Pileg 2019 tidak hanya diikuti para petahana atau para politisi gaek. Ada sebagian adalah wajah baru yang “unyu-unyu”. Mereka, anak muda berani terjun ke gelanggang politik praktis.
Bagaimana peluangnya? Berikut wawancara jurnalis Jawa Pos Radar Bali Dr. Wayan Jondra, yang juga mantan ketua KPU Bali, Jumat lalu.
Pileg 2019 ini ada beberapa caleg muda yang bertarung, bagaimana peluang mereka?
Peluang terpilih itu ada, tapi relatif kecil. Kecuali caleg muda yang diwarisi trah politik orang tuanya. Caleg dengan dukungan orang tuanya itu tentu lebih besar terpilihnya karena sudah memiliki modal politik kuat. Mereka bisa nebeng nama besar orang tua.
Caleg muda juga belum bisa dibanggakan pemilih milenial, sekitar usia 35 tahun ke bawah. Jumlah pemilih milenial di Bali hampir 20 persen dari jumlah pemilih keseluruhan.
Jumlahnya berkisar 500 ribu pemilih. Kalau saja 500 ribu pemilih milenial itu solid, bisa mendapatkan dua anggota DPR RI. Tapi, ternyata faktanya tidak begitu.
Generasi milineal terbawa hegemoni melalui aneka bantuan entah berbentuk bansos atau barang sangat memengaruhi keterpilihan.
Hal itu berkaca pada Pileg lima tahun lalu, di mana lebih dari 60 persen caleg petahana kembali berkuasa.
Apakah pemberian materi dari caleg mempengaruhi pilihan?
Pemberian itu tentu sangat memengaruhi keterpilihan caleg, terutama caleg petahana memiliki peluang keterpilihan yang lebih tinggi.
Bansos tidak hanya menyentuh bantuan terhadap banjar, desa adat, dan pura, tapi juga menyentuh aktivitas generasi millennial.
Masyarakat belum mampu memilih berdasar kualitas, hanya berdasar yang diberikan caleg entah itu bansos atau bantuan lainnya.
Karakter masyarakat saat ini masih pragmatis. Sesuai dengan teori Aristoteles, bagaimana masyarakatnya begitulah pemimpin yang terplih. Masyarakat pragmatis maka pemimpin yang terpilih pragmatis.
Bagaimana pendekatan caleg muda agar terpilih di Pileg 2019 ini?
Di Bali pendekatan masih efektif dengan cara konvensional, yakni dari banjar ke banjar atau ke acara STT. Peran netizen di Bali tidak seperti di kota lain.
Pengaruh netizen ada tapi juga tidak besar. Kendati kepemilikan HP di Bali hampir sama dengan jumlah penduduk, tapi, banyak satu orang yang memiliki dua hingga tiga HP. Karena itu strateginya masih harus konvensional juga.
Caleg petahana masih mengandalkan datang ke acara STT seperti acara bazar atau pembuatan ogoh-ogoh. Peran STT dan karang taruna sangat menentukan.
Peran STT dan karang taruna tidak penting terjadi di kelompok masyarakat pendatang. Nah, langkah itu yang mestinya juga bisa ditiru politisi muda. Kalau membombardir medsos masih kalah dengan isu Pilpres.
Politik pragmatis apakah membuat caleg muda yang idealis sulit terpilih?
Masyarakat tidak bisa menyalahkan tabiat para politisi yang pragmatis. Sebab, politisi hanya berusaha memanfaatkan peluang yang ada.
Bagi masyarakat tidak peduli bantuan uang itu dari bansos atau pajak. Ketika butuh untuk renovasi wantilan, pura atau jalan itu ada.
Maka, tugas utama untuk mengubah kondisi yang terjadi ada di tangan partai politik. Parpol wajib melakukan pendidikan politik terhadap kader dan masyarakat.
Itulah yang sampai saat ini belum ada. Sehingga indeks demokrasi di Indonesia sangat rendah. Penyumbang terbesar indeks itu adalah parpol.
Solusi berikutnya yakni membuat undang-undang pembatasan keikutsertaan caleg. Caleg dibatasi maksimal hanya dua kali, misalnya. Hali itu penting untuk memberi peluang bagi generasi muda. (*)