29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 11:08 AM WIB

Produksi Tong Edan Untuk Olah Sampah Organik, Rajin Edukasi ke Sekolah

Di tengah pandemi Covid-19 ini urusan sampah tidak boleh diabaikan. Sebab, sampah menjadi persoalan klasik yang sampai saat ini juga belum tuntas.

Namun I Komang Suryawan, warga Banjar Sintig, Sibang Kaja masih tetap getol untuk membikin “tong edan”, sebuah tong untuk 

mengolah sampah organik dan rumah tangga menjadi pupuk cair dan kompos. Kendati produksi menurun tetapi masih tetap diminati.

 

MADE DWIJA PUTRA, Mangupurai

BEBERAPA waktu lalu Jawa Pos Radar Bali sempat bertandang ke rumah pembuat tong edan di Banjar Sintig.

Memasuki rumahnya sudah tampak tumpukan tong besar isian 150 liter. Namun, ketika memasuki halaman rumahnya juga terlihat tertata rapi kebun organik yang ditanami aneka tanaman pangan.

Kemudian di beranda rumahnya ada tiga tong yang berdiri dimanfaatkan untuk mengolah sampah. Selain itu ada juga terlihat dua tong kecil yang juga dimanfaatkan untuk mengolah sampah.

“Nama tong edan ini bukan konotasinya negatif ya, tetapi memiliki kepanjangan yakni energik dinamis dan andal (edan),” jelas pembikin alat tong edan, I Komang Suryawan mengawali perbincangan.

Ia mengakui tong edan itu sudah diproduksi n sudah tiga tahun lalu. Tujuan utamanya  untuk menangani permasalahan sampah yang  susah untuk diselesaikan khususnya yang organik. 

“Tong edan ini lebih condong fokus di sampah organik khususnya sampah dapur dan daun, ” terang Komang Suryawan.

Konsep tong edan ini juga sangat simpel sekali. Dibuat dengan tong, kemudian di dalamnya ada instalasi pipa sebagai sirkulasi udara.

Sebab, suhu untuk membuat kompos yang bagus itu sekitar 35 derajat celcius.  Kemudian, ada filter yang memisahkan antara pupuk padat dan cair.

“Proses pengerjaannya sangat cepat, paling satu jam selesai. Produksi tidak masalah dan sangat simpel sekali, ” jelasnya.

Cara kerjanya, sampah organik mulai dari sampah rumah tangga, daun dan lainnya dicacah terlebih dahulu.

Setelah itu dimasukkan ke dalam tong dan disemprot dengan mikroorganisme lokal atau lazim disebut mol yang dibikin dari limbah buah dan lainnya.  

Setelah  itu ditutup  dan tiga minggu kemudian bisa dipanen yang menghasilkan air lindi atau pupuk cair dan juga pupuk padat. Keduanya bisa dimanfaatkan untuk pemupukan tanaman. 

“Tong edan ini bisa dimanfaatkan langsung untuk memproduksi maggot. Karena sampah limbah dapur dan organik itu pasti memancing

lalat BSF untuk bertelur. Jadi sudah bertelur, dan menetas mencari sumber makanan yang ada di dalam tong itu, ” terangnya.

Selama tiga tahun memproduksi tong pengolah sampah organik ini responnya tergolong bagus. Tak heran, ia sudah memproduksi hampir 600 tong yang tersebar di seluruh Bali.

Harga per tong ini dibanderol Rp 500 ribu. “Kalau respon ya selama ini tergolong bagus lah,” beber Komang Suryawan lagi.

Sementara di masa pandemi ini memang terjadi penurunan produksi. Sebab di masa pandemi ini orang lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan pokoknya terlebih dulu.

“Ya, masih bertahan, karena ada saja order 1-2 tong per hari. Sekolah-sekolah juga sudah mulai edukasi, kami juga kadang memberikan pembinaan di sekolah,” pungkasnya. (*)

 

Di tengah pandemi Covid-19 ini urusan sampah tidak boleh diabaikan. Sebab, sampah menjadi persoalan klasik yang sampai saat ini juga belum tuntas.

Namun I Komang Suryawan, warga Banjar Sintig, Sibang Kaja masih tetap getol untuk membikin “tong edan”, sebuah tong untuk 

mengolah sampah organik dan rumah tangga menjadi pupuk cair dan kompos. Kendati produksi menurun tetapi masih tetap diminati.

 

MADE DWIJA PUTRA, Mangupurai

BEBERAPA waktu lalu Jawa Pos Radar Bali sempat bertandang ke rumah pembuat tong edan di Banjar Sintig.

Memasuki rumahnya sudah tampak tumpukan tong besar isian 150 liter. Namun, ketika memasuki halaman rumahnya juga terlihat tertata rapi kebun organik yang ditanami aneka tanaman pangan.

Kemudian di beranda rumahnya ada tiga tong yang berdiri dimanfaatkan untuk mengolah sampah. Selain itu ada juga terlihat dua tong kecil yang juga dimanfaatkan untuk mengolah sampah.

“Nama tong edan ini bukan konotasinya negatif ya, tetapi memiliki kepanjangan yakni energik dinamis dan andal (edan),” jelas pembikin alat tong edan, I Komang Suryawan mengawali perbincangan.

Ia mengakui tong edan itu sudah diproduksi n sudah tiga tahun lalu. Tujuan utamanya  untuk menangani permasalahan sampah yang  susah untuk diselesaikan khususnya yang organik. 

“Tong edan ini lebih condong fokus di sampah organik khususnya sampah dapur dan daun, ” terang Komang Suryawan.

Konsep tong edan ini juga sangat simpel sekali. Dibuat dengan tong, kemudian di dalamnya ada instalasi pipa sebagai sirkulasi udara.

Sebab, suhu untuk membuat kompos yang bagus itu sekitar 35 derajat celcius.  Kemudian, ada filter yang memisahkan antara pupuk padat dan cair.

“Proses pengerjaannya sangat cepat, paling satu jam selesai. Produksi tidak masalah dan sangat simpel sekali, ” jelasnya.

Cara kerjanya, sampah organik mulai dari sampah rumah tangga, daun dan lainnya dicacah terlebih dahulu.

Setelah itu dimasukkan ke dalam tong dan disemprot dengan mikroorganisme lokal atau lazim disebut mol yang dibikin dari limbah buah dan lainnya.  

Setelah  itu ditutup  dan tiga minggu kemudian bisa dipanen yang menghasilkan air lindi atau pupuk cair dan juga pupuk padat. Keduanya bisa dimanfaatkan untuk pemupukan tanaman. 

“Tong edan ini bisa dimanfaatkan langsung untuk memproduksi maggot. Karena sampah limbah dapur dan organik itu pasti memancing

lalat BSF untuk bertelur. Jadi sudah bertelur, dan menetas mencari sumber makanan yang ada di dalam tong itu, ” terangnya.

Selama tiga tahun memproduksi tong pengolah sampah organik ini responnya tergolong bagus. Tak heran, ia sudah memproduksi hampir 600 tong yang tersebar di seluruh Bali.

Harga per tong ini dibanderol Rp 500 ribu. “Kalau respon ya selama ini tergolong bagus lah,” beber Komang Suryawan lagi.

Sementara di masa pandemi ini memang terjadi penurunan produksi. Sebab di masa pandemi ini orang lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan pokoknya terlebih dulu.

“Ya, masih bertahan, karena ada saja order 1-2 tong per hari. Sekolah-sekolah juga sudah mulai edukasi, kami juga kadang memberikan pembinaan di sekolah,” pungkasnya. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/