33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 13:45 PM WIB

Surat Dari Nanjing

Oleh: Dahlan Iskan

Setelah diskusi dengan mahasiswa seperti Khairul Anwar saya kepikiran. Sepanjang malam. Akan jadi apakah anak seperti itu kelak?

Penampilannya sederhana. Tapi begitu bicara terlihat sangat antusias. Matanya berbinar. Jalan pikirannya runtut.

Keinginanya jelas: jadi pengusaha. Dan karena itu memilih kuliah di jurusan bisnis. Di Nanjing, Tiongkok.

Latar belakangnya pondok pesantren: alumni Darul Hijrah Martapura, Kalsel. Bisa bahasa Arab, Inggris dan sekarang bisa Mandarin. Pembawaanya supel. Mudah bergaul. Dia suka menyanyi. Bisa main gitar.

Mendirikan grup band di negeri orang. Berani tampil di acara-acara kawinan. Di negara yang dulunya dianggap begitu haram.

Sebagai modal hidup sosok seperti itu harusnya cukup. Seperti jadi jaminan masa depannya cerah. Dengan sekolah di pondok pesantren seperti Darul Hijrah pembentukan karakternya kuat: disiplin tinggi, tawadhuk, rendah hati, militan dan peduli akan hal-hal detil. Hal-hal kecil.

Dengan penguasaan tiga bahasa asing jendela dunianya lebar. Apalagi bisa bahasa Mandarin yang begitu sulit. Yang kelak ketika Khairul berumur 32 tahun, Tiongkok sudah jadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia.

Dia tinggal memerlukan satu lagi. Kali ini bukan pendidikan. Tapi pengalaman hidup. Khususnya hidup menderita. Dia baru lulus penderitaan tingkat pertama: disiplinnya hidup di pondok pesantren. Harus bangun malam. Tidur sebentar harus bangun lagi. Sholat subuh. Ketahuan berbahasa Indonesia dihukum. Harus selalu bicara bahasa Arab atau Inggris di lingkungan pondok.

Kini Khairul hidup menderita lagi. Kali ini tidak ada pengurus pondok yang mengawasi. Tidak ada orang tua yang menegur. Semua disiplinnya datang dari dirinya sendiri. Di negara yang sistemnya komunis. Yang bahasanya aneh. Yang makanannya banyak yang dia haramkan. Yang di musim panas paha dan dada wanita berseliweran. Yang pacarnya kirim WA: minta putus. Akan kawin dengan pria lain di kampungnya. Kelamaan menunggu Khairul pulang. Tidak ada pelabuban Teluk Bayur di Sampit.

Saya berdoa keras mahasiswa seperti dia akan sukses di kehidupannya kelak. Bisa lebih sukses dari laki-laki yang menikahi pacarnya. Atau, seperti yang dia tulis di Facebooknya, lebih sukses dari saya.

Lihatlah tulisannya. Saya kutipkan di bawah ini. Yang dia beri judul “Dua Jam Bersama Dahlan Iskan”. Yang kalimat pertamanya angka-angka:

*

17-04-2018. Ketika kelas sedang berlangsung. Notifikasi grup WeChat saya berdering dengan kalimat, “Bisakah saya dapat nomor mahasiswa Indonesia di Nanjing yang bisa diajak makan, siang ini?”.
Kalimat yang disampaikan Ko (abang) Andre So (Koordinator Yayasan Indonesia Tionghoa Culture Centre/ITCC) itu, dari Pak Dahlan Iskan.

Tangan saya pun gercep. Gerak cepat. Membuka dan membalas chat beliau tanpa basa basi, “Bisa pak!”
Dan berlangsunglah tukar-menukar nomor hape (handphone). Ditelpon, kemudian janjian dengan pak Dahlan.

Betapa kagetnya teman-teman sesama penerima beasiswa ITCC di Nanjing. Ketika telepon mereka berdering dan di seberang sana yang bersuara adalah pak Dahlan.

Saya, begitu mengagumi beliau. Dari pengalaman, cerita, karya, dan film beliau. Rasa penasaran membuat saya semakin menggebu-gebu ingin bertemu dengan beliau.

Sore itu, akan ada ujian tengah semester. Tapi, dengan keberanian yang kuat, kami meminta izin dengan dosen. Agar dapat ujian susulan. Dan beliau pun menyetujuinya.

