DENPASAR – Komisi 1 DPRD Bali akhirnya menjawab pertanyaan publik yang diwakili aktivis Nyoman Mardika dan Kandidat Doktor Ilmu Sosial Unair sekaligus dosen FISIP Universitas Udayana, I Made Anom Wiratana.
Ketua Komisi 1 I Ketut Tama Tanaya menegasakan pihaknya tak berani macam-macam terkait kunjungan dewan ke Negeri Ratu Elisabeth, Inggris.
“Kami disambut di KBRI London tanggal 7 Mei 2018. KBRI menyambut baik. Kami membahas soal promosi wisata Bali,” ungkap Tama Tanaga.
Selain diskusi budaya, pihak KBRI London juga sempat mengeluhkan rute penerbangan ke Inggris yang kini tak lagi difasilitasi Maskapai Garuda Indonesia.
“Masalah lain Garuda Indonesia tidak memiliki rute penerbangan ke Inggris. Kendalanya belum tahu. Untuk mendatangkan pariwisata ke Bali, kalau bisa Garuda Indonesia kembali menjelajahi dunia,” kata Tama Tanaya.
Problem terorisme, terangnya juga menjadi bahasan menarik. Tama menyebut Inggris saat ini juga sedang berperang melawan teroris pasca penyerangan di sejumlah titik di negeri tersebut.
KBRI London, terang politisi PDI Perjuangan tersebut sempat menanyakan seperangkat gamelan khas Bali untuk ditempatkan di sana.
Setiap ada event internasional, gamelan tersebut akan dimainkan. “KBRI berharap dibantu seperangkat gamelan untuk promosi wisata. Setiap ada event bisa dipertunjukkan. Event dunia, Ini perlu disampaikan ke Pemprov Bali,” ungkapnya.
Selain ke KBRI London, Tama Tenaya mengaku Komisi 1 DPRD Bali juga berkunjung ke parlemen Inggris (8/5) dan London University (9/5) lalu.
“Di sana kesenian Bali menjadi ekstra kurikuler. Gurunya bule,” ungkapnya. Menariknya, Tama Tanaya menyebut Bali harus belajar dari Inggris tentang bagaimana cara negara tersebut merawat peninggalan leluhurnya.
“Bangunan arsitektur yang didirikan tahun 1600-an masih berdiri kokoh di sana. Tidak seperti kita di sini yang belum sadar dan justru menghancurkan peninggalan leluhur seperti pura kuno dan sebagainya,” ungkapnya.
Tama menyebut beberapa dekade ke depan kemungkinan besar warga Bali harus terbang ke London untuk memahami utuh tanah Bali.
Pasalnya beberapa arsip tertulis (peninggalan kuno, red) tentang Bali ada di museum universitas tersebut.
“Ciri khas arsitektur Inggris luar biasa. Ini yang saya pikir penting di Bali. Termasuk pemertahanan pura-pura tua di Bali,” imbaunya.
Kenapa kelak kita bisa belajar ke sana, ucapnya karena buku-buku, lontar milik kita tersimpan di museum Inggris.
“Mereka bisa mengajarkan kesenian-kesenian milik kita. Apa yang tidak ada di Bali tentang Bali ada di sana,” tandasnya sembari menyebut Bali lebih dikenal di negeri tersebut ketimbang Indonesia.
Terkait kunjungan ke parlemen Inggris, Tama Tanaya mengatakan, kesan yang bisa dibawa pulang dan dipraktikkan di Bali dan Indonesia adalah penyampaian aspirasi yang luar biasa tertib.
“Saat berkunjung ke parlemen Inggris ada demo. Penyampaian aspirasi masyarakat tertib,” paparnya. Peserta demo terangnya terdiri atas dua kubu.
Kelompok yang ingin Inggris keluar dari Uni Eropa dan tetap bertahan di Uni Eropa. “Itu dua grup berbeda datang,
tapi tetap tertib. Cara menyampaikan aspirasi bagus. Betul betul menggunakan intelektual. Kalau di Indonesia sedikit-sedikit ribut,” tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Anom Wiranata dan aktivis sekaligus dedengkot Yayasan Manikaya Kawuci, Nyoman Mardika
publik Bali wajib menuntut pertanggungjawaban Ketut Tama Tenaya dan 11 anggota Komisi 1 DPRD Bali lainnya atas kunjungan tersebut.
Termasuk bukti surat undangan Kedutaan Besar (Kedubes) Republik Indonesia di London yang dipakai sebagai dasar seluruh anggota komisi yang membidangi masalah hukum tersebut terbang ke Negeri Ratu Elisabeth.