33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 14:47 PM WIB

JWS: Saatnya Bali Punya Online Travel Agent

KUTA – Fenomena Bali “diserbu” turis Tiongkok lengkap dengan serba-serbi dampak positif dan negatif yang menyertainya bukan rahasia umum.

10 tahun mengabdi sebagai kelian Banjar Buni, Kuta dan 5 tahun sebagai Bendesa Adat Kuta, I Wayan Swarsa kerap bersentuhan dengan kondisi memprihatinkan seputar turis Tiongkok.

Caleg DPRD Provinsi Bali Dapil Bali 2 (Badung) nomor urut 1 dari Partai Solidaritas Indonesia itu menyebut tak berlebihan ada anggapan bahwa paket wisata ke Bali dijual sangat murah bila dihubungkan dengan kondisi riil turis di lapangan.

Turis Tiongkok yang overstay alias tinggal melampaui batas waktu, ungkapnya, menjadi menu makanan setiap hari. Termasuk yang menjajakan souvenir dari satu resto ke resto lain di Kampung Turis, Kuta. 

“Saya lihat selama 5 tahun menjadi bendesa adat Kuta, trend 3 tahun terakhir turis Tiongkok begitu membanjiri Pulau Bali.

Salah satu dampak yang paling fenomenal adalah beberapa kali penangkapan turis Tiongkok secara bergerombol yang melakukan tindakan kriminal lintas negara,” ucap Swarsa, Minggu (21/10).

Pecalang Desa Adat Kuta, terangnya, pernah menangkap turis Tiongkok pada saat hari raya Nyepi karena tidak memiliki tempat tinggal.

Dokumen yang dikantongi sudah kedaluwarsa. Parahnya, overstay sang turis bukan satu atau 2 hari, melainkan sampai 4 hingga 6 bulan.

“Akhirnya dilaporkan ke Linmas dan diteruskan ke Polsek Kuta,” tandasnya. Swarsa menambahkan, rahasia umum lainnya adalah turis Tiongkok yang berkunjung ke Bali dihandle oleh sesama Tiongkok atau orang dengan jaringan terbatas.

Tempat belanja turis Tiongkok pun disiapkan khusus oleh orang Tiongkok. Dengan kata lain, duit Tiongkok kembali ke Tiongkok.

“Mereka (para guide asal Tiongkok, red) melakukan money changer di dalam bus. Praktik itu riil ada. Kini tugas pihak terkait untuk mencari bukti-bukti,” jelasnya.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, Swarsa berkisah saat dirinya “ngayah” sebagai Bendesa Adat Kuta pernah ada pengajuan izin peminjaman area Pantai Kuta sebagai titik point penjemputan 5.000 orang turis Tiongkok.

“Tapi kami tolak karena dasar peminjaman pantai tidak jelas. Termasuk apa sesungguhnya yang mereka lakukan,” tandasnya sembari menyatakan jauh sebelum persoalan ini mencuat

beberapa kali focus grup discussion (FGD) telah dilakukan dan isu seputar turis Tiongkok selalu menjadi topik pembicaraan.

“Terakhir yang saya ikuti diselenggarakan oleh Disparda Badung,” sambungnya. Lantas apa yang seharusnya dilakukan?

Pria kelahiran Kuta, 31 Mei 1972 yang merupakan penasihat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Barisan Pendukung Joko Widodo (BPJW) dan penasihat Badan Pengurus Pusat (BPP) Laskar Nusantara itu menyebut pemerintah harus tegas.

Pemerintah Provinsi Bali mutlak wajib menindak semua pelanggaran. Selanjutnya dibarengi dengan tata kelola yang melibatkan seluruh aspek pemegang kebijakan, termasuk desa adat atau pakraman.

Contoh sederhana berupa sertifikasi guide Tiongkok. Swarsa mengapresiasi langkah cepat Gubernur Bali Wayan Koster yang mengadakan pertemuan dengan Konsulat Jenderal (Konjen) Tiongkok di Bali.

“Yang paling penting tentunya adalah pengawasan orang asing di Bali. Beban itu kini berada di pundak imigrasi setelah kewenangan Polri dihapus,” jelasnya.

Swarsa menyebut luas Bali yang relatif sempit seharusnya membuat pengawasan mudah dilakukan bila aparat dan masyarakat berkomitmen untuk itu.

