29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:00 AM WIB

Tujuan Bernegara; Hipokrisi dan Absennya Pemerintah

TAMPAKNYA pidato kebudayaan Mochtar Lubis (6 April 1977) tentang ciri manusia Indonesia masih sangat relevan hingga kini.

Menurutnya, orang Indonesia memiliki sikap mental atau kesadaran diri yang bersifat hipokrit, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, dan percaya takhayul.  

Indonesia begitu cepat tanggap dan tajam ketika Silvany Austin Pasaribu menyerang Vanuatu yang mempertanyakan persoalan HAM di Papua, juga ketika Mahfud MD dan Jokowi mengecam Emmanuel Macron terkait persoalan agama di Prancis.

Padahal, sebelum dan sesudah kecaman kepada Macron itu, persoalan kebebasan beragama dan intoleransi terus terjadi di dalam negeri.

Salah satunya menimpa Letkol TNI AD, Aloysius Sandi Sudirman, yang dipenjara 17 Februari – 8 Maret 2020, atas protesnya kepada Presiden mengenai ketidakadilan dalam proses IMB Gereja di Karimun Jawa.

Demikian pula praktek yang terjadi di lingkungan sekolah, dengan semakin maraknya aksi intoleransi. Kasus terbaru di SMAN 6 Depok dan SMAN 58 Jakarta Timur, tentang ajakan guru yang bernada SARA.

Kedua kasus ini sama; guru menyerukan agar siswa memilih calon Ketua Osis dari agama tertentu.

Setara Institute mencatat ada lebih dari seribu kasus intoleransi berbasis SARA di Indonesia dalam 12 tahun terakhir, dengan kasus terbanyak ada di Jawa (Jawa Barat 629, DKI Jakarta 291, Jawa Timur 270, Jawa Tengah 158, dan Banten 90 kasus).

Kasus tinggi lainnya terutama di wilayah Sulawesi (Sulawesi Selatan 112, Sulawesi Utara 106, Sulawesi Barat 104) dan Nusa Tenggara Barat (76). Di mana pemerintah saat kasus-kasus itu terjadi?

 

Tujuan Bernegara

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, alinea keempat berbunyi, “…untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia

yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”

Jelas tertuang di dalam konstitusi bahwa tujuan Negara Republik Indonesia berdiri adalah untuk melindungi segenap warganya, dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Untuk itu, setiap warga negara dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan harus mewujudkan politik kebangsaan yang dilandaskan pada nilai persatuan,

permusyawaratan dan keadilan sebagaimana tercermin dalam Pancasila sebagai ideologi negara dan sumber hukum di Indonesia (Totok Daryanto, 2019).

Menurut data, praktek ketidakadilan baik berbasis SARA atau yang lainnya masih banyak terjadi, justru karena negara tampil sebagai pelaku (state actor).

Masih menurut Setara Institute, negara tampil dalam bentuk aturan diskriminatif maupun perilaku aparat di lapangan.

Mengenai perilaku aparat di lapangan ini masih bisa ditambahkan ketika aparat membiarkan praktek ketidakadilan terjadi yang dilakukan oleh sesama warga atau korporasi (non-state actors). 

Data itu menjawab di mana pemerintah saat kasus-kasus ketidakadilan terjadi, yakni pemerintah hadir justru sebagai pelaku, dan atau membiarkan praktek itu terjadi di lapangan.

Presiden Jokowi yang lantang terhadap kasus Rohingya di Myanmar dan Prancis, dipertanyakan sikapnya oleh publik atas semua pelanggaran yang dilakukan oleh Ketua FPI, Rizieq Shihab, sejak kedatangannya kembali ke Indonesia.

Baik mengenai kerumunan penjemputan, pelanggaran lalu lintas, perusakan fasilitas publik di bandara, isolasi mandiri sepulang dari luar negeri, juga terkait resepsi pernikahan yang melibatkan massa.

Dari satu kasus tersebut, pemerintah terbukti untuk membiarkan, berlaku tak tegas, tebang pilih, bahkan menjadi pelaku pelanggaran dengan memfasilitasi masker dan hand sanitizer pada acara resepsi pernikahan itu.

Apa yang sedang terjadi hari-hari ini bukan sekadar persoalan inkonsistensi pemerintah atas aturan yang dibuatnya, namun lebih dari itu, ini adalah panggung pertunjukan ketidakadilan yang paling transparan.

Jika mengacu pada Koentjaraningrat (2004) yang mengatakan bahwa terlaksananya pembangunan nasional sangat ditentukan

oleh mentalitas masyarakatnya, maka Revolusi Mental yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi 2014 silam terancam gagal.

Bahwa mentalitas hipokrisi yang tumpul ke atas tajam ke bawah tetap tak beranjak dari tempatnya.

