33.2 C
Jakarta
18 April 2024, 16:49 PM WIB

Ungkap Resep Rahasia Bangsa Indonesia Tak Terpecah

Wakil Menag, PBNU, PP Muhammadiyah Hadiri Webinar Kebangsaan LDII

DENPASAR, radarbali.id – DPP LDII bersama Majalah Nuansa Persada menggelar webinar bertema “Beragama dalam Bingkai Kebangsaan untuk Merawat dan Menjaga Keutuhan Bangsa”, Rabu (24/8) di Aula Serbaguna, Kantor DPP LDII, Jakarta.

Perhelatan itu diikuti 2.600 peserta yang berkumpul di 265 titik.

Para peserta terdiri perwakilan DPW, DPD Kabupaten/Kota, hingga pesantren di lingkungan LDII. Webinar tersebut menghadirkan tokoh penting di Indonesia.

Ada Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid sebagai pembicara kunci, Lukman Hakim Saifuddin, Ketua PBNU KH Ahmad Fachrur Rozi, Ketua PP Muhammadiyah KH Syafiq Al Mughni, Romo Franz Magnis Suseno, dan Ketua DPP LDII Singgih Tri Sulistyono.

“Menghadapi disrupsi, kami menginginkan kita semua bekerja untuk masa depan dengan paradigma bersanding, bukan bertanding, apalagi bersaing. Artinya untung menguntungkan di antara kita semuanya, sehingga Indonesia bisa berjalan dengan baik,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso, saat membuka webinar.

Dijelaskan, teknologi 4.0 yang ditandai dengan pemanfaatan internet dan otomatisasi, mengakibatkan disrupsi pada semua sektor.

Persoalannya, tidak semua rakyat Indonesia mendapat penerangan yang baik untuk bisa memanfaatkan teknologi menjadi sesuatu yang bermanfaat.

Akibatnya, Indonesia yang majemuk terancam dengan politik identitas. Menurut KH Chriswanto, keberagaman adalah takdir bangsa Indonesia.

Agar perahu yang bernama Indonesia tetap tenang, maka setiap pihak harus mengembangkan toleransi dan saling menghargai.

Senada dengan KH Chriswanto, keynote speaker webinar Wakil Menteri Agama (Wamenag), Zainut Tauhid Sa’adi dalam pernyataannya, meminta umat beragama menjadi agen transformasional yang mampu mengembangkan nilai-nilai spiritualitas keimanan, mental kultural, dan kemanusiaan di kemajemukan.

“Kita sekaligus harus mampu menjaga keutuhan bangsa agar tidak tercerabut dari akar kehidupan, sebagai bangsa yang religius di tengah budaya teknokratis, materialistis, dan hedonis yang terjadi di sekitar kita,” ujarnya.

Sementara Menteri Agama RI periode 2014-2019, Lukman Hakim mengukuhkan pendapat Wamenag mengenai pentingnya menghindari gesekan dalam kehidupan yang majemuk.

“Kita menghadapi dua kutub dalam keberagamaan kita, secara sederhana terdapat kutub yang mengedepankan simbol dalam beragama. Kemudian terdapat kutub lain, yang mengedepankan esensi, tidak peduli dengan simbol,” tegasnya.

Di sinilah hadir konsep moderasi beragama, yang menarik dua kutub tersebut agar mengedepankan nilai-nilai universal agama untuk kemaslahatan umat.

“Sementara masalah-masalah perbedaan atau furuiyah, hanya diperbincangkan di dalam kelompok saja. Dengan masalah perbedaan semua pihak harus lebih toleran,” ujarnya.

Sikap yang toleran tersebut, diyakini Romo Franz Magnis Suseno SJ, Guru Besar Emiritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara sebagai penyelamat bangsa Indonesia.

“Bangsa ini setidaknya tiga kali terancam perpecahan, namun persatuan selalu menyelamatkan Indonesia,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam webinar kebangsaan tersebut.