Kami menaiki kereta (bawah tanah). Yang biasa dipakai sebagai alat transportasi paling mudah dan murah di Nanjing. Perkiraan 30 menit lebih menuju tempat tujuan. Di Sanshanjie Zhan, tepatnya di 海底捞火锅.

Wajah kami sumringah. Semua. Cengar cengir. Mulai pulang kelas sampai sebelum ketemu beliau. Semua membayangkan dan sangat ingin bertemu dengan beliau.

Dan akhirnya, kami tepat waktu jam 12:58 sampai di tempat beliau dengan janji ketemuan jam 01:00.

Senyum kami membesar. Mata kami berbinar ketika ketemu dengan orang hebat yang kami kagumi. Bagaimana tidak, dari mahasiswa Indonesia di Nanjing yang kurang lebih 600 orang, hanya 5 orang yang beruntung bisa bertemu dengan beliau dalam jangka waktu kurang lebih 2 jam.

Usai berjabat tangan, berbincang ringan, ternyata beliau sungguh humble. Sebagai orang hebat, betapa rendah hatinya beliau ketika mengobrol.

Saat kami makan bersama, beliau selalu mengingatkan kami memakan sayur dan beliau yang mengambilkan dengan sumpit beliau sendiri.

Dengan spontanitas ketika dalam pembicaraan.
Beliau bertanya ke kami satu persatu. Seperti sudah kenal. Bahkan seperti antara ayah dan anak. Kami jadi merasa nyaman dengan beliau.

Pak Dahlan bertanya tentang saudara kami dan dari mana kami berasal. Contohnya anak-anak dari Sidoarjo. Yang berjumlah 3 orang. Nita, Dinda, dan Desi.

Ada lagi yang dari kota beliau, Fattya dari Kalimantan Timur. Saya satu-satunya laki-laki yang ikut dalam acara lunch ini.

Oh ya, saya Khairul Anwar. Dipanggil Irul. Lulusan pondok pesantren di Martapura, Darul Hijrah. Fattya dari Sampit.

Saya kaget ketika pak Dahlan bisa bicara bahasa Arab dan saya pun menyambut bahasa beliau. Tak lama, beliau cerita dulu sering ke Sampit.

Beliau bisa bahasa Banjar, maka akhirnya pun saya diajak ngomong panjang lebar bahasa Banjar.

Anak-anak lain ketawa melihat tingkah lucunya pak Dahlan. Saya dan kawan-kawan begitu bangga dengan beliau setelah banyak berbagi pengalaman dalam dua jam ini.

Beliau sempat meminta saya berpuisi di depannya. Dengan tema pertemuan ini. Alhamdulillah, setelah puisi spontanitas itu, beliau dan rekan-rekan lain bertepuk tangan.

Pada akhirnya, waktu memisahkan kami. Sebelum itu, kami berfoto ria, bikin video, dan menyambangi masjid tertua di Tiongkok. Masjid Jingjue Sanshanjie. Tak jauh dari tempat makan tersebut.

Bahagia luar biasa ketika pak Dahlan meminta saya jadi imam salat dzuhur beliau. Orangtua maupun keluarga saya di Indonesia senang sekali mendengar kabar ini.

Hari itu, banyak pengalaman dan pelajaran dari beliau, sampai akhirnya, di depan pintu masjid, kami saling mengucap salam perpisahan. Sedih sebenarnya, ketika bisa bertemu dengan orang yang kita kagumi.

Tapi, ya, ada pertemuan pasti ada perpisahan. Terima kasih pak Dahlan atas 2 jam yang sangat berharga. Semoga kami bisa menjadi penerus orang hebat seperti Anda.

* Mahasiswa jurusan Bisnis Internasional di Jiangsu Institute of Commerce (JIC)

*

Khairul mampu mengekspresikan pikirannya. Jiwanya. Keinginannya. Dengan runtut.

Ada antusias. Ada logika di dalamnya.

Dia sudah lulus dua penderitaan: kerasnya jadi siswa pondok dan kerasnya hidup di negeri asing.

