RadarBali.com – Minimnya aktifitas di lokasi pengungsian, membuat beberapa pengungsi mencari aktifitas untuk mengisi waktu.
Salah satunya menjadi relawan. Salah seorang pengungsi, memilih menjadi relawan kemanusiaan dan bergabung bersama Palang Merah Indonesia (PMI).
Pengungsi itu adalah Komang Ariada, 32. Pria asal Desa Sukadana, Kecamatan Kubu, Karangasem itu, sudah sejak sebulan terakhir mulai mengungsi di Desa Sambirenteng, Kecamatan Tejakula.
Sejak status Gunung Agung dinaikkan menjadi awas, dia memilih mengajak keluarganya mengungsi. Meski masih ada warga yang bertahan di rumahnya, ia memilih mengungsi.
Pasalnya rumah yang ia tinggali berada dekat dengan sungai aliran lahar. Selain itu, gempa terjadi setiap hari. Meski dengan intensitas rendah, namun hal itu cukup membuat ia dan keluarga ketar-ketir.
Ariada mulai bergabung sebagai relawan PMI sejak sepekan lalu. Ia bertugas menjadi sopir truk tangki dan membantu menyalurkan air ke sejumlah titik di Kecamatan Tejakula.
Tugas itu tak terlalu sulit bagi Ariada. Sewaktu belum mengungsi, ia bekerja sebagai sopir truk pasir.
“Sekarang pekerjaan tidak ada, jadi lebih banyak diam. Mumpung dulu saya jadi sopir pasir, sekarang saya bantu jadi sopir truk tangki,” kata Ariada.
Ariada mengaku merasa terpanggil membantu PMI. Ia merasa prihatin dengan kondisi rekan-rekannya yang mengungsi di sekitar Desa Sambirenteng dan Tembok.
Banyak yang mengeluh mengalami kesulitan air bersih. Pada saat yang sama, PMI juga kewalahan karena kekurangan tenaga sopir. Seperti gayung bersambut, dia memilih bergabung dengan palang merah.
“Banyak teman-teman ngungsi di sini. Kasihan dia kekurangan air, saya juga kepingin bantu. Karena saya hanya bisa jadi sopir, ya saya bantu dengan cara ini,” ceritanya.
Setiap hari, Ariada mulai stand by di posko relawan pada pukul 07.00 pagi, atau paling lambat pada pukul 08.00.
Setelah itu ia mulai mengirimkan air ke sebelas titik yang ada di wilayah Kecamatan Tejakula. Biasanya tugas itu ia tuntaskan pada pukul 17.00 sore atau pukul 18.00 sore.
Tugas itu dianggap relatif ringan baginya. Lantaran ketika menjadi sopir truk, ia menghabiskan waktu 24 jam non stop untuk sekadar antre maupun mengirim ke pemesan.
“Sekarang saya anggap jalan-jalan saja. Sambil jalan-jalan, ketemu teman, bisa bantu teman juga,” tandasnya.