26.7 C
Jakarta
2 November 2024, 5:59 AM WIB

Digelar 10 Tahun Sekali, Ngaben Tikus Diyakini Bisa Usir Hama Padi

Ngaben atau upacara bakar jenazah di Bali selama ini dilakukan terhadap umat Hindu Bali yang meninggal. Namun di Desa Adat Bedha Tabanan ada yang berbeda. Justru menggelar ritual upacara Mreteka Merana atau ngaben tikus (bikul). Ngaben bikul digelar warga Desa Adat Bedha Rabu (5/5) di Pura Desa Lan Puseh Desa Adat, Bedha, Tabanan.

___
JULIADI, Tabanan
___

RITUAL ngaben tikus atau bikul ini sudah menjadi tradisi turun temurun warga dan dilakukan puluhan tahun lama. Warga menyakini ngaben ini sebenarnya sebagai bentuk upacara pembersihan atau mengembalikan atman bikul (tikus) supaya kembali ke asalnya.

Yakni ke mantuk ke Sangkan Paraning Dumadi yaitu Brahman (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dengan harapan agar tidak merusak tanaman padi milik petani sewilayah Subak Desa Adat Bedha, Tabanan.

Sementara itu di Pura Desa Lan Puseh Luhur Bedha pantauan radarbali.id di lokasi ngaben bikul tampak sejumlah warga berdatangan. Mereka yang datang ke pura perwakilan dari petani, pekaseh subak (tempek), pemuka adat, tokoh masyarakat dan dihadiri langsung oleh Jero Bendesa Adat Bedha, Tabanan.

Segala banten upakara pun dipersiapkan warga untuk kelancaran proses ngaben bikul.  

Menurut Jero Bendesa Adat I Nyoman Surata, upacara Mreteka Merana atau yang lumrah disebut ngaben tikus (bikul) merupakan dresta di Subak Desa Adat Bedha yang dilaksanakan secara turun temurun.

Ngaben bikul barang kali di Bali hanya ada di Desa Adat Bedha sebagai warisan budaya leluhur yang adi luhung sehingga patut dilestarikan sebagai icon Desa Adat Bedha.

Upacara Mreteka Merana atau ngaben bikul bukanlah upacara Pitra Yadnya, tetapi merupakan upacara butha Yadnya. Karena dimana prosesinya seperti upacara Pitra Yadnya yaitu ngaben sampai ngayud saja, tidak dilanjutkan dengan upacara ngerorasin, memukur. Apalagi upacara ngelinggihan di kemulan.

“Jadi ngaben bikul tidak jauh berbeda prosesinya dengan ngaben biasanya yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali. Prosesi sama mulai dari pecaruan, pemadian jenazah (ngeringkes), ngajum, pembakaran jenazah dan nyekah,” ungkap Surata.

Dia melanjutnya ritual ngaben bikul sebenarnya sudah ada sejak tahun 1965 di Desa Adat bedha. Bahkan leluhur di sini sudah menjalankan ritual ngeben bikul sebelum tahun ini. Mengingat pertanian menjadi andalan masyarakat Tabanan kala itu dan sekarang.

“Manariknya lagi ngaben bikul sejatinya juga sudah termuat dalam lontar Perimpon Bali. Nah inilah yang menjadi acuan kami sehingga harus kami laksanakan. Semata dilakukan demi pertanian khusus 6 subak tempek yang ada di Desa Adt Bedha,” terang Surata.

Surata mengaku alasan pihaknya harus menggelar ritual ngaben bikul, karena selain adanya pertanian tanaman padi warga yang terserang hama tikus dan hama lainnya seperti walang sangit.

Kemudian juga mengusir virus yang ada pada tanah dan tanaman padi. Juga sebagai upaya untuk mempertahankan Tabanan sebagai lumbung pangannya Bali.

Namun yang tidak kalah penting digelar ritual ini. Yakni keyakinan warga bahwa pertanian tidak bisa lepas dengan niskala. Warga menyakini menggelar ritual ngaben tikus untuk mengatisipasi dan membersihkan serangan hama pada tanaman padi. Karena ritual ini sudah turun temurun dilakukan,” jelasnya Surata.

Untuk rangkaian proses upacara hampir sama dengan manusia. Bikul atau tikus dibawa oleh masing-masing subak tempek di Desa Adat Bedha.

Mulai dari tikus berwarna putih, hitam dan tikus dengan warna hitam putih. Tikus tersebut memang diambil secara langsung oleh petani dari lahan pertanian yang terserang hama.

Baru selanjutnya tikus-tikus tersebut dikumpulkan dan disucikan. Kemudian dimandikan (ngeringkes) usai disucikan baru tikus-tikus tersebut dengan cara tidak dipaksa. Dengan upacara ngaben dipuput langsung oleh Ida Rsi Bhujangga Griya Tasik Ngis Jegu Penebel.

“Harapan kami dengan ritual ngaben bikul selain tanaman padi bebas dari serangan hama tikus dan perekonomian sektor pertanian pulih kembali,” pungkasnya.

Sementara itu salah satu petani di subak Jaka Desa Adat Kukuh, I Wayan Sukanada mengaku terakhir ngaben bikul digelar pada tahun 2010 lalu dan kembali digelar saat ini. Karena dulunya ngaben ini digelar 10 tahun sekali.

Sebelumnya pihak di desa adat pernah mengusulkan agar ngaben bikul digelar rutin setiap 10 tahun sekali, namuan beberapa kendala sehingga baru bisa dilaksanakan. Adanya kembali ritual ngaben bikul digelar dirinya sebagai petani merasa senang.

