28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 6:22 AM WIB

Meredam Dampak Pandemi dengan Ruralisasi, Mungkinkah?

BADAI pandemi Covid-19, tampaknya, belum surut hingga kini. Dampak yang ditimbulkan masih mengintai berbagai lini kehidupan baik di bidang kesehatan maupun ekonomi.

Per tanggal 22 Agustus 2020 di Provinsi Bali, sebanyak 4.446 orang terkonfirmasi positif terinfeksi virus corona dengan jumlah korban meninggal mencapai 52 orang.

Catatan tersebut menempatkan Bali menduduki peringkat kedelapan dengan jumlah kasus positif terbanyak di Indonesia.

Dari sisi ekonomi, guncangan pandemi Covid-19 telah mengakibatkan perekonomian Bali terkontraksi cukup dalam sepanjang sejarah.

Pada triwulan II, Badan Pusat Statistik Provinsi Bali melaporkan pertumbuhan ekonomi melambat 10,98 persen dibandingkan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya (y-on-y).

Kondisi ini diduga akibat runtuhnya pilar perekonomian Bali yaitu industri pariwisata sejak pertengahan Februari 2020.

Gagal panen pariwisata dimulai ketika ditutupnya akses penerbangan pangsa pasar terbesar pariwisata Bali yaitu wisatawan Tiongkok dalam rangka memutus mata rantai wabah virus corona.

Dinamika perekonomian pandemi tentu akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan yang diukur dalam beberapa capaian indikator makro ekonomi.

Salah satu indikator penting dalam pembangunan secara makro adalah tingkat kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Bali dalam Berita Resmi Statistik No. 44/07/51/Th. XIV, 15 Juli 2020 melaporkan bahwa pada periode Maret 2020 tercatat sekitar 165,19 ribu orang.

Jumlah tersebut bertambah sekitar 8,3 ribu orang dibandingkan jumlah penduduk miskin pada September 2019 yang tercatat sekitar 156,91 ribu orang.

Selama periode September 2019 – Maret 2020, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan tercatat mengalami peningkatan, dari 3,04 persen pada September 2019 menjadi 3,33 persen pada Maret 2020.

Sebaliknya, persentase penduduk miskin di daerah perdesaan mengalami penurunan dari 4,86 persen pada September 2019 menjadi 4,78 persen pada Maret 2020.

Apakah penduduk di wilayah perdesaan tidak terdampak pandemi? Atau anomali ini justru menjadi bukti ketangguhan desa untuk bertahan di tengah pandemi?

Analisis kemiskinan pada periode Maret 2020 menyebutkan bahwa pada periode Maret 2020 dampak awal pandemi Covid-19 mulai menghantam penduduk di wilayah perkotaan sebelum menjalar ke penduduk perdesaan.

Sebagai pusat aktivitas perekonomian, wilayah perkotaan memiliki struktur yang relatif lebih kompleks dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan Bali yang banyak bertumpu pada kategori industri lapangan usaha pertanian.

Pandemi mengakibatkan supply chain terganggu sebagai imbas dari penjarakan sosial dan pembatasan sosial berskala besar di beberapa kota besar.

Konsekuensinya pergerakan roda perekonomian menjadi macet dan pada akhirnya berimbas pada output produksi yang turun sehingga ekonomi melesu.

Dalam rangka mengurangi biaya produksi yang membebani pengusaha, sebagian memutuskan untuk mengurangi jumlah karyawan dengan pemutusan hubungan kerja atau merumahkan sebagian pekerja tanpa upah.

Fenomena tersebut mengakibatkan penduduk di wilayah perkotaan harus memutar otak untuk dapat bertahan hidup tanpa sumber pendapatan berhadapan dengan kebutuhan dasar yang tidak dapat ditunda.

Sebagian mungkin bertahan dengan sisa bantalan finansial berupa tabungan, sebagian mungkin memutuskan kembali pulang ke perdesaan.

Wacana program perpindahan penduduk dari daerah perkotaan yang padat ke daerah perdesaan atau dikenal dengan istilah ruralisasi sempat diusulkan oleh anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Marwan Jafar.