Dia tinggal perlu lulus satu penderitaan lagi. Dan itulah penderitaan yang sebenarnya: jatuh bangun di awal bisnisnya kelak.(dis)

Oleh: Dahlan Iskan

Setelah diskusi dengan mahasiswa seperti Khairul Anwar saya kepikiran. Sepanjang malam. Akan jadi apakah anak seperti itu kelak?

Penampilannya sederhana. Tapi begitu bicara terlihat sangat antusias. Matanya berbinar. Jalan pikirannya runtut.

Keinginanya jelas: jadi pengusaha. Dan karena itu memilih kuliah di jurusan bisnis. Di Nanjing, Tiongkok.

Latar belakangnya pondok pesantren: alumni Darul Hijrah Martapura, Kalsel. Bisa bahasa Arab, Inggris dan sekarang bisa Mandarin. Pembawaanya supel. Mudah bergaul. Dia suka menyanyi. Bisa main gitar.

Mendirikan grup band di negeri orang. Berani tampil di acara-acara kawinan. Di negara yang dulunya dianggap begitu haram.

Sebagai modal hidup sosok seperti itu harusnya cukup. Seperti jadi jaminan masa depannya cerah. Dengan sekolah di pondok pesantren seperti Darul Hijrah pembentukan karakternya kuat: disiplin tinggi, tawadhuk, rendah hati, militan dan peduli akan hal-hal detil. Hal-hal kecil.

Dengan penguasaan tiga bahasa asing jendela dunianya lebar. Apalagi bisa bahasa Mandarin yang begitu sulit. Yang kelak ketika Khairul berumur 32 tahun, Tiongkok sudah jadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia.

Dia tinggal memerlukan satu lagi. Kali ini bukan pendidikan. Tapi pengalaman hidup. Khususnya hidup menderita. Dia baru lulus penderitaan tingkat pertama: disiplinnya hidup di pondok pesantren. Harus bangun malam. Tidur sebentar harus bangun lagi. Sholat subuh. Ketahuan berbahasa Indonesia dihukum. Harus selalu bicara bahasa Arab atau Inggris di lingkungan pondok.

Kini Khairul hidup menderita lagi. Kali ini tidak ada pengurus pondok yang mengawasi. Tidak ada orang tua yang menegur. Semua disiplinnya datang dari dirinya sendiri. Di negara yang sistemnya komunis. Yang bahasanya aneh. Yang makanannya banyak yang dia haramkan. Yang di musim panas paha dan dada wanita berseliweran. Yang pacarnya kirim WA: minta putus. Akan kawin dengan pria lain di kampungnya. Kelamaan menunggu Khairul pulang. Tidak ada pelabuban Teluk Bayur di Sampit.

Saya berdoa keras mahasiswa seperti dia akan sukses di kehidupannya kelak. Bisa lebih sukses dari laki-laki yang menikahi pacarnya. Atau, seperti yang dia tulis di Facebooknya, lebih sukses dari saya.

Lihatlah tulisannya. Saya kutipkan di bawah ini. Yang dia beri judul “Dua Jam Bersama Dahlan Iskan”. Yang kalimat pertamanya angka-angka:

*

17-04-2018. Ketika kelas sedang berlangsung. Notifikasi grup WeChat saya berdering dengan kalimat, “Bisakah saya dapat nomor mahasiswa Indonesia di Nanjing yang bisa diajak makan, siang ini?”.
Kalimat yang disampaikan Ko (abang) Andre So (Koordinator Yayasan Indonesia Tionghoa Culture Centre/ITCC) itu, dari Pak Dahlan Iskan.

Tangan saya pun gercep. Gerak cepat. Membuka dan membalas chat beliau tanpa basa basi, “Bisa pak!”
Dan berlangsunglah tukar-menukar nomor hape (handphone). Ditelpon, kemudian janjian dengan pak Dahlan.

Betapa kagetnya teman-teman sesama penerima beasiswa ITCC di Nanjing. Ketika telepon mereka berdering dan di seberang sana yang bersuara adalah pak Dahlan.

Saya, begitu mengagumi beliau. Dari pengalaman, cerita, karya, dan film beliau. Rasa penasaran membuat saya semakin menggebu-gebu ingin bertemu dengan beliau.

Sore itu, akan ada ujian tengah semester. Tapi, dengan keberanian yang kuat, kami meminta izin dengan dosen. Agar dapat ujian susulan. Dan beliau pun menyetujuinya.