Jero I Wayan Swarsa (JWS) yang menulis buku berjudul “Bali adalah Nusantara” dan mengulas bahwa Presiden Joko Widodo merupakan pemimpin Indonesia berjiwa adat nusantara

mengatakan pihaknya memiliki sistem informasi manajemen Desa Adat Kuta (Simdaku) krama tamiu dalam rangka mendata seluruh penduduk

non adat Kuta yang bertempat tinggal di rumah sewaan atau kontrakan milik krama adat atau dinas; termasuk bila ada turis asing yang tinggal di dalamnya.

Sistem tersebut dibentuk atas kesadaran bahwa sebagai lembaga adat, Kuta harus membantu pekerjaan rumah (PR) Pemprov Bali.

“Berapa ada rumah kos sewaan dan sebagainya semua terdata. Kami paham desa adat tidak memiliki kewenangan sejauh itu.

Tapi, dalam konteks membantu pemerintah di lapangan, saya pikir ini sangat mendesak dilakukan. Ini swadharma,” tegasnya.

Ke depan, bila desa adat dilibatkan dengan sistem pengawasan yang seragam, Swarsa menilai pengawasan orang asing yang menjadi “beban” pihak imigrasi akan lebih mudah dilakukan.

“Bukan hanya berbicara meng-cut atau mengendalikan paket wisatanya. Pemerintah Bali harus berkolaborasi dengan desa adat.

Paket wisata murah membuat banyak turis datang ke Bali. Siapa yang berani menjamin seluruhnya kembali ke negara mereka masing-masing,” ungkapnya.

Demi masa depan pariwisata Bali, Swarsa menganjurkan Pemprov Bali membuat online travel agent (OTA).

Di samping berguna untuk mengawasi pergerakan turis asing di Pulau Dewata, OTA juga berfungsi meredam perang harga hotel.

“Coba dipikirkan. Turis Tiongkok datang dengan paket wisata Rp 600 ribu untuk 5 hari 4 malam. Di mana mereka tinggal?” Dengan OTA kita akan tahu dengan mudah keberadaan mereka,” terangnya.

OTA, sambung caleg PSI yang mengusung tagline Kula-Kanti Jagat Bali (Satu Saudara, Satu Sahabat, Sama-sama Bangun Bali) juga akan memudahkan pemerintah menarik pajak.

“Apakah pemerintah bisa? Tentu bisa. Dengan OTA pemerintah akan semakin kuat meng-cover Bali sebagai destinasi pariwisata internasional,” ungkapnya optimis. (rba)

 

 

KUTA – Fenomena Bali “diserbu” turis Tiongkok lengkap dengan serba-serbi dampak positif dan negatif yang menyertainya bukan rahasia umum.

10 tahun mengabdi sebagai kelian Banjar Buni, Kuta dan 5 tahun sebagai Bendesa Adat Kuta, I Wayan Swarsa kerap bersentuhan dengan kondisi memprihatinkan seputar turis Tiongkok.

Caleg DPRD Provinsi Bali Dapil Bali 2 (Badung) nomor urut 1 dari Partai Solidaritas Indonesia itu menyebut tak berlebihan ada anggapan bahwa paket wisata ke Bali dijual sangat murah bila dihubungkan dengan kondisi riil turis di lapangan.

Turis Tiongkok yang overstay alias tinggal melampaui batas waktu, ungkapnya, menjadi menu makanan setiap hari. Termasuk yang menjajakan souvenir dari satu resto ke resto lain di Kampung Turis, Kuta. 

“Saya lihat selama 5 tahun menjadi bendesa adat Kuta, trend 3 tahun terakhir turis Tiongkok begitu membanjiri Pulau Bali.

Salah satu dampak yang paling fenomenal adalah beberapa kali penangkapan turis Tiongkok secara bergerombol yang melakukan tindakan kriminal lintas negara,” ucap Swarsa, Minggu (21/10).

Pecalang Desa Adat Kuta, terangnya, pernah menangkap turis Tiongkok pada saat hari raya Nyepi karena tidak memiliki tempat tinggal.

Dokumen yang dikantongi sudah kedaluwarsa. Parahnya, overstay sang turis bukan satu atau 2 hari, melainkan sampai 4 hingga 6 bulan.

“Akhirnya dilaporkan ke Linmas dan diteruskan ke Polsek Kuta,” tandasnya. Swarsa menambahkan, rahasia umum lainnya adalah turis Tiongkok yang berkunjung ke Bali dihandle oleh sesama Tiongkok atau orang dengan jaringan terbatas.

Tempat belanja turis Tiongkok pun disiapkan khusus oleh orang Tiongkok. Dengan kata lain, duit Tiongkok kembali ke Tiongkok.

