Gusti Bagus Saputra, 89, merupakan veteran yang merupakan saksi perjuangan pascaproklammasi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Pejuang asal Pemecutan, Denpasar itu, menceritakan bagaimana para pejuang bertahan dari serangan tentara musuh.
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
MESKI tubuh kian menua dan renta, namun para veteran dari seluruh Bali, tampak, antusias menghadiri HUT ke-62 Legiun Veteran Republik Indonesia yang dipusatkan di Balai Budaya Gianyar, Selasa (29/1) kemarin.
Bahkan, ketua Legiun Veteran Provinsi Bali, Gusti Bagus Saputra dalam usai senja masih tampak energik mengikuti acara hari jadi tersebut.
Disela acara, Gusti Bagus Saputera pun mengisahkan perjuangan para pejuang pada tahun 1946 silam.
Saat itu, Saputra berusia 15 tahun dan sudah ikut mengangkat senjata mengusir penjajah. “Saat itu, sudah dilakukan proklamasi, tapi penjajah belum mengakui kemerdekaan kita, mereka masih disini,” kenangnya.
Saputra saat itu bergabung menjadi prajurit di bawah komando pahlawan nasional, I Gusti Ngurah Rai. Saat itu, pasukan Gusti Ngurah Rai terdiri dari beberapa pasukan kecil.
“Waktu itu, saya prajurit paling kecil, karena menjadi prajurit tidak ada pakai surat keputusan, ditunjuk saja kamu prajurit, ya jadi saya prajurit,” jelasnya.
Selama perjuangan melawan penjajah, kata Saputra, prajurit harus melawan penjajah yang bersenjata modern dan lengkap.
Diakui, saat itu para pejuang minim persenjataan. Saputra kala itu menjadi pejuang termuda dengan berbekal beberapa granat.
“Waktu itu saya bawa granat, granat yang bentuk nanas itu,” paparnya. Perjuangan saat puputan Margarana rupanya sempat membuat mundur para pejuang.
Dalam rencana, pasukan dipindahkan dari Desa/Kecamatan Marga ke wilayah Bali Timur. Bahkan, Saputra dan pasukannya sempat bersembunyi sampai ke hutan di Gunung Agung.
“Karena dikejar terus oleh Belanda, kami masuk ke hutan – hutan, naik ke puncak Gunung Agung,” ujarnya.
Menurutnya, situasi saat itu begitu sulit. Itu karena penjajah Belanda hampir menguasai seluruh desa di Bali.
Apabila ada prajurit perjuangan yang menampakkan diri, tentu akan digempur penjajah. Dalam perjuangan bawah tanah, dan dalam tekanan penjajah, membuat para penduduk tidak berani memberi makan para prajurit yang tiba.
“Sebelumnya kami biasa diberi ketupat sama penduduk, namun selama pengejaran oleh Belanda itu, kalau ada rakyat yang memberi makan itu akan langsung dihukum oleh mereka,” jelasnya.
Bahkan, Belanda yang kejam tidak canggung menerapkan hukuman mati bagi rakyat yang melawan perintah penjajah.
“Dihukum bisa dengan tembak di tempat dan bisa juga desanya dibakar,” jelasnya. Akibat tekanan itu, para pejuang disebut berhari-hari tidak makan dalam persembunyian.
Beruntung di Gunung Agung para pejuang menemukan kubangan air. “Kubangan air itu memang kotor, bahkan warnanya hijau,
tetapi para prajurit terpaksa meminum. Setelah itu tenggorokan kami lebih segar, dan bisa melanjutkan perjalanan ke Gunung Batur,” tukasnya.
Di bagian lain, pertempuran sengit terjadi di areal persawahan desa Marga antara para pejuang dengan penjajah.
Pertempuran itu mengakibatkan gugurnya Gusti Ngurah Rai. Pascapertempuran itu, sempat terbentuk Negara Indonesia Timur (NIT), yang kemudian kembali lahi menjadi Negara Kesatuan RI pada 1950.
Saat HUT Legiun Veteran kemarin, dihadiri oleh bupati Gianyar, Made Mahayastra; Pangdam IX/Udayana diwakili Kasdam IX/Udayana Brigjen TNI Kasuri; dan Asisten Adminitrasi Umum Provinsi Bali I Wayan Suarjana. (*)