Sebagai anggota PBB, Indonesia juga tidak terbukti aktif mendorong toleransi sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi UNESCO yang diperingati setiap tanggal 16 November.

Ketidakadilan sosial di depan mata terus terjadi, namun pemerintah sibuk mengutuk kuman di luar negeri.

Ini adalah bentuk pelanggaran serius terhadap konstitusi, terutama pada pembukaan UUD 1945 paragraf keempat, sebagaimana dikutip di atas.

 

Paradoks Indonesia

Salah satu konsistensi dalam mewujudkan keadilan sosial dan persatuan bangsa, tercetus dalam Pidato Soepomo, di Sidang BPUPKI 31 Mei 1945, “Mendirikan Negara Islam di Indonesia berarti tidak akan mendirikan negara persatuan.”

Dalam perdebatan panjang tersebut, bangsa Indonesia, final dan tegas menyatakan bahwa demi persatuan nasional dan demi keadilan sosial, maka Pancasila dan UUD 1945 dinyatakan sebagai fondasi bernegara.

Bukan berlandaskan agama atau kepercayaan tertentu, juga bukan berdasar kepentingan etnis atau golongan tertentu.

Negara, dalam hal ini pemerintah yang sah, tak boleh pilih kasih, terlebih lagi, tak boleh tunduk pada kelompok manapun yang perilakunya mengancam persatuan,

tidak turut menjaga ketertiban, agar dapat mewujudkan prinsip keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. 

Dari jaman ke jaman, kehadiran pemerintahan yang adil belum benar-benar dirasakan hadir oleh warga. Yang dirasakan oleh rakyat adalah hadirnya kekuasaan demi kekuasaan.

Kekuasaan absolut monarki yang disusul kekuasaan kolonial yang datang silih berganti. Lalu datang kekuasaan Rejim Orde Baru yang justru merampas kehidupan warga.

Dan kini, kekuasaan mobokrasi yang mengancam demokrasi yang masih berusia muda, semenjak Reformasi 1998.

Mungkin inilah jaman paradoks nation state bernama Republik Indonesia, ketika setiap tahun sekolah tinggi dan universitas menghasilkan sarjana hukum dan sarjana ilmu politik,

ketika partai politik banyak melakukan kaderisasi, namun rakyat menawarkan sosok Nikita Mirzani sebagai alternatif

pemimpin yang tegas dan berani atas perilaku korup dan tidak adil, maka masa depan berbangsa dan bernegara Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja.(*)

 

Joaquim Rohi

Political Science, RUDN University, Moscow – Russia

TAMPAKNYA pidato kebudayaan Mochtar Lubis (6 April 1977) tentang ciri manusia Indonesia masih sangat relevan hingga kini.

Menurutnya, orang Indonesia memiliki sikap mental atau kesadaran diri yang bersifat hipokrit, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, dan percaya takhayul.  

Indonesia begitu cepat tanggap dan tajam ketika Silvany Austin Pasaribu menyerang Vanuatu yang mempertanyakan persoalan HAM di Papua, juga ketika Mahfud MD dan Jokowi mengecam Emmanuel Macron terkait persoalan agama di Prancis.

Padahal, sebelum dan sesudah kecaman kepada Macron itu, persoalan kebebasan beragama dan intoleransi terus terjadi di dalam negeri.

Salah satunya menimpa Letkol TNI AD, Aloysius Sandi Sudirman, yang dipenjara 17 Februari – 8 Maret 2020, atas protesnya kepada Presiden mengenai ketidakadilan dalam proses IMB Gereja di Karimun Jawa.

Demikian pula praktek yang terjadi di lingkungan sekolah, dengan semakin maraknya aksi intoleransi. Kasus terbaru di SMAN 6 Depok dan SMAN 58 Jakarta Timur, tentang ajakan guru yang bernada SARA.

Kedua kasus ini sama; guru menyerukan agar siswa memilih calon Ketua Osis dari agama tertentu.

Setara Institute mencatat ada lebih dari seribu kasus intoleransi berbasis SARA di Indonesia dalam 12 tahun terakhir, dengan kasus terbanyak ada di Jawa (Jawa Barat 629, DKI Jakarta 291, Jawa Timur 270, Jawa Tengah 158, dan Banten 90 kasus).

Kasus tinggi lainnya terutama di wilayah Sulawesi (Sulawesi Selatan 112, Sulawesi Utara 106, Sulawesi Barat 104) dan Nusa Tenggara Barat (76). Di mana pemerintah saat kasus-kasus itu terjadi?

 

Tujuan Bernegara

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, alinea keempat berbunyi, “…untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia

yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”

Jelas tertuang di dalam konstitusi bahwa tujuan Negara Republik Indonesia berdiri adalah untuk melindungi segenap warganya, dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Untuk itu, setiap warga negara dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan harus mewujudkan politik kebangsaan yang dilandaskan pada nilai persatuan,

permusyawaratan dan keadilan sebagaimana tercermin dalam Pancasila sebagai ideologi negara dan sumber hukum di Indonesia (Totok Daryanto, 2019).