“Mereka (para guide asal Tiongkok, red) melakukan money changer di dalam bus. Praktik itu riil ada. Kini tugas pihak terkait untuk mencari bukti-bukti,” jelasnya.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, Swarsa berkisah saat dirinya “ngayah” sebagai Bendesa Adat Kuta pernah ada pengajuan izin peminjaman area Pantai Kuta sebagai titik point penjemputan 5.000 orang turis Tiongkok.

“Tapi kami tolak karena dasar peminjaman pantai tidak jelas. Termasuk apa sesungguhnya yang mereka lakukan,” tandasnya sembari menyatakan jauh sebelum persoalan ini mencuat

beberapa kali focus grup discussion (FGD) telah dilakukan dan isu seputar turis Tiongkok selalu menjadi topik pembicaraan.

“Terakhir yang saya ikuti diselenggarakan oleh Disparda Badung,” sambungnya. Lantas apa yang seharusnya dilakukan?

Pria kelahiran Kuta, 31 Mei 1972 yang merupakan penasihat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Barisan Pendukung Joko Widodo (BPJW) dan penasihat Badan Pengurus Pusat (BPP) Laskar Nusantara itu menyebut pemerintah harus tegas.

Pemerintah Provinsi Bali mutlak wajib menindak semua pelanggaran. Selanjutnya dibarengi dengan tata kelola yang melibatkan seluruh aspek pemegang kebijakan, termasuk desa adat atau pakraman.

Contoh sederhana berupa sertifikasi guide Tiongkok. Swarsa mengapresiasi langkah cepat Gubernur Bali Wayan Koster yang mengadakan pertemuan dengan Konsulat Jenderal (Konjen) Tiongkok di Bali.

“Yang paling penting tentunya adalah pengawasan orang asing di Bali. Beban itu kini berada di pundak imigrasi setelah kewenangan Polri dihapus,” jelasnya.

Swarsa menyebut luas Bali yang relatif sempit seharusnya membuat pengawasan mudah dilakukan bila aparat dan masyarakat berkomitmen untuk itu.

Jero I Wayan Swarsa (JWS) yang menulis buku berjudul “Bali adalah Nusantara” dan mengulas bahwa Presiden Joko Widodo merupakan pemimpin Indonesia berjiwa adat nusantara

mengatakan pihaknya memiliki sistem informasi manajemen Desa Adat Kuta (Simdaku) krama tamiu dalam rangka mendata seluruh penduduk

non adat Kuta yang bertempat tinggal di rumah sewaan atau kontrakan milik krama adat atau dinas; termasuk bila ada turis asing yang tinggal di dalamnya.

Sistem tersebut dibentuk atas kesadaran bahwa sebagai lembaga adat, Kuta harus membantu pekerjaan rumah (PR) Pemprov Bali.

“Berapa ada rumah kos sewaan dan sebagainya semua terdata. Kami paham desa adat tidak memiliki kewenangan sejauh itu.

Tapi, dalam konteks membantu pemerintah di lapangan, saya pikir ini sangat mendesak dilakukan. Ini swadharma,” tegasnya.

Ke depan, bila desa adat dilibatkan dengan sistem pengawasan yang seragam, Swarsa menilai pengawasan orang asing yang menjadi “beban” pihak imigrasi akan lebih mudah dilakukan.

“Bukan hanya berbicara meng-cut atau mengendalikan paket wisatanya. Pemerintah Bali harus berkolaborasi dengan desa adat.

Paket wisata murah membuat banyak turis datang ke Bali. Siapa yang berani menjamin seluruhnya kembali ke negara mereka masing-masing,” ungkapnya.

Demi masa depan pariwisata Bali, Swarsa menganjurkan Pemprov Bali membuat online travel agent (OTA).

Di samping berguna untuk mengawasi pergerakan turis asing di Pulau Dewata, OTA juga berfungsi meredam perang harga hotel.

“Coba dipikirkan. Turis Tiongkok datang dengan paket wisata Rp 600 ribu untuk 5 hari 4 malam. Di mana mereka tinggal?” Dengan OTA kita akan tahu dengan mudah keberadaan mereka,” terangnya.

OTA, sambung caleg PSI yang mengusung tagline Kula-Kanti Jagat Bali (Satu Saudara, Satu Sahabat, Sama-sama Bangun Bali) juga akan memudahkan pemerintah menarik pajak.

“Apakah pemerintah bisa? Tentu bisa. Dengan OTA pemerintah akan semakin kuat meng-cover Bali sebagai destinasi pariwisata internasional,” ungkapnya optimis. (rba)

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/