Menarikkah debat calon wakil presiden nanti malam?
Kalau topik debatnya bisa diubah tentu kejadian di Selandia Baru lebih aktual. Juga sangat mendasar. Bagaimana seorang teroris memakai kamera di tubuhnya. Menyiarkan secara live aksinya: memarkir mobil, membuka bagasi, mengambil senjata api, memasuki masjid, menembaki jemaah yang lagi salat Jumat. Semua dilakukannya dengan tenang. Sampai 49 jemaah meninggal dunia.
Bagaimana teroris itu memosting seluruh rencananya. Cukup detil. Bahkan menyiarkan lewat medsos saat-saat keberangkatannya. Menuju masjid yang disasarnya.
Tentu KPU tidak akan mengubah topik. Sudah terlanjur dibocorkan kisi-kisinya.
Maka kita akan mengikuti debat cawapres nanti dengan prihatin.
Keduanya tentu akan berebut menarik simpati. Teror di masjid Selandia Baru itu akan jadi pembuka.
Saya kenal dua-duanya. Kyai Ma’ruf Amin, cawapresnya Pak Jokowi itu, adalah komisaris Bank Nusumma. Saat saya menjadi direktur utamanya. Kami sering rapat yang dipimpin Gus Dur. Yang saat itu menjadi komisaris utama Nusumma.
Kyai Ma’ruf juga sering ikut rapat kabinet. Di zaman Pak SBY sebagai presiden. Beliau anggota dewan pertimbangan presiden. Saya sebagai sesuatu di situ. Kami sering bertegur sapa. Sebelum sidang. Kadang sesudahnya. Atau saat sama-sama ke musala di dekat ruang sidang.
Sandiaga Uno, cawapresnya Pak Prabowo, juga saya kenal. Sesama pengusaha. Dan sesama penggemar olahraga. Bahkan saya mengenalnya sejak ia masih di awal karirnya. Itu pernah saya ungkapkan di layar TV. Agak panjang lebar. Sebelum saya tahu ia akan jadi cawapres. Dan tentu diungkapkan juga oleh Sandi sendiri. Saat ia jadi cawapres.
Kyai Ma’ruf Amin tentu lebih unggul dalam bersilat lidah. Seorang kyai, apalagi kelas beliau, sudah terlatih bicara di depan publik. Tanpa teks. Pun tanpa persiapan.
Kyai sekelas beliau sangat mahir dalam ilmu mantiq. Tahu cara berdiplomasi. Piawai dalam mengelak. Pandai dalam membuat tamsil. Bahkan, dalam kadar tertentu, juga pandai dalam menyelipkan humor.
Hanya saja di kalangan ulama Kyai Ma’ruf tergolong sangat serius. Kebalikan dengan Kyai Said Agil Siraj. Ketua Umum NU itu. Yang humornya hampir sebanyak Gus Dur.
Kyai Ma’ruf bukan jenis kyai sufi. Bukan kyai tarekat. Yang lebih banyak diam. Yang lebih banyak mendengar. Yang tidak tergiur kedudukan. Yang tidak mau bicara vokal.
Beliau tergolong kyai publik. Bahkan kini jadi kyai politik. Ambisinya menjadi cawapres saja sudah menunjukkan di kelas mana keulamaannya.
Dari situ saya menduga Kyai Ma’ruf akan memenangkan debat nanti.
Saya kan juga tahu Sandi. Pengusaha itu jarang yang pandai bicara. Pandainya cari uang. Atau memimpin perusahaan.
Maka bagi Sandi harusnya akan lebih menonjolkan gestur tubuhnya. Mimik wajahnya. Yang bisa lebih menarik simpati. Untuk menutupi kekurang ahliannya berdiplomasi.
Tentu ada beberapa pengusaha yang pandai bicara. Seperti Ciputra. Atau Mochtar Riady. Yang kalau berbicara bukan main menariknya. Dan bukan main berbobotnya.
Inilah debat Utara-Selatan. Yang satu sangat tua. Satunya sangat muda. Yang satu ulama, satunya pengusaha. Yang satu berpendidikan pesantren, satunya Amerika.
Tapi semua itu sebenarnya tidak penting. Yang esensi adalah: apakah seorang wapres akan benar-benar ‘dipakai’ oleh presidennya nanti.
Kita semua tahu bagaimana Wapres Jusuf Kalla kecewa saat berpasangan dengan pak SBY. Merasa kurang dipakai.
Publik juga tahu bagaimana Pak JK bahkan sudah kecewa sejak di minggu pertamanya dengan pak Jokowi. Juga karena tidak dipakai.
Kita tentu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itu bagian dari rahasia mereka berdua. Mungkin saja pak SBY yang duluan kecewa dengan pasangannya itu. Mungkin juga pak Jokowi yang justru kecewa sejak minggu pertamanya.
Kelak mereka pasti akan menulis memoar. Sesuai dengan masing-masing versinya.(dahlan iskan)