Menurut data, praktek ketidakadilan baik berbasis SARA atau yang lainnya masih banyak terjadi, justru karena negara tampil sebagai pelaku (state actor).

Masih menurut Setara Institute, negara tampil dalam bentuk aturan diskriminatif maupun perilaku aparat di lapangan.

Mengenai perilaku aparat di lapangan ini masih bisa ditambahkan ketika aparat membiarkan praktek ketidakadilan terjadi yang dilakukan oleh sesama warga atau korporasi (non-state actors). 

Data itu menjawab di mana pemerintah saat kasus-kasus ketidakadilan terjadi, yakni pemerintah hadir justru sebagai pelaku, dan atau membiarkan praktek itu terjadi di lapangan.

Presiden Jokowi yang lantang terhadap kasus Rohingya di Myanmar dan Prancis, dipertanyakan sikapnya oleh publik atas semua pelanggaran yang dilakukan oleh Ketua FPI, Rizieq Shihab, sejak kedatangannya kembali ke Indonesia.

Baik mengenai kerumunan penjemputan, pelanggaran lalu lintas, perusakan fasilitas publik di bandara, isolasi mandiri sepulang dari luar negeri, juga terkait resepsi pernikahan yang melibatkan massa.

Dari satu kasus tersebut, pemerintah terbukti untuk membiarkan, berlaku tak tegas, tebang pilih, bahkan menjadi pelaku pelanggaran dengan memfasilitasi masker dan hand sanitizer pada acara resepsi pernikahan itu.

Apa yang sedang terjadi hari-hari ini bukan sekadar persoalan inkonsistensi pemerintah atas aturan yang dibuatnya, namun lebih dari itu, ini adalah panggung pertunjukan ketidakadilan yang paling transparan.

Jika mengacu pada Koentjaraningrat (2004) yang mengatakan bahwa terlaksananya pembangunan nasional sangat ditentukan

oleh mentalitas masyarakatnya, maka Revolusi Mental yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi 2014 silam terancam gagal.

Bahwa mentalitas hipokrisi yang tumpul ke atas tajam ke bawah tetap tak beranjak dari tempatnya.

Sebagai anggota PBB, Indonesia juga tidak terbukti aktif mendorong toleransi sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi UNESCO yang diperingati setiap tanggal 16 November.

Ketidakadilan sosial di depan mata terus terjadi, namun pemerintah sibuk mengutuk kuman di luar negeri.

Ini adalah bentuk pelanggaran serius terhadap konstitusi, terutama pada pembukaan UUD 1945 paragraf keempat, sebagaimana dikutip di atas.

 

Paradoks Indonesia

Salah satu konsistensi dalam mewujudkan keadilan sosial dan persatuan bangsa, tercetus dalam Pidato Soepomo, di Sidang BPUPKI 31 Mei 1945, “Mendirikan Negara Islam di Indonesia berarti tidak akan mendirikan negara persatuan.”

Dalam perdebatan panjang tersebut, bangsa Indonesia, final dan tegas menyatakan bahwa demi persatuan nasional dan demi keadilan sosial, maka Pancasila dan UUD 1945 dinyatakan sebagai fondasi bernegara.

Bukan berlandaskan agama atau kepercayaan tertentu, juga bukan berdasar kepentingan etnis atau golongan tertentu.

Negara, dalam hal ini pemerintah yang sah, tak boleh pilih kasih, terlebih lagi, tak boleh tunduk pada kelompok manapun yang perilakunya mengancam persatuan,

tidak turut menjaga ketertiban, agar dapat mewujudkan prinsip keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. 

Dari jaman ke jaman, kehadiran pemerintahan yang adil belum benar-benar dirasakan hadir oleh warga. Yang dirasakan oleh rakyat adalah hadirnya kekuasaan demi kekuasaan.

Kekuasaan absolut monarki yang disusul kekuasaan kolonial yang datang silih berganti. Lalu datang kekuasaan Rejim Orde Baru yang justru merampas kehidupan warga.

Dan kini, kekuasaan mobokrasi yang mengancam demokrasi yang masih berusia muda, semenjak Reformasi 1998.

Mungkin inilah jaman paradoks nation state bernama Republik Indonesia, ketika setiap tahun sekolah tinggi dan universitas menghasilkan sarjana hukum dan sarjana ilmu politik,

ketika partai politik banyak melakukan kaderisasi, namun rakyat menawarkan sosok Nikita Mirzani sebagai alternatif

pemimpin yang tegas dan berani atas perilaku korup dan tidak adil, maka masa depan berbangsa dan bernegara Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja.(*)

 

Joaquim Rohi

Political Science, RUDN University, Moscow – Russia

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/