Sumpah Pemuda melahirkan bangsa Indonesia di tengah kolonialisme pada 1928. Lalu Pancasila yang dirumuskan sesaat sebelum merdeka, terbukti menjadi perekat.

“Ketiga saya sebagai saksi mata, kala reformasi semua orang mengira Indonesia akan bubar seperti Uni Soviet, tapi Indonesia bisa keluar dari krisis dalam persatuan dan perdamaian yang mantap,” ujar Romo Magnis.

Kunci keberhasilan Indonesia melewati krisis, menurutnya adalah kesediaan mayoritas untuk tidak menuntut kedudukan istimewa dalam UUD 1945.

“Umat Islam tidak menuntut keistimewaan. Itulah dasar persatuan,” imbuhnya.

Meskipun demikian, ia berpendapat kelompok minoritas harus menghormati nilai-nilai budaya kelompok mayoritas. “Di sinilah pentingnya tenggang rasa,” ungkapnya.

Senada dengan Romo Magnis, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (Undip) Singgih Tri Sulistiyono yang juga Ketua DPP LDII, menuturkan Pancasila merupakan pemersatu bangsa.

“Inilah yang membuat Lemkari cikal bakal LDII, sejak berdiri pada 1972 menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi,” imbuh Singgih.

Menurutnya, untuk menjahit keberagaman LDII mengembangkan silaturahmi atau dialog. Bahkan, “8 Program Kerja LDII untuk Bangsa” yang terdiri dari Wawasan Kebangsaan, Dakwah, Pendidikan Umum, Ketahanan Pangan, Penghijauan dan Pelestarian Lingkungan, Kesehatan dan Pengobatan Herbal, Ekonomi Syariah, Teknologi 4.0, dan Energi Baru Terbarukan.

Tidak berhenti sebagai program kerja, tapi menjadi wahana untuk bersilaturahmi dengan pemerintah, ormas, parpol, dan para pemangku asas lainnya. Silaturahmi menjadi ruh LDII dalam moderasi beragama.

“Fondasinya ayat yang menegaskan kita diciptakan memang berbeda, namun untuk saling mengenal sehingga bisa saling membantu,” ujar Singgih. (rba/san/ken)

 

 

 

 

 

 

 

 

DENPASAR, radarbali.id – DPP LDII bersama Majalah Nuansa Persada menggelar webinar bertema “Beragama dalam Bingkai Kebangsaan untuk Merawat dan Menjaga Keutuhan Bangsa”, Rabu (24/8) di Aula Serbaguna, Kantor DPP LDII, Jakarta.

Perhelatan itu diikuti 2.600 peserta yang berkumpul di 265 titik.

Para peserta terdiri perwakilan DPW, DPD Kabupaten/Kota, hingga pesantren di lingkungan LDII. Webinar tersebut menghadirkan tokoh penting di Indonesia.

Ada Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid sebagai pembicara kunci, Lukman Hakim Saifuddin, Ketua PBNU KH Ahmad Fachrur Rozi, Ketua PP Muhammadiyah KH Syafiq Al Mughni, Romo Franz Magnis Suseno, dan Ketua DPP LDII Singgih Tri Sulistyono.

“Menghadapi disrupsi, kami menginginkan kita semua bekerja untuk masa depan dengan paradigma bersanding, bukan bertanding, apalagi bersaing. Artinya untung menguntungkan di antara kita semuanya, sehingga Indonesia bisa berjalan dengan baik,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso, saat membuka webinar.

Dijelaskan, teknologi 4.0 yang ditandai dengan pemanfaatan internet dan otomatisasi, mengakibatkan disrupsi pada semua sektor.

Persoalannya, tidak semua rakyat Indonesia mendapat penerangan yang baik untuk bisa memanfaatkan teknologi menjadi sesuatu yang bermanfaat.

Akibatnya, Indonesia yang majemuk terancam dengan politik identitas. Menurut KH Chriswanto, keberagaman adalah takdir bangsa Indonesia.

Agar perahu yang bernama Indonesia tetap tenang, maka setiap pihak harus mengembangkan toleransi dan saling menghargai.

