24 C
Jakarta
13 September 2024, 2:27 AM WIB

Dituding Memiliki Utang Pajak, Pemilik Kopi Manji Ancam Tutup Usahanya

SINGARAJA – Pemilik usaha Kopi Manji, mengancam menutup usahanya di Buleleng. Pengusaha itu merasa kecewa gegara pemerintah mendadak menjadikan usaha kedai kopi di Jalan Udayana Singaraja itu, sebagai pengusaha yang memiliki utang pajak pada pemerintah. Mereka mengklaim tak pernah mendapat pembinaan dari pemerintah, hingga akhirnya ditetapkan sebagai penghutang pajak.

 

Hal itu terungkap saat kuasa hukum Kopi Manji, Wirasanjaya, melakukan pertemuan dengan Komisi III DPRD Buleleng, Selasa (9/8). Pertemuan itu juga dihadiri Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Buleleng Gede Sugiartha Widiada dan jajarannya yang mengurus pajak.

 

Wirasanjaya mengatakan, kliennya ditetapkan sebagai wajib pajak pada April 2021. Pada awal 2022, BPKPD Buleleng melakukan proses audit pajak di Kopi Manji. Dalam proses audit itu, Kopi Manji dianggap memiliki utang pajak, pokok pajak, serta denda pajak senilai Rp 72 juta.

 

Menurut Wirasanjaya, kliennya sangat kecewa dengan hal tersebut. “Kenapa tidak dari dulu saat ada setoran yang salah, klien kami ditegur. Justru setelah 9 bulan berjalan jadi wajib pajak daerah, baru ditagih. Jadi kesannya ada pembiaran dari pemda,” kata Wirasanjaya kemarin.

 

Dengan kondisi itu, kliennya berencana angkat kaki dari Buleleng. Pengusaha merasa iklim investasi dan pajak di Buleleng tidak kondusif. Dia berpendapat pengusaha idealnya mendapat pembinaan dari pemerintah. Sehingga mereka memiliki kesadaran dalam membayar pajak. “Klien kami dulunya tidak pernah mengutip 10 persen dari konsumen. Tahu-tahu, pemerintah menghitung 10 persen dari omzet. Kalau memang ini tidak selesai, ya dia akan tutup usahanya. Sosialisasi dan pembinaan juga kurang. Tidak ada sosialisasi, klien kami hanya menerima surat penetapan wajib pajak daerah saja,” ujarnya.

 

Sementara itu, Kepala BPKPD Buleleng Gede Sugiartha Widiada mengatakan pihaknya melakukan audit pajak karena nominal yang disetorkan jauh dari potensi. Sugiartha juga menyatakan pihaknya telah melakukan rekonstruksi data dan memanggil pemilik usaha dalam proses audit. “Apa yang jadi keberatan wajib pajak, sudah kami akomodasi dalam berita acara. Yang bersangkutan tanda tangan berita acara kok. Jadi kalau memang ada keberatan, silahkan mengajukan keringanan atau penghapusan pada bupati, atau menggugat ke pengadilan. Karena sudah terbit dalam bentuk berita acara dan penetapan,” kata Sugiartha.

 

Di sisi lain Anggota Komisi III DPRD Buleleng Nyoman Gede Wandira Adi mengatakan, pihaknya sudah menerima dua kali pengaduan dari masyarakat terkait pemungutan pajak daerah. Dia meminta agar pemerintah bersikap profesional dalam proses pemungutan pajak. “Minimal beri sosialisasi dan pemahaman ke wajib pajak daerah. Jangan hanya penetapan, lalu ujug-ujug ada pemeriksaan. Makanya setelah diterapkan, kaget lah pengusaha. Jadi pemerintah harus bersikap adil,” ujarnya. (eps)

SINGARAJA – Pemilik usaha Kopi Manji, mengancam menutup usahanya di Buleleng. Pengusaha itu merasa kecewa gegara pemerintah mendadak menjadikan usaha kedai kopi di Jalan Udayana Singaraja itu, sebagai pengusaha yang memiliki utang pajak pada pemerintah. Mereka mengklaim tak pernah mendapat pembinaan dari pemerintah, hingga akhirnya ditetapkan sebagai penghutang pajak.

 

Hal itu terungkap saat kuasa hukum Kopi Manji, Wirasanjaya, melakukan pertemuan dengan Komisi III DPRD Buleleng, Selasa (9/8). Pertemuan itu juga dihadiri Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Buleleng Gede Sugiartha Widiada dan jajarannya yang mengurus pajak.

 

Wirasanjaya mengatakan, kliennya ditetapkan sebagai wajib pajak pada April 2021. Pada awal 2022, BPKPD Buleleng melakukan proses audit pajak di Kopi Manji. Dalam proses audit itu, Kopi Manji dianggap memiliki utang pajak, pokok pajak, serta denda pajak senilai Rp 72 juta.

 

Menurut Wirasanjaya, kliennya sangat kecewa dengan hal tersebut. “Kenapa tidak dari dulu saat ada setoran yang salah, klien kami ditegur. Justru setelah 9 bulan berjalan jadi wajib pajak daerah, baru ditagih. Jadi kesannya ada pembiaran dari pemda,” kata Wirasanjaya kemarin.

 

Dengan kondisi itu, kliennya berencana angkat kaki dari Buleleng. Pengusaha merasa iklim investasi dan pajak di Buleleng tidak kondusif. Dia berpendapat pengusaha idealnya mendapat pembinaan dari pemerintah. Sehingga mereka memiliki kesadaran dalam membayar pajak. “Klien kami dulunya tidak pernah mengutip 10 persen dari konsumen. Tahu-tahu, pemerintah menghitung 10 persen dari omzet. Kalau memang ini tidak selesai, ya dia akan tutup usahanya. Sosialisasi dan pembinaan juga kurang. Tidak ada sosialisasi, klien kami hanya menerima surat penetapan wajib pajak daerah saja,” ujarnya.

 

Sementara itu, Kepala BPKPD Buleleng Gede Sugiartha Widiada mengatakan pihaknya melakukan audit pajak karena nominal yang disetorkan jauh dari potensi. Sugiartha juga menyatakan pihaknya telah melakukan rekonstruksi data dan memanggil pemilik usaha dalam proses audit. “Apa yang jadi keberatan wajib pajak, sudah kami akomodasi dalam berita acara. Yang bersangkutan tanda tangan berita acara kok. Jadi kalau memang ada keberatan, silahkan mengajukan keringanan atau penghapusan pada bupati, atau menggugat ke pengadilan. Karena sudah terbit dalam bentuk berita acara dan penetapan,” kata Sugiartha.

 

Di sisi lain Anggota Komisi III DPRD Buleleng Nyoman Gede Wandira Adi mengatakan, pihaknya sudah menerima dua kali pengaduan dari masyarakat terkait pemungutan pajak daerah. Dia meminta agar pemerintah bersikap profesional dalam proses pemungutan pajak. “Minimal beri sosialisasi dan pemahaman ke wajib pajak daerah. Jangan hanya penetapan, lalu ujug-ujug ada pemeriksaan. Makanya setelah diterapkan, kaget lah pengusaha. Jadi pemerintah harus bersikap adil,” ujarnya. (eps)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/