan Belanda dan Orde Baru. (Li, 2010: 403 – 404).
Kasus Bali menunjukkan kepada kita bagaimana tragedi kekerasan dan bercak-bercak yang mengikutinya dikubur dan “diselesaikan”, awalan di dan akhiran kan bermakna “dianggap selesai”. Setelah itu, politik puja-puji terhadap adat, masyarakat dan kebudayaan Bali mengandalkan wacana keharmonisan dan stabilitas ini. Warisan itulah yang mengakar kuat pada institusi adat dan bangunan politik budaya Bali. Jika ada yang tidak harmonis, itu bukanlah kebudayaan Bali. Demikian juga adat tidak bisa tidak sangat berkaitan dengan pusaran kendali pengaturan oleh institusi supra-adat yang kemudian diapropriasi oleh para elit adat sendiri. Di samping itu, adat juga menjadi mesin pengawas bagi warganya yang dianggap “melanggar adat” ataupun “berkasus adat” sehingga kemudian kasepekang (dikucilkan).
Perspektif lainnya tentang adat juga sangat berkaitan dengan otentisitas (keaslian), kemurnian, dan menjadi wacana yang sangat esensialis (suatu entitas yang alamiah melekat) dari hampir sebagian besar komunitas di kepulauan Nusantara ini. Perspektif yang melihat adat secara otentitik inilah yang melahirkan nalar berpikir eksotik, tradisionalisasi, dan pada ujungnya adalah mengembangkan sikap-sikap yang etnosentris. Saling klaim keaslian ini membawa adat menjadi “alat” untuk berbagai macam kepentingan.
Proyek Politik
Justru pada titik inilah situasi paradoksal terjadi. Melihat adat yang eksotik dan otentik itu, menggerakkan usaha dari berbagai macam kepentingan untuk “memberdayakan” adat. Adat dengan kelenturan dan keleluasaan ruangnya tanpa sadar juga membentuk sendiri sebuah arena intervensi. Ruang intervensi tersebut berasal dari perspektif berpikir yang melihat adat sebagai sesuatu yang rapuh, kekurangan, atau sedang terdegradasi atau merosot sehingga perlu usaha pelestarian dengan berbagai program. Nalar berpikir inilah yang kemudian melahirkan berbagai program perlindungan, pengokohan, dan pemulihan adat yang dianggap perlu dilindungi, dikokohkan, dan disembuhkan atau dipulihkan karena situasinya yang krisis dan menghadapi gempuran pengaruh luar.
Perspektif yang melihat adat sebagai suatu yang rapuh, merosot dan penjaga nilai-nilai budaya (Bali) dari ancaman budaya luar, dikonstruksi oleh negara dengan aparatusnya. Kontruksi ini dengan cakap dipergunakan oleh para elit adat sendiri untuk mengakses keuntungan ekonomi politik. Situasi ini diperkeruh dengan politik puja-puji yang dilakukan oleh negara tentang nilai-nilai luhur adat untuk keharmonisan, keseimbangan kehidupan, bahkan peran serta adat untuk mendukung pemerintah dalam pembangunan nasional.
Perspektif di atas inilah yang saya sebutkan taken for granted dan kemudian dipadukan dengan cara pandang otentik serta eksotik yang sangat romantik. Cara pandang yang sangat kolonialistik ini masih sangat kental dan kuat dalam memahami adat. Sejurus kemudian, dalam usaha “memberdayakan” adat, muncullah argumen-argumen modernitas yang memberikan peluang besar bagi campur tangan dan imajinasi “kemajuan” yang dibawa oleh pemerintah dan para investasi yang berkepentingan kepada sumber daya alam di lingkungan masyarakat adat. Oleh sebab itulah, pada akhirnya timbul keyakinan bahwa adat bagaimanapun juga membutuhkan campur tangan dan perbaikan guna membuatnya (dianggap) sempurna.
Karakteristik yang dikonstruksi terhadap adat sendiri menurut saya sudah memberikan peluang dipergunakan untuk berbagai proyek politik. Rezim dan pemimpin politik silih berganti akan selalu mengarahkan radarnya untuk menyiasati proyek politik terhadap adat, tidak terkecuali di Bali.
Pada beberapa kasus adat dan politik di Indonesia, kita disuguhkan analisis yang terang benderang, bahwa adat sangat rentan—di samping juga menyediakan ruang—bagi manipulasi elit untuk tujuan politik. Kita harus lebih jeli dan critical untuk menyanggah argumen romantik dan apolitis yang mengatakan bahwa adat dan institusi adat adalah sebuah nilai dan konstruksi yang alamiah ada begitu saja.
Tantangan transformatif sekaligus emansipasi dari adat adalah menyediakan ruang-ruang perbedaan untuk pergulatan di internalnya. Hal ini berkaitan di antaranya dengan kontekstualisasi nilai-nilai adat, budaya, agama yang saling berkelindan di tengah perubahan yang tak terhentikan. Reformasi adat pada akhirnya menjadi keniscayaan. Persoalan regenerasi dan keberlanjutan pewarisan adat juga menjadi tantangan emansipasi di internal adat sendiri. Semangat pewarisan setidaknya dilandasi dengan sikap critical untuk merespons perubahan-perubahan yang terjadi.
Intinya, bagi saya, adat, tradisi, dan kebudayaan dalam arti yang lebih luas, akan terus hidup dan menemukan spiritnya dari konflik yang diciptakan dan dilahirkannya sendiri. Dengan konflik dan pengetahuan yang berkembanglah spirit dari adat tersebut. Kritik terhadap adat adalah sebuah keniscayaan yang sebenarnya diciptakan oleh adat itu sendiri.
Peluang emanisipasi adat yang bersifat eksternal adalah kemampuannya untuk menantang otoritas dan kooptasi negara serta kuasa investasi. Adat dan institusi adat selayaknya memikirkan langkah-langkah strategis untuk mampu mengemansipasi warganya untuk memperjuangkan hak-hak serta kedaulatannya terhadap tanah dan sumber daya alamnya. Pada sisi yang lain, emansipasi membuka ruang untuk menegakkan martabat dan kedaulatan masyarakat sendiri dari berbagai intervensi dan kooptasi. Spirit emansipasi dan kokohnya kedaulatan adalah modal kuat untuk menantang otoritas negara dan kapital yang diangkut oleh kuasa investasi yang menyerbu wilayah-wilayah hukum adat.
Menantang otoritas negara ini berkaitan dengan pertarungan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, masyarakat adat itu sendiri, di samping kemampuan untuk mengelola pemerintahan sendiri secara mandiri dan berdaulat serta berkeadilan sosial. Tantangannya adalah menjadikan adat sebuah lembaga yang otonom dan memiliki kedaulatan serta kemerdekaan untuk mengelola dirinya dan dengan demikian berarti menantang otoritas negara dan kapital.
____
*I Ngurah Suryawan, Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Warmadewa. Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).