DENPASAR – Perayaan Hari Suci Saraswati, Sabtu (13/10) menjadi momentum berharga bagi masyarakat Bali.
Di mata I Wayan Swarsa, Instruksi Gubernur Bali Nomor 2331 Tahun 2018, khususnya Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 yang mulai diterapkan serempak pada Kamis (11/10) akan menguatkan posisi bahasa dan aksara Bali.
Perlindungan dan penggunaan bahasa, aksara, dan sastra Bali akan mengukuhkannya tetap sebagai bahasa ibu di Pulau Dewata.
Sebagaimana diketahui dalam Konferensi Internasional di Bidang Bahasa, Sastra dan Budaya (ICON LATERALS) Universitas Brawijaya November tahun 2016 terungkap bahwa banyak bahasa daerah terancam punah.
Total, dari 719 bahasa lokal yang ada di Indonesia, sebanyak 707 masih eksis, sementara 266 terancam, 76 nyaris punah dan 12 sudah punah.
Penyelenggaraan bulan bahasa Bali, tegas mantan Bendesa Adat Kuta, tersebut akan membuat masyarakat Bali kembali “melirik” dan “mencintai” bahasa ibunya sendiri.
“Atas dua kebijakan Pemerintah Daerah Bali tersebut, tentu kita patut mengapresiasi dengan baik sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap apa yang menjadi identitas daerah Bali,” ucap I Wayan Swarsa, Sabtu (13/10).
Swarsa menyebut kebijakan tersebut sejatinya bukan hal baru. Di era pemerintahan Gubernur Bali Prof. Ida Bagus Mantra (alm), konsistensi dalam menjaga keluhuran identitas masyarakat Bali, baik dari aspek adat, seni, dan budaya Bali juga sangat kental.
Antara lain terwujud dalam bentuk Taman Budaya (Art Center) dengan desain Bali sebagai ruang kreasi seniman Bali.
Kala itu, bangunan pusat pemerintahan daerah Bali dibangun megah berdesain arsitektur Bali lengkap dengan identitas aksara Bali berpadu dengan tulisan huruf latin sebagai pengenal gedung.
“Dan, sekarang kembali didengungkan dan akan dijabarkan secara konkrit oleh Bapak Gubernur Bali Wayan Koster.
Masyarakat Bali patut memberikan apresiasi positif atas terbitnya Peraturan Gubernur Bali tersebut,” ungkap pria yang terjun ke dunia politik setelah mendapat “kode khusus” langsung dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo itu.
Imbuhnya, membuat plakat dengan tulisan aksara Bali berpadu huruf latin tentu sangat mudah dan segera dapat dilakukan oleh instansi manapun.
Namun, yang patut disyukuri adalah semangat dalam Peraturan Gubernur Bali tersebut yang tentu bukan sebatas itu saja.
Upaya perlindungan dan penggunaan Bahasa, Aksara dan Sastra Bali harus dimaksudkan untuk memberi ruang dan media terhadap penggunaan Bahasa Bali sebagai Bahasa Ibu di tanah Bali.
“Wajib untuk dipergunakan dalam beberapa acara yang difasilitasi oleh pemerintah, terkecuali dalam beberapa acara seperti yang dikecualikan dalam Pergub tersebut,” tandasnya.
Lebih lanjut, Swarsa menyebut turunan dari Bahasa Bali tentu saja berupa Aksara Bali. Aksara Bali akan menjadi unsur penjelas terhadap penggunaan Bahasa Bali tersebut.
Pelafalan Aksara Bali tentu sedikit berbeda dengan pelafalan huruf latin, itulah keunikannya dan patut dipertahankan keberadaannya.
Tegasnya, aksara Bali inilah yang akan menjadi bahasa pengantar dari pengetahuan adat Bali dan agama Hindu Bali dalam banyak hasil karya sastra Bali.
“Apabila kita tidak mampu menjaga kemampuan untuk berbahasa Bali dan mengenal Aksara Bali, tentulah menjadi perkara sulit dalam memahami karya sastra Bali yang banyak kita warisi sampai detik ini,” tegasnya.
Memberikan ruang kreasi untuk para penggiat Sastra Bali, mendukung atas terciptanya hasil karya sastra dari para sastrawan Bali,
menghimpun dan menyebarluaskan hasil karya Sastra Bali di sekolah agar di kenal generasi muda Bali adalah langkah nyata dan turunan dari Peraturan Gubernur Bali tersebut di atas.
Kesadaran dan perbuatan nyata segenap masyarakat dan Pemerintah Daerah Bali akan mampu menjaga itu semua.
“Mari kita jadikan Bahasa Bali sebagai Bahasa Ibu di tanah kelahirannya sendiri,” imbuhnya.
Menyikapi terobosan Gubernur Wayan Koster, Swarsa berharap kedua Pergub terbaru tak hanya garang di atas kertas.
Sebaliknya benar-benar dilaksanakan dalam perilaku keseharian masyarakat Bali. Sekalipun penggunaan Busana Adat Bali di mulai awal pada tingkat pegawai
di lingkungan lembaga pemerintahan, pendidikan dan tenaga pendidikan, peserta didik dan pegawai lembaga swasta,
dirinya berharap dapat menjadi motivasi untuk membangkitkan kesadaran masyarakat Bali terhadap warisan busana adat Bali.
“Tentu saja tanpa mesti berperilaku glamour dan menonjolkan mode kekinian semata. Apabila hal ini efektif dapat dilakukan dengan baik,
di sisi lain akan membangkitkan ekonomi kemasyarakatan sektor produksi dari UKM Busana Adat Bali. Busana menunjukkan kepribadian pemakainya.
Dan, kebanggaan masyarakat Bali tercermin dari Busana Adat Bali yang dipergunakannya. Kalau bukan kita yang bangga dan melestarikan, siapa lagi?” tandasnya.
Swarsa menambahkan dalam dinamika dua materi Peraturan Gubernur Bali tersebut, peranan Desa Adat/Pakraman Bali sangat utama dan strategis.
Ada banyak hal dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Bali dengan menggandeng keberadaan Desa Pakraman Bali di dalam menyikapi dua hal tersebut.
Pasalnya, keseharian aktivitas Desa Pakraman Bali yang terkait erat dengan Bahasa Bali sebagai bahasa pengantar sehari-hari dalam setiap kegiatan adat dan agama.
Demikian pula dengan penggunaan Busana Adat Bali sebagai busana resmi dalam berbagai kegiatan dalam Desa Pakraman Bali.
Semuanya dapat menjadi katalisator dalam membangkitkan semangat menjaga identitas masyarakat Bali, setidaknya melalui penggunaan Busana Adat Bali dan Berbahasa Bali.
“Sudah saatnya Bahasa Bali menjadi Bahasa Ibu di tanah Bali. Desa Pakraman Bali ada untuk itu,” tegas caleg DPRD Provinsi Bali Dapil Bali 2 (Badung) nomor urut 1 dari Partai Solidaritas Indonesia itu. (rba)