Dikutip dari laman online Media Indonesia, mantan Menteri Desa-PDTT tersebut menyebutkan bahwa kebijakan program ruralisasi ini merupakan solusi nyata

serta jalan keluar dari jebakan seperti impor-mengimpor beberapa komoditas serta persoalan penting yang menjerat sektor pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan.

Program ruralisasi juga disebut sebagai salah satu strategi meredam dampak pandemi dengan bertumpu pada sektor agrobisnis dan agroindustri sebagai penyangga setidaknya untuk pangsa pasar lokal.

Penguatan pembangunan dari desa juga terus digaungkan sejak peluncuran dana desa di tahun 2015.

Pemerintahan dibawah komando Presiden Jokowi, menempatkan desa menjadi bagian dalam target Nawacita ketiga: “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa”.

Harapan besar terkandung dari distribusi dana desa agar menjadi energi untuk memperbaiki infrastruktur dan ekonomi  desa, menurunkan kemiskinan, dan menekan laju urbanisasi atau migrasi penduduk dari desa ke kota.

Alhasil, desa diganjar dengan performa tangguh di tengah badai pandemi. Konsepsi tentang ruralisasi yang lebih powerfull disampaikan oleh Uchendu Eugene Chigbu (2015)

yang dikutip dari Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020) : 145-162 Juni 2020 dalam tulisan Ari Sulistyorini, menegaskan bahwa ruralisasi adalah solusi atas masalah urbanisasi dan sebagai jalan untuk transformasi kehidupan perdesaan.

Pedesaan menjadi gaya hidup dan sumber penghidupan. Urbanisasi yang tak terbendung justru meninggalkan paradoks yang menyebabkan “kota centris” yang sebenarnya sangat rentan apabila terjadi guncangan secara tiba-tiba seperti pandemi Covid-19.

Ketika kolaps terjadi di wilayah perkotaan, masyarakat tidak mempunyai opsi lain selain kembali ke wilayah perdesaan untuk bertahan hidup dan menata kembali sumber mata pencaharian berbasis potensi lokal.

Penguatan pilar struktur ekonomi wilayah perdesaan juga dikelola dengan cukup baik oleh Pemerintah Provinsi Bali lewat peluncuran program Pasar Gotong Royong Krama Bali.

Program ini bertujuan untuk membantu pemasaran produk lokal yang dihasilkan oleh petani yang dominan tinggal di wilayah perdesaan sebagai salah satu dongkrak pemulihan perekonomian Bali.

Sinyal positif pergerakan tingkat kesejahteraan petani pun mulai ditunjukkan oleh Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) pada bulan Juli 2020 yang tercatat naik setinggi 0,42 persen, dari 93,53 pada bulan Juni 2020 menjadi 93,92.

Optimisme akan trend yang meningkat di bulan September diharapkan dari perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan yang akan diperingati oleh mayoritas penduduk Bali.

Konsumsi buah lokal tentu menjadi pilihan bijak untuk turut serta membantu menyelamatkan perekonomian lokal dari sektor pertanian di masa pandemi.

Potensi desa lainnya yang menjadi tumpuan asa keluar dari jebakan ekonomi pandemi adalah pembangunan desa wisata berbasis komunitas.

Tarik ulur pembukaan keran wisata mancanegara di Bali tentunya bukan menjadi alasan untuk bangkitnya industri pariwisata dari wisatawan domestik.

Integrasi potensi desa dengan digitalisasi pengelolaan BUMDes menjadi salah satu kunci yang disampaikan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Abdul Halim Iskandar dalam webinar nasional pedesaan untuk membangkitkan kembali ekonomi desa pasca pandemi Covid-19.

Strategi ini tentu mempertimbangkan potensi sebaran hotel di 1.709 desa dan penginapan di 3.429 desa di Indonesia.

BUMDes kini juga sudah ditemukan di 50.199 desa. Sebanyak 37.125 BUMDes telah dinyatakan aktif bertransaksi dan memberdayakan perekonomian desa.

Dengan demikian bukan tidak mungkin, perdesaan adalah salah satu solusi penyangga untuk menghindar dari jurang jebakan pandemi. Mari kembali membangun dari desa untuk Indonesia Maju. (I Gede Heprin Prayasta/Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Udayana)

BADAI pandemi Covid-19, tampaknya, belum surut hingga kini. Dampak yang ditimbulkan masih mengintai berbagai lini kehidupan baik di bidang kesehatan maupun ekonomi.

