29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:43 AM WIB

Edukasi Warga Desa, Manggot Jadi Alternatif Pakan Ikan Lele dan Ayam

Semakin banyak saja masyarakat Buleleng yang mengolah sampah organik menjadi manggot atau belatung.

Seperti itulah yang dilakukan oleh Perbekel Kayu Putih, Sukasada Buleleng. Sisa-sisa sampah organik rumah tangga yang berada lingkungan sekitar rumahnya ia olah untuk jadi manggot.

 

JULIADI, Sukasada

MEMASUKI halaman rumah Perbekel Kayu Putih Gede Gelgel Ariawan tampak terlihat berjejer tong-tong air dengan ukuran 150 liter lengkap dengan alat pengukur suhu panas.

Setiap harinya sampah organik ia masukkan ke tong-tong tersebut. “Ini alat pengolah sampah organik menjadi manggot atau belatung

yang saya beli dulunya seharga perbuahnya Rp 1 juta,” tutur Gede Gelgel Ariawan ketika ditemui di rumahnya.

Ketertarikan dirinya mengolah sampah organik menjadi ulat manggot black soldier fly (BSF) bermula saat mencari informasi untuk pakan alternatif ikan lele peliharaannya dan ayam peliharaannya.

“Kalau beli pakan ikan lele mahal terus. Sementara harga ikan lele tak pernah mengalami kenaikan sehingga ketemu manggot sebagai pakan ikan lele yang murah dan mudah dikembangkan,” cerita pria yang berusia 38 tahun ini.

Atas dasar itulah ia memulai mengolah sampah oorganik menjadi belatung sejak Agustus 2019 lalu. Hingga saat ini kendati dia menjabat sebagai perbekel.

Proses sampah organik menjadi manggot dibutuhkan waktu selama 15 hari. Sampah-sampah organik sebelum dimasukkan ke dalam tong terlebih dahulu harus dicacah atau potong dengan ukuran kecil.

Barulah disemprotkan dengan cairan mirkro organisme atau lazim disebut mol yang dibikin dari limbah buah. Setelah itu baru ditutup dan suhu di dalam tong harus diatas 30 derajat celcius.

Adanya sampah buah dan sampah makanan memancing datangnya lalat buah. Lalat pun bertelur didalam tong.

Selama 3 minggu baru dapat menghasilkan manggot. Manggot-manggot tersebut akan keluar dengan sendirinya dari lubang-lubang kecil yang berada disisi pinggir tong.

“Selain manggot yang dihasilkan juga pupuk padat organik dan pupuk cair. Pupuk inilah yang saya tabur ditanaman durian. Sedangkan manggot sebagai pakan ikan lele dan ayam,” terangnya.

Ariawan berharap mendaur sampah organik menjadi manggot dapat ditiru oleh warganya. Selain itu mengedukasi warga soal sampah.

Apalagi di desa banyak sampah-sampah makanan hotel dan villa. “Kami di desa harus berikan bukti dan contoh dulu. Baru warga bisa mengikuti,” ucapnya.

Ariawan menyebut produksi manggot masih dalam jumlah kecil atau skala rumahan. Dari 5 tong pengolahan sampah organik tersebut

rata-rata mampu menghasilkan belatung sebanyak satu botol air berukuran besar atau sekitar 1,5 kilogram setiap kali panen.

“Saya juga berniat pada TPST di desanya akan membuat tong-tong edan agar dapat mengolah sampah organik menjadi belatung,” tandasnya. (*)

 

Semakin banyak saja masyarakat Buleleng yang mengolah sampah organik menjadi manggot atau belatung.

Seperti itulah yang dilakukan oleh Perbekel Kayu Putih, Sukasada Buleleng. Sisa-sisa sampah organik rumah tangga yang berada lingkungan sekitar rumahnya ia olah untuk jadi manggot.

 

JULIADI, Sukasada

MEMASUKI halaman rumah Perbekel Kayu Putih Gede Gelgel Ariawan tampak terlihat berjejer tong-tong air dengan ukuran 150 liter lengkap dengan alat pengukur suhu panas.

Setiap harinya sampah organik ia masukkan ke tong-tong tersebut. “Ini alat pengolah sampah organik menjadi manggot atau belatung

yang saya beli dulunya seharga perbuahnya Rp 1 juta,” tutur Gede Gelgel Ariawan ketika ditemui di rumahnya.

Ketertarikan dirinya mengolah sampah organik menjadi ulat manggot black soldier fly (BSF) bermula saat mencari informasi untuk pakan alternatif ikan lele peliharaannya dan ayam peliharaannya.

“Kalau beli pakan ikan lele mahal terus. Sementara harga ikan lele tak pernah mengalami kenaikan sehingga ketemu manggot sebagai pakan ikan lele yang murah dan mudah dikembangkan,” cerita pria yang berusia 38 tahun ini.

Atas dasar itulah ia memulai mengolah sampah oorganik menjadi belatung sejak Agustus 2019 lalu. Hingga saat ini kendati dia menjabat sebagai perbekel.

Proses sampah organik menjadi manggot dibutuhkan waktu selama 15 hari. Sampah-sampah organik sebelum dimasukkan ke dalam tong terlebih dahulu harus dicacah atau potong dengan ukuran kecil.

Barulah disemprotkan dengan cairan mirkro organisme atau lazim disebut mol yang dibikin dari limbah buah. Setelah itu baru ditutup dan suhu di dalam tong harus diatas 30 derajat celcius.

Adanya sampah buah dan sampah makanan memancing datangnya lalat buah. Lalat pun bertelur didalam tong.

Selama 3 minggu baru dapat menghasilkan manggot. Manggot-manggot tersebut akan keluar dengan sendirinya dari lubang-lubang kecil yang berada disisi pinggir tong.

“Selain manggot yang dihasilkan juga pupuk padat organik dan pupuk cair. Pupuk inilah yang saya tabur ditanaman durian. Sedangkan manggot sebagai pakan ikan lele dan ayam,” terangnya.

Ariawan berharap mendaur sampah organik menjadi manggot dapat ditiru oleh warganya. Selain itu mengedukasi warga soal sampah.

Apalagi di desa banyak sampah-sampah makanan hotel dan villa. “Kami di desa harus berikan bukti dan contoh dulu. Baru warga bisa mengikuti,” ucapnya.

Ariawan menyebut produksi manggot masih dalam jumlah kecil atau skala rumahan. Dari 5 tong pengolahan sampah organik tersebut

rata-rata mampu menghasilkan belatung sebanyak satu botol air berukuran besar atau sekitar 1,5 kilogram setiap kali panen.

“Saya juga berniat pada TPST di desanya akan membuat tong-tong edan agar dapat mengolah sampah organik menjadi belatung,” tandasnya. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/