Usai pensiun dari jabatan sebagai Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng tak lantas membuat Gede Komang, 61, mengurangi aktifitasnya.
Apalagi ditengah pandemi covid-19 seperti sekarang ini. Justru dia terus kreatif dan produktif. Salah satunya dengan memanfaatkan lahan pertanian dan pekarangan rumahnya untuk tanam vanili.
JULIADI, Singaraja
MENIKMATI masa pensiun tidak harus dengan berdiam diri dan berkumpul bersama keluarga saja. Kalau bisa tetap mampu mengembangkan kemampuan sesuai dengan minat dan bakat yang ada.
Gede Komang pria yang malang melintang di dunia birokrasi ini berbekal dengan pengalaman, pengetahuan yang ia miliki memutuskan untuk terjun menjadi petani.
Hampir 6 bulan lebih pria yang suka dengan menari Bali ini memulai profesi baru sebagai petani dengan memilih menanam vanili. Memutuskan untuk bercocok tanam vanili bukan tanpa sebab.
Menurutnya, sesungguhnya ada niat yang tulus untuk kembali sebagai petani. Kemudian melihat potensi lahan yang ada di Buleleng.
Selain itu untuk diketahui sejak dulu hingga sekarang secara luas di Indonesia dikenal negara agraris. Dan pertanian itu sudah dilakukan turun temurun oleh nenek moyang kita.
Tanaman vanili milik Gede Komang di Banjar Dinas Kawanan, Desa Tejakula, menggunakan media tanam serat serabut kelapa.
Memanfaatkan serabut kelapa agar akar tanaman vanili mudah berkembang. Sebagai tegakkan tanaman vanili Gede Komang menggunakan pipa paralon, ditambah serabut kelapa di bagian luar dan dibungkus kawat.
Pipa tersebut menjadi jaringan instalasi untuk mengalirkan air dan nutrisi organik pada vanili.
“Jadi saya pensiun baru tahun 2019 dan sebelum pensiun saya sudah berpikir bagaimana mengisi masa pensiun biar tidak bosen di rumah. Jadi saya kembali ke pertanian,” ujar Gede Komang.
Baru terjun sebagai petani dan menanam vanili tidak harus langsung mahir bertani. Harus dilakukan berulang-ulang kali dan butuh uji coba dilakukan.
Sejatinya dia mengenal tanaman vanili sejak masa kuliah dulu. Saat duduk dibangku kuliah dulu ada program kerja lapangan.
Disana dia mulai mengenal tumbuhan merambat ini. Namun baru kesampaian untuk dikembangkan di masa pensiun.
“Saya belajar dari banyak teman petani mulai dari media tanam yang digunakan, cara pemeliharaan dan bagaimana memperbanyak bibit vanili,” ucapnya.
Lalu kenapa memilih tanaman vanili? Gede Komang mengatakan, selain harga dari vanili yang cukup tinggi, perawatannya tidak terlalu rumit.
Vanili tidak harus disiram setiap harinya, penyiraman dilakukan setiap tiga sekali. Kemudian pemupukan dilakukan secara organik.
Selain itu pencahayaan agar tidak terlalu panas maka harus dipasang atapnya dengan paranet. “Media tanam berupa serabut kelapa, pipa paralon dan kawat tidak sulit didapat, namun biaya cukup mahal habiskan modal puluhan juta,” ungkapnya.
Gede Komang melanjutkan kendati baru memulai 6 bulan yang lalu menanam vanili, tidak harus menunggu vanili berbuah baru menghasilkan uang. Tetapi vanili sendiri bisa menghasilkan ketika dikembangkan menjadi bibit vanili.
“Setiap sulur batang vanili yang sudah berukuran satu meter bisa dipotong dijadikan bibit vanili. Nah, bibit vanili itu kami jual dengan harga Rp 15 ribu pembibitnya,” tuturnya.
Gede Komang mengatakan, kini banyak rekan-rekan dan kerabatnya yang sudah terjun ke pertanian. Bahkan mengembangkan budidaya vanili.
Siapapun yang ingin belajar bertani vanili terlebih lagi generasi muda dengan tangan terbuka dia menyambut.
“Saya bukan ahlinya, cuma sekedar sharing saja bisa. Jadi kalau mau tanya-tanya tentang vanili, ya kita belajar bersama di sini,” pungkasnya.
Saat ini ada sekitar 3.950 pohon vanili yang Gede Komang tanam di masa pandemi Covid-19. Yang tersebar di lahan pertanian miliknya di Desa Tejakula, Ambengan, dan Desa Selat.
Dengan total luas lahan sekitar 50 hektar. Tak hanya vanili yang ia kembangkan dalam luas lahan puluhan hektar tersebut, kini Gede Komang juga menanam cabe. (*)