Senada dengan KH Chriswanto, keynote speaker webinar Wakil Menteri Agama (Wamenag), Zainut Tauhid Sa’adi dalam pernyataannya, meminta umat beragama menjadi agen transformasional yang mampu mengembangkan nilai-nilai spiritualitas keimanan, mental kultural, dan kemanusiaan di kemajemukan.

“Kita sekaligus harus mampu menjaga keutuhan bangsa agar tidak tercerabut dari akar kehidupan, sebagai bangsa yang religius di tengah budaya teknokratis, materialistis, dan hedonis yang terjadi di sekitar kita,” ujarnya.

Sementara Menteri Agama RI periode 2014-2019, Lukman Hakim mengukuhkan pendapat Wamenag mengenai pentingnya menghindari gesekan dalam kehidupan yang majemuk.

“Kita menghadapi dua kutub dalam keberagamaan kita, secara sederhana terdapat kutub yang mengedepankan simbol dalam beragama. Kemudian terdapat kutub lain, yang mengedepankan esensi, tidak peduli dengan simbol,” tegasnya.

Di sinilah hadir konsep moderasi beragama, yang menarik dua kutub tersebut agar mengedepankan nilai-nilai universal agama untuk kemaslahatan umat.

“Sementara masalah-masalah perbedaan atau furuiyah, hanya diperbincangkan di dalam kelompok saja. Dengan masalah perbedaan semua pihak harus lebih toleran,” ujarnya.

Sikap yang toleran tersebut, diyakini Romo Franz Magnis Suseno SJ, Guru Besar Emiritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara sebagai penyelamat bangsa Indonesia.

“Bangsa ini setidaknya tiga kali terancam perpecahan, namun persatuan selalu menyelamatkan Indonesia,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam webinar kebangsaan tersebut.

Sumpah Pemuda melahirkan bangsa Indonesia di tengah kolonialisme pada 1928. Lalu Pancasila yang dirumuskan sesaat sebelum merdeka, terbukti menjadi perekat.

“Ketiga saya sebagai saksi mata, kala reformasi semua orang mengira Indonesia akan bubar seperti Uni Soviet, tapi Indonesia bisa keluar dari krisis dalam persatuan dan perdamaian yang mantap,” ujar Romo Magnis.

Kunci keberhasilan Indonesia melewati krisis, menurutnya adalah kesediaan mayoritas untuk tidak menuntut kedudukan istimewa dalam UUD 1945.

“Umat Islam tidak menuntut keistimewaan. Itulah dasar persatuan,” imbuhnya.

Meskipun demikian, ia berpendapat kelompok minoritas harus menghormati nilai-nilai budaya kelompok mayoritas. “Di sinilah pentingnya tenggang rasa,” ungkapnya.

Senada dengan Romo Magnis, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (Undip) Singgih Tri Sulistiyono yang juga Ketua DPP LDII, menuturkan Pancasila merupakan pemersatu bangsa.

“Inilah yang membuat Lemkari cikal bakal LDII, sejak berdiri pada 1972 menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi,” imbuh Singgih.

Menurutnya, untuk menjahit keberagaman LDII mengembangkan silaturahmi atau dialog. Bahkan, “8 Program Kerja LDII untuk Bangsa” yang terdiri dari Wawasan Kebangsaan, Dakwah, Pendidikan Umum, Ketahanan Pangan, Penghijauan dan Pelestarian Lingkungan, Kesehatan dan Pengobatan Herbal, Ekonomi Syariah, Teknologi 4.0, dan Energi Baru Terbarukan.

Tidak berhenti sebagai program kerja, tapi menjadi wahana untuk bersilaturahmi dengan pemerintah, ormas, parpol, dan para pemangku asas lainnya. Silaturahmi menjadi ruh LDII dalam moderasi beragama.

“Fondasinya ayat yang menegaskan kita diciptakan memang berbeda, namun untuk saling mengenal sehingga bisa saling membantu,” ujar Singgih. (rba/san/ken)

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/