Per tanggal 22 Agustus 2020 di Provinsi Bali, sebanyak 4.446 orang terkonfirmasi positif terinfeksi virus corona dengan jumlah korban meninggal mencapai 52 orang.

Catatan tersebut menempatkan Bali menduduki peringkat kedelapan dengan jumlah kasus positif terbanyak di Indonesia.

Dari sisi ekonomi, guncangan pandemi Covid-19 telah mengakibatkan perekonomian Bali terkontraksi cukup dalam sepanjang sejarah.

Pada triwulan II, Badan Pusat Statistik Provinsi Bali melaporkan pertumbuhan ekonomi melambat 10,98 persen dibandingkan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya (y-on-y).

Kondisi ini diduga akibat runtuhnya pilar perekonomian Bali yaitu industri pariwisata sejak pertengahan Februari 2020.

Gagal panen pariwisata dimulai ketika ditutupnya akses penerbangan pangsa pasar terbesar pariwisata Bali yaitu wisatawan Tiongkok dalam rangka memutus mata rantai wabah virus corona.

Dinamika perekonomian pandemi tentu akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan yang diukur dalam beberapa capaian indikator makro ekonomi.

Salah satu indikator penting dalam pembangunan secara makro adalah tingkat kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Bali dalam Berita Resmi Statistik No. 44/07/51/Th. XIV, 15 Juli 2020 melaporkan bahwa pada periode Maret 2020 tercatat sekitar 165,19 ribu orang.

Jumlah tersebut bertambah sekitar 8,3 ribu orang dibandingkan jumlah penduduk miskin pada September 2019 yang tercatat sekitar 156,91 ribu orang.

Selama periode September 2019 – Maret 2020, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan tercatat mengalami peningkatan, dari 3,04 persen pada September 2019 menjadi 3,33 persen pada Maret 2020.

Sebaliknya, persentase penduduk miskin di daerah perdesaan mengalami penurunan dari 4,86 persen pada September 2019 menjadi 4,78 persen pada Maret 2020.

Apakah penduduk di wilayah perdesaan tidak terdampak pandemi? Atau anomali ini justru menjadi bukti ketangguhan desa untuk bertahan di tengah pandemi?

Analisis kemiskinan pada periode Maret 2020 menyebutkan bahwa pada periode Maret 2020 dampak awal pandemi Covid-19 mulai menghantam penduduk di wilayah perkotaan sebelum menjalar ke penduduk perdesaan.

Sebagai pusat aktivitas perekonomian, wilayah perkotaan memiliki struktur yang relatif lebih kompleks dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan Bali yang banyak bertumpu pada kategori industri lapangan usaha pertanian.

Pandemi mengakibatkan supply chain terganggu sebagai imbas dari penjarakan sosial dan pembatasan sosial berskala besar di beberapa kota besar.

Konsekuensinya pergerakan roda perekonomian menjadi macet dan pada akhirnya berimbas pada output produksi yang turun sehingga ekonomi melesu.

Dalam rangka mengurangi biaya produksi yang membebani pengusaha, sebagian memutuskan untuk mengurangi jumlah karyawan dengan pemutusan hubungan kerja atau merumahkan sebagian pekerja tanpa upah.

Fenomena tersebut mengakibatkan penduduk di wilayah perkotaan harus memutar otak untuk dapat bertahan hidup tanpa sumber pendapatan berhadapan dengan kebutuhan dasar yang tidak dapat ditunda.

Sebagian mungkin bertahan dengan sisa bantalan finansial berupa tabungan, sebagian mungkin memutuskan kembali pulang ke perdesaan.

Wacana program perpindahan penduduk dari daerah perkotaan yang padat ke daerah perdesaan atau dikenal dengan istilah ruralisasi sempat diusulkan oleh anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Marwan Jafar.

