PANDEMI Covid-19 telah memberikan efek pada seluruh aspek kehidupan mulai dari kesehatan, sosial, ekonomi, bahkan keuangan.
Situasi yang tak menentu ini masih belum dapat dipastikan kapan akan berakhir. Diperlukan usaha dan biaya yang tidak sedikit untuk memulihkan kondisi stabilitas sosial ekonomi.
Mengutip paparan Menteri Keuangan pada Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR-RI, 22 Juni 2020, pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp 695,20 triliun sebagai upaya penanganan dampak Covid-19.
Jumlah tersebut akan digunakan untuk penanganan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, insentif usaha, UMKM, pembiayaan korporasi, dan penangan melalui Kementerian atau Lembaga (K/L) serta Pemerintah Daerah.
Strategi ini diupayakan untuk meredam tekanan yang semakin masif selama pandemi. Stabilitas ekonomi menjadi prioritas selain kesehatan
sebagai entry point untuk meminimalisir potensi munculnya problematika lainnya termasuk dalam kerangka pembangunan kependudukan berkelanjutan.
Dikutip dari laman Badan Pusat Statistik (BPS), proyeksi penduduk Indonesia tahun 2020 diperkirakan mencapai 271,066 juta jiwa dimana sebanyak 4,38 juta jiwa bermukim di Bali.
Sebagai negara peringkat keempat dengan populasi terpadat di dunia, pengendalian penduduk dan penguatan tata kelola kependudukan mutlak diperlukan apalagi pasca pandemi.
Beberapa indikator strategis diantaranya yaitu pengangguran, kemiskinan, dan pemenuhan kebutuhan dasar.
Pengangguran meningkat drastis selama pandemi. Dikutiip dari Tempo.co, Kemenaker melaporkan tenaga kerja terdampak
Covid-19 per 2 Juni 2020 mencapai 3,05 juta orang dan diperkirakan dapat menambah penggangguran hingga mencapai 5,23 juta.
Dari jumlah tersebut mencakup pekerja yang di-PHK, dirumahkan, dan ada juga pekerja migran yang dipulangkan atau gagal berangkat.
Sebagai upaya penanggulangan guncangan yang semakin masif terhadap pengangguran, dari total Rp 695,20 triliun pemerintah
mengalokasikannya sebesar Rp 120,61 triliun untuk insentif usaha, Rp 123,46 triliun untuk UMKM, serta pembiayaan korporasi sebesar Rp 53,57 triliun.
Kemiskinan diperkirakan akan merangkak naik. Menurunnya daya beli masyarakat akibat pandemi menyebabkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar (basic-needs).
Simulasi yang dilakukan oleh The SMERU Research Institute memperkirakan pada dampak yang paling ringan dari pandemi
tingkat kemiskinan di Indonesia diprediksi meningkat dari 9,2 persen di September 2019 menjadi 9,7 persen di akhir tahun 2020.
Akibatnya diperkirakan sekitar 1,3 juta orang akan tertarik kedalam kemiskinan. Pada studi yang sama skenario dampak terburuk pandemi diestimasi meningkatkan kemiskinan hingga 12,4 persen atau sekitar 8,5 juta orang.
Kajian yang dilakukan Bappenas juga menyebutkan bahwa dampak Covid-19 telah meningkatkan peluang mereka yang berada pada kelompok rentan miskin jatuh ke kelompok miskin sebesar 44 persen.
Ini mengindikasikan beberapa kebijakan intervensi pemerintah perlu diperluas untuk menjangkau kelompok rentan tidak hanya sebatas kelompok miskin dan sangat miskin.
Saat ini komponen terbesar dana penanganan dampak Covid-19 dialokasikan paling banyak untuk perlindungan sosial yaitu mencapai Rp 203,90 triliun.
Perlindungan sosial bagi seluruh penduduk belum maksimal. Secara nasional cakupan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih kurang dari 80 persen.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) oleh Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa pada tahun 2019 diperkirakan sebanyak 26,83 persen penduduk Bali tidak memiliki jaminan kesehatan.
Jumlah ini tentunya belum mencapai target Universal Health Coverage (UHC). Kebutuhan akan perlindungan sosial dalam konteks kesehatan adalah prioritas di tatanan era hidup baru.
Pelayanan kesehatan yang dibutuhkan terus meningkat sejak pandemi. Skema kenaikan tarif bagi peserta kelas I dan kelas II yang
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 diharapkan mampu memperluas cakupan sehingga pelaksanaan jaminan kesehatan nasional dapat berjalan optimal.
Pemenuhan layanan kebutuhan dasar yang semakin kompleks. Stunting di Indonesia masih tinggi. Data Riskesdas tahun 2019 menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia masih tinggi yakni 30,8 persen.
Capaian ini masih lebih tinggi dari dibandingkan batasan yang ditetapkan WHO sebesar 20 persen. Kualitas pendidikan belum merata.
Dalam Tempo.co pada tahun 2019 disebutkan total jumlah anak putus sekolah di 34 provinsi negara ini masih berada pada kisaran 4,5 juta anak.
Transformasi pasca pandemi juga berpotensi meningkatkan angka putus sekolah. Kualitas pengajaran serta infrastruktur yang timpang dapat menjadi pemicu meningkatnya disparitas pendidikan setelah pandemi.
Stimulus berbagi bantuan tetap diupayakan termasuk dukungan media nasional TVRI untuk pendidikan dasar.
Selain pendidikan, ancaman kenaikan tingkat fertilitas setelah pandemi cenderung terjadi pada lapisan masyarakat berpendidikan rendah dan mengalami kesulitan akses pelayanan kontrasepsi.
Kepala BKKBN menyebutkan selama pandemi telah terjadi penurunan penggunaan kontrasepsi sebanyak 10 persen pengguna yang berpotensi meningkatkan angka kehamilan hingga 420 orang.
Berbagai skema yang disiapkan pemerintah dalam jangka pendek memiliki prioritas untuk keluar dari jebakan pandemi global.
Sedangkan dalam jangka panjang pembangunan kependudukan berkelanjutan diharapkan tetap berjalan untuk mencapai target pembangunan SDM unggul.
Dengan demikian jendela bonus demografi akan semakin mudah untuk dicapai dan daya saing global SDM Indonesia semakin tinggi.
Kerangka ini diperlukan demi Indonesia Maju. (I Gede Heprin Prayasta/Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Udayana)