MESKI cacat fisik, Andrew tak pernah patah arang dan terus semangat serta bangga mengemban tugas sebagai anggota korp Bhayangkara.
Anggota Polri yang berdinas di Poliklinik Bid Dokes Polda Bali itu juga loyal dan tak pernah menyesal dengan derita yang ia alami akibat bertugas saat menumpas aksi terorisme yang dilakukan kelompok Santoso di Poso, Sulawesi Tengah.
MARCELL PAMPUR, Denpasar
CERITA heroik nan mendebarkan masih teringat jelas dalam benak mantan komandan regu Satuan tugas (Satgas) Brimob Polda Sulawesi Tengah (Sulteng) ini.
Meski harus kehilangan kaki kanannya, namun Andrew tetap bangga. Bangga menjadi saksi sekaligus pelaku yang terlibat langsung dalam penumpasan kelompok Santoso
Anggota Polri asal Singaraja, Bali ini bangga bisa bergabung dengan pasukan TNI sebagai Satgas Tinombala yang saat itu ditugaskan untuk memburu gembong teroris Santoso alias Abu Wardah Asy Ayarqi.
Terkait aksi heroiknya, Andrew pun menceritakan dengan runut dan jelas
Saat itu, pada 30 Desember 2018. Berawal dari penemuan kepala manusia tanpa badan,
Kasat Brimob Polda Sulteng, Kombes Pol. Susnadi, memerintahkan dirinya untuk melakukan penyelidikan.
Sesuai perintah, sekitar pukul 19.30, satu regu berjumlah 10 orang berangkat naik ke perbukitan wilayah Salugose, Suasu, Sulawesi Tengah untuk menjalankan operasi bernama Operasi Tinombala.
Keberangkatan mereka untuk mencari bagian tubuh dari kepala misterius yang ditemukan sebelumnya. Pencarian itu tidak sia-sia. Bagian tubuh tersebut ditemukan tidak jauh dari lokasi penemuan kepala.
Kemudian hari Senin atau tepatnya tanggal 31 Desember 2018, sekitar pukul 07.00 pagi, tim berjumlah 10 orang itu turun dari pegunungan untuk mengevakuasi tubuh tersebut.
Aipda Andrew selaku Komandan Regu (Danru) ditemani rekannya, Bripda Baso berangkat paling depan menggunakan sepeda motor.
Ini dilakukan untuk mengecek situasi jalur yang akan dilewati.
Pasalnya, kawasan pegunungan tersebut diakuinya menjadi tempat persembunyian kelompok teroris Santoso.
“Saat mengecek situasi itu, ditemukan ada kayu melintang di jalan. Saya bersama Bripda Baso menyingkirkan kayu tersebut agar tim yang membawa mayat bisa lewat. Baru mau melanjutkan perjalanan, tiba-tiba ada 4 kali suara tembakan dari arah perbukitan,” terangnya di Denpasar, Senin (18/11).
Saat itu sekitar pukul 08.00 pagi. Tembakan pertama mengenai punggung bagian kiri atas Aipda Andrew.
Dengan punggung yang terluka akibat tertembus peluru, darah segar terus mengucur dari punggung Aipda Andrew.
Sedangkan Bripda Baso yang ketika itu bersama Aipda Andrewa terus berusaha melawan dengan memberikan tembakan balasan.
Sayangnya, saat mencoba melakukan serangan Balasan, Bripda Baso juga terkena tembakan.
Sambil berusaha menahan serangan, Aipda Andrew berusaha membantu rekannya yang tertembak.
Saat berusaha membantu rekannya itulah, sebuah peluru panas yang diduga dari ditembakkan oleh kelompok Santoso mengenai betis kanannya.
Meski terkena tembakan, Aipda Andrew dan Bripda Baso tidak patah arang. Dua prajurit sejati itu terus bertahan dengan memberikan tembakan perlawanan.
Tiga puluh menit kemudian, delapan anggota lain dari regu tiba dan memberikan bantuan.
Pertempuran pun kian sengit. Banyaknya darah yang terbuang akibat luka tembakan memaksa tim harus mengevakuasi Aipda Andrew dan Bribda Baso.
Kedua anggota Polri ini dievakuasi ke RS Bhayangkara Palu dengan menempuh waktu perjalanan menggunakan kendaraan roda empat (mobil) selama 9 jam.
Sementara anggota regu lain berusaha membalas tembakan kelompok Santoso ke arah bukit.
Aipda Andrew dirawat selama lima hari di ICU RS Bayangkara Palu. Namun setelah lima hari, keadaan luka di kaki kirinya makin memburuk.
Dia pun dirujuk ke RSUP Sanglah, Denpasar.
“Saya minta dirujuk ke Sanglah, karena saya berpikiran kalau saya mati di RSUP Sanglah, setidaknya saya tidak menyusahkan keluarga, karena sudah dekat dengan keluarga di Bali,” tambahnya.
Di RSUP Sanglah, dokter yang menangani perawatan Aipda Andrew menyarankan agar kaki kanannya segera diamputasi. Itu harus dilakukan karena kondisi kaki kanannya sudah mengalami infeksi sangat parah.
Dengan kondisi psikis yang syok, dia akhirnya menyetujui.
Keluarga besarnya juga setuju dan memberi dukungan penuh.
Hingga akhirnya, 17 Januari 2019 kaki kanannya dioperasi sebanyak delapan kali untuk mengangkat serpihan peluru pada kaki kanannya.
Kaki kanannya diamputasi dibagian lutut atas. Sejak saat itu pula, dia dipindahkan ke Polda Bali.
Dalam kesehariannya bertugas, ayah tiga anak seringkali menahan sakit dari kaki kanan palsunya. Namun, sebagai seorang Bayangkara sejati, rasa sakit itu dianggap angin lalu.
Meski tanpa kaki kanan, Aipda Andre tetap menjalankan tugas dengan loyalitas tinggi.