Dikutip dari laman online Media Indonesia, mantan Menteri Desa-PDTT tersebut menyebutkan bahwa kebijakan program ruralisasi ini merupakan solusi nyata

serta jalan keluar dari jebakan seperti impor-mengimpor beberapa komoditas serta persoalan penting yang menjerat sektor pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan.

Program ruralisasi juga disebut sebagai salah satu strategi meredam dampak pandemi dengan bertumpu pada sektor agrobisnis dan agroindustri sebagai penyangga setidaknya untuk pangsa pasar lokal.

Penguatan pembangunan dari desa juga terus digaungkan sejak peluncuran dana desa di tahun 2015.

Pemerintahan dibawah komando Presiden Jokowi, menempatkan desa menjadi bagian dalam target Nawacita ketiga: “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa”.

Harapan besar terkandung dari distribusi dana desa agar menjadi energi untuk memperbaiki infrastruktur dan ekonomi  desa, menurunkan kemiskinan, dan menekan laju urbanisasi atau migrasi penduduk dari desa ke kota.

Alhasil, desa diganjar dengan performa tangguh di tengah badai pandemi. Konsepsi tentang ruralisasi yang lebih powerfull disampaikan oleh Uchendu Eugene Chigbu (2015)

yang dikutip dari Jurnal Inovasi Aparatur Vol 2 No 1 (2020) : 145-162 Juni 2020 dalam tulisan Ari Sulistyorini, menegaskan bahwa ruralisasi adalah solusi atas masalah urbanisasi dan sebagai jalan untuk transformasi kehidupan perdesaan.

Pedesaan menjadi gaya hidup dan sumber penghidupan. Urbanisasi yang tak terbendung justru meninggalkan paradoks yang menyebabkan “kota centris” yang sebenarnya sangat rentan apabila terjadi guncangan secara tiba-tiba seperti pandemi Covid-19.

Ketika kolaps terjadi di wilayah perkotaan, masyarakat tidak mempunyai opsi lain selain kembali ke wilayah perdesaan untuk bertahan hidup dan menata kembali sumber mata pencaharian berbasis potensi lokal.

Penguatan pilar struktur ekonomi wilayah perdesaan juga dikelola dengan cukup baik oleh Pemerintah Provinsi Bali lewat peluncuran program Pasar Gotong Royong Krama Bali.

Program ini bertujuan untuk membantu pemasaran produk lokal yang dihasilkan oleh petani yang dominan tinggal di wilayah perdesaan sebagai salah satu dongkrak pemulihan perekonomian Bali.

Sinyal positif pergerakan tingkat kesejahteraan petani pun mulai ditunjukkan oleh Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) pada bulan Juli 2020 yang tercatat naik setinggi 0,42 persen, dari 93,53 pada bulan Juni 2020 menjadi 93,92.

Optimisme akan trend yang meningkat di bulan September diharapkan dari perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan yang akan diperingati oleh mayoritas penduduk Bali.

Konsumsi buah lokal tentu menjadi pilihan bijak untuk turut serta membantu menyelamatkan perekonomian lokal dari sektor pertanian di masa pandemi.

Potensi desa lainnya yang menjadi tumpuan asa keluar dari jebakan ekonomi pandemi adalah pembangunan desa wisata berbasis komunitas.

Tarik ulur pembukaan keran wisata mancanegara di Bali tentunya bukan menjadi alasan untuk bangkitnya industri pariwisata dari wisatawan domestik.

Integrasi potensi desa dengan digitalisasi pengelolaan BUMDes menjadi salah satu kunci yang disampaikan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Abdul Halim Iskandar dalam webinar nasional pedesaan untuk membangkitkan kembali ekonomi desa pasca pandemi Covid-19.

Strategi ini tentu mempertimbangkan potensi sebaran hotel di 1.709 desa dan penginapan di 3.429 desa di Indonesia.

BUMDes kini juga sudah ditemukan di 50.199 desa. Sebanyak 37.125 BUMDes telah dinyatakan aktif bertransaksi dan memberdayakan perekonomian desa.

Dengan demikian bukan tidak mungkin, perdesaan adalah salah satu solusi penyangga untuk menghindar dari jurang jebakan pandemi. Mari kembali membangun dari desa untuk Indonesia Maju. (I Gede Heprin Prayasta/Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Udayana)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/