Kami menaiki kereta (bawah tanah). Yang biasa dipakai sebagai alat transportasi paling mudah dan murah di Nanjing. Perkiraan 30 menit lebih menuju tempat tujuan. Di Sanshanjie Zhan, tepatnya di 海底捞火锅.

Wajah kami sumringah. Semua. Cengar cengir. Mulai pulang kelas sampai sebelum ketemu beliau. Semua membayangkan dan sangat ingin bertemu dengan beliau.

Dan akhirnya, kami tepat waktu jam 12:58 sampai di tempat beliau dengan janji ketemuan jam 01:00.

Senyum kami membesar. Mata kami berbinar ketika ketemu dengan orang hebat yang kami kagumi. Bagaimana tidak, dari mahasiswa Indonesia di Nanjing yang kurang lebih 600 orang, hanya 5 orang yang beruntung bisa bertemu dengan beliau dalam jangka waktu kurang lebih 2 jam.

Usai berjabat tangan, berbincang ringan, ternyata beliau sungguh humble. Sebagai orang hebat, betapa rendah hatinya beliau ketika mengobrol.

Saat kami makan bersama, beliau selalu mengingatkan kami memakan sayur dan beliau yang mengambilkan dengan sumpit beliau sendiri.

Dengan spontanitas ketika dalam pembicaraan.
Beliau bertanya ke kami satu persatu. Seperti sudah kenal. Bahkan seperti antara ayah dan anak. Kami jadi merasa nyaman dengan beliau.

Pak Dahlan bertanya tentang saudara kami dan dari mana kami berasal. Contohnya anak-anak dari Sidoarjo. Yang berjumlah 3 orang. Nita, Dinda, dan Desi.

Ada lagi yang dari kota beliau, Fattya dari Kalimantan Timur. Saya satu-satunya laki-laki yang ikut dalam acara lunch ini.

Oh ya, saya Khairul Anwar. Dipanggil Irul. Lulusan pondok pesantren di Martapura, Darul Hijrah. Fattya dari Sampit.

Saya kaget ketika pak Dahlan bisa bicara bahasa Arab dan saya pun menyambut bahasa beliau. Tak lama, beliau cerita dulu sering ke Sampit.

Beliau bisa bahasa Banjar, maka akhirnya pun saya diajak ngomong panjang lebar bahasa Banjar.

Anak-anak lain ketawa melihat tingkah lucunya pak Dahlan. Saya dan kawan-kawan begitu bangga dengan beliau setelah banyak berbagi pengalaman dalam dua jam ini.

Beliau sempat meminta saya berpuisi di depannya. Dengan tema pertemuan ini. Alhamdulillah, setelah puisi spontanitas itu, beliau dan rekan-rekan lain bertepuk tangan.

Pada akhirnya, waktu memisahkan kami. Sebelum itu, kami berfoto ria, bikin video, dan menyambangi masjid tertua di Tiongkok. Masjid Jingjue Sanshanjie. Tak jauh dari tempat makan tersebut.

Bahagia luar biasa ketika pak Dahlan meminta saya jadi imam salat dzuhur beliau. Orangtua maupun keluarga saya di Indonesia senang sekali mendengar kabar ini.

Hari itu, banyak pengalaman dan pelajaran dari beliau, sampai akhirnya, di depan pintu masjid, kami saling mengucap salam perpisahan. Sedih sebenarnya, ketika bisa bertemu dengan orang yang kita kagumi.

Tapi, ya, ada pertemuan pasti ada perpisahan. Terima kasih pak Dahlan atas 2 jam yang sangat berharga. Semoga kami bisa menjadi penerus orang hebat seperti Anda.

* Mahasiswa jurusan Bisnis Internasional di Jiangsu Institute of Commerce (JIC)

*

Khairul mampu mengekspresikan pikirannya. Jiwanya. Keinginannya. Dengan runtut.

Ada antusias. Ada logika di dalamnya.

Dia sudah lulus dua penderitaan: kerasnya jadi siswa pondok dan kerasnya hidup di negeri asing.

Dia tinggal perlu lulus satu penderitaan lagi. Dan itulah penderitaan yang sebenarnya: jatuh bangun di awal bisnisnya kelak.(dis)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/