Warning: Undefined variable $reporternya in /var/www/devwpradar/wp-content/themes/Newspaper/functions.php on line 229
27.3 C
Jakarta
27 Juli 2024, 3:01 AM WIB

Cuek Bikin Tuak, Pengalaman 1963 Jadi Pedoman

Aspal di jalur Juntal, Kubu, Karangasem, mengelupas. Batu-batunya bercampur tanah. Rumah di sela lereng Gunung Agung tak berpenghuni. Namun, setelah naik 2 km ada yang bertahan. Siapa mereka?

 

DJOKO HERU SETIYAWAN, Amlapura

JALUR Karangasem-Buleleng, persisnya Jalan Raya Singaraja, Kubu, Karangasem, pagi hingga sore kemarin dipenuhi arus pengungsi ke Buleleng.

Juga pikap hingga traler pengangkut sapi. Tak ketinggalan truk pengangkut pasir ikut lalu lalang.

“Sapi-sapi ini mau saya bawa ke Goris, Buleleng,” aku Putu Eka Adi Putra, sopir truk DK 9318 BB, pengangkut 16 ekor sapi, saat diperiksa polisi di depan Mapolsek Kubu, kemarin.

Berjalan 500 meter ke arah Singaraja dari truk itu dihentikan, Jawa Pos Radar Bali, belok kiri menuju Juntal yang masuk zona merah erupsi merapi.

Sempat melewati tebing batu, tanaman perdu, rumah-rumah warga sudah kosong. Tampak antena parabola miring, tumpukan kayu kering.

Sekitar 2 kilometer naik lereng, kami bertemu keluarga Ketut Tantri yang masih bertahan. “Kami tinggal di sini bersana 2 KK. Sebagian anggota keluarga kami sudah mengungsi Kantor Perbekel Tembok, Buleleng,” aku Tantri yang didampingi putrinya, Ni Luh Putri, siswi kelas 1 SMP Kubu.

Sang istri, Luh Karsiani juga ikut nimbung. Tantri ngaku bolak-balik ke pengungsian setiap hari. Sebab harus pulang untuk ngurus sapi, babi, hingga kambing dan ayam.

“Dua ekor sapi saya besok dibeli tengkulak seharga Rp 20 juta. Padahal, harusnya laku Rp 35 juta,” tuturnya sambil menunjuk dua sapinya.

Selain itu, dia juga harus rutin membuat tuak. “Dulu sebelum Gunung Agung naik status awas, sehari saya bisa jual tuak Rp 50 ribu. Sekarang tak tentu,” tuturnya sambil siap-siap naik pohon nira di sisi rumahnya.

Sementara, Made Suarsana, 53, dan istrinya, Ketut Nadri, tetap bertahan di tokonya di Baturinggit, Kubu.

“Kami masih bertahan karena pengalaman erupsi Gunung Agung 1963. Saat ini, tanda-tanda mau erupsi belum begitu besar,” paparnya. Pada saat bersamaan, terjadi gempa disertai gemuruh.

Walau demikian, anak dan cucunya sudah diungsikan ke Buleleng dan dan Denpasar. “Meski belum ngungsi, saya dan istri sudah siapkan mobil untuk sewaktu-waktu ngungsi. Bahkan kunci mobil kami biarkan nyantol,” pungkasnya. 

Aspal di jalur Juntal, Kubu, Karangasem, mengelupas. Batu-batunya bercampur tanah. Rumah di sela lereng Gunung Agung tak berpenghuni. Namun, setelah naik 2 km ada yang bertahan. Siapa mereka?

 

DJOKO HERU SETIYAWAN, Amlapura

JALUR Karangasem-Buleleng, persisnya Jalan Raya Singaraja, Kubu, Karangasem, pagi hingga sore kemarin dipenuhi arus pengungsi ke Buleleng.

Juga pikap hingga traler pengangkut sapi. Tak ketinggalan truk pengangkut pasir ikut lalu lalang.

“Sapi-sapi ini mau saya bawa ke Goris, Buleleng,” aku Putu Eka Adi Putra, sopir truk DK 9318 BB, pengangkut 16 ekor sapi, saat diperiksa polisi di depan Mapolsek Kubu, kemarin.

Berjalan 500 meter ke arah Singaraja dari truk itu dihentikan, Jawa Pos Radar Bali, belok kiri menuju Juntal yang masuk zona merah erupsi merapi.

Sempat melewati tebing batu, tanaman perdu, rumah-rumah warga sudah kosong. Tampak antena parabola miring, tumpukan kayu kering.

Sekitar 2 kilometer naik lereng, kami bertemu keluarga Ketut Tantri yang masih bertahan. “Kami tinggal di sini bersana 2 KK. Sebagian anggota keluarga kami sudah mengungsi Kantor Perbekel Tembok, Buleleng,” aku Tantri yang didampingi putrinya, Ni Luh Putri, siswi kelas 1 SMP Kubu.

Sang istri, Luh Karsiani juga ikut nimbung. Tantri ngaku bolak-balik ke pengungsian setiap hari. Sebab harus pulang untuk ngurus sapi, babi, hingga kambing dan ayam.

“Dua ekor sapi saya besok dibeli tengkulak seharga Rp 20 juta. Padahal, harusnya laku Rp 35 juta,” tuturnya sambil menunjuk dua sapinya.

Selain itu, dia juga harus rutin membuat tuak. “Dulu sebelum Gunung Agung naik status awas, sehari saya bisa jual tuak Rp 50 ribu. Sekarang tak tentu,” tuturnya sambil siap-siap naik pohon nira di sisi rumahnya.

Sementara, Made Suarsana, 53, dan istrinya, Ketut Nadri, tetap bertahan di tokonya di Baturinggit, Kubu.

“Kami masih bertahan karena pengalaman erupsi Gunung Agung 1963. Saat ini, tanda-tanda mau erupsi belum begitu besar,” paparnya. Pada saat bersamaan, terjadi gempa disertai gemuruh.

Walau demikian, anak dan cucunya sudah diungsikan ke Buleleng dan dan Denpasar. “Meski belum ngungsi, saya dan istri sudah siapkan mobil untuk sewaktu-waktu ngungsi. Bahkan kunci mobil kami biarkan nyantol,” pungkasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/