“Yadnyana pertanian (sawah) semua kita sucikan. Kami selaku petani sangat merasakan manfaatnya. Biasanya setelah pelaksanaan Yadnya atau ngaben bikul akan terasa hasilnya. Karena berkaca pada sebelumnya serangan hama tikus da hama lainnya pada pertanian menjadi menurun,” imbuhnya.

Ngaben atau upacara bakar jenazah di Bali selama ini dilakukan terhadap umat Hindu Bali yang meninggal. Namun di Desa Adat Bedha Tabanan ada yang berbeda. Justru menggelar ritual upacara Mreteka Merana atau ngaben tikus (bikul). Ngaben bikul digelar warga Desa Adat Bedha Rabu (5/5) di Pura Desa Lan Puseh Desa Adat, Bedha, Tabanan.

___
JULIADI, Tabanan
___

RITUAL ngaben tikus atau bikul ini sudah menjadi tradisi turun temurun warga dan dilakukan puluhan tahun lama. Warga menyakini ngaben ini sebenarnya sebagai bentuk upacara pembersihan atau mengembalikan atman bikul (tikus) supaya kembali ke asalnya.

Yakni ke mantuk ke Sangkan Paraning Dumadi yaitu Brahman (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dengan harapan agar tidak merusak tanaman padi milik petani sewilayah Subak Desa Adat Bedha, Tabanan.

Sementara itu di Pura Desa Lan Puseh Luhur Bedha pantauan radarbali.id di lokasi ngaben bikul tampak sejumlah warga berdatangan. Mereka yang datang ke pura perwakilan dari petani, pekaseh subak (tempek), pemuka adat, tokoh masyarakat dan dihadiri langsung oleh Jero Bendesa Adat Bedha, Tabanan.

Segala banten upakara pun dipersiapkan warga untuk kelancaran proses ngaben bikul.  

Menurut Jero Bendesa Adat I Nyoman Surata, upacara Mreteka Merana atau yang lumrah disebut ngaben tikus (bikul) merupakan dresta di Subak Desa Adat Bedha yang dilaksanakan secara turun temurun.

Ngaben bikul barang kali di Bali hanya ada di Desa Adat Bedha sebagai warisan budaya leluhur yang adi luhung sehingga patut dilestarikan sebagai icon Desa Adat Bedha.

Upacara Mreteka Merana atau ngaben bikul bukanlah upacara Pitra Yadnya, tetapi merupakan upacara butha Yadnya. Karena dimana prosesinya seperti upacara Pitra Yadnya yaitu ngaben sampai ngayud saja, tidak dilanjutkan dengan upacara ngerorasin, memukur. Apalagi upacara ngelinggihan di kemulan.

“Jadi ngaben bikul tidak jauh berbeda prosesinya dengan ngaben biasanya yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali. Prosesi sama mulai dari pecaruan, pemadian jenazah (ngeringkes), ngajum, pembakaran jenazah dan nyekah,” ungkap Surata.

Dia melanjutnya ritual ngaben bikul sebenarnya sudah ada sejak tahun 1965 di Desa Adat bedha. Bahkan leluhur di sini sudah menjalankan ritual ngeben bikul sebelum tahun ini. Mengingat pertanian menjadi andalan masyarakat Tabanan kala itu dan sekarang.

“Manariknya lagi ngaben bikul sejatinya juga sudah termuat dalam lontar Perimpon Bali. Nah inilah yang menjadi acuan kami sehingga harus kami laksanakan. Semata dilakukan demi pertanian khusus 6 subak tempek yang ada di Desa Adt Bedha,” terang Surata.

Surata mengaku alasan pihaknya harus menggelar ritual ngaben bikul, karena selain adanya pertanian tanaman padi warga yang terserang hama tikus dan hama lainnya seperti walang sangit.

Kemudian juga mengusir virus yang ada pada tanah dan tanaman padi. Juga sebagai upaya untuk mempertahankan Tabanan sebagai lumbung pangannya Bali.

Namun yang tidak kalah penting digelar ritual ini. Yakni keyakinan warga bahwa pertanian tidak bisa lepas dengan niskala. Warga menyakini menggelar ritual ngaben tikus untuk mengatisipasi dan membersihkan serangan hama pada tanaman padi. Karena ritual ini sudah turun temurun dilakukan,” jelasnya Surata.

Untuk rangkaian proses upacara hampir sama dengan manusia. Bikul atau tikus dibawa oleh masing-masing subak tempek di Desa Adat Bedha.

Mulai dari tikus berwarna putih, hitam dan tikus dengan warna hitam putih. Tikus tersebut memang diambil secara langsung oleh petani dari lahan pertanian yang terserang hama.

Baru selanjutnya tikus-tikus tersebut dikumpulkan dan disucikan. Kemudian dimandikan (ngeringkes) usai disucikan baru tikus-tikus tersebut dengan cara tidak dipaksa. Dengan upacara ngaben dipuput langsung oleh Ida Rsi Bhujangga Griya Tasik Ngis Jegu Penebel.

“Harapan kami dengan ritual ngaben bikul selain tanaman padi bebas dari serangan hama tikus dan perekonomian sektor pertanian pulih kembali,” pungkasnya.

Sementara itu salah satu petani di subak Jaka Desa Adat Kukuh, I Wayan Sukanada mengaku terakhir ngaben bikul digelar pada tahun 2010 lalu dan kembali digelar saat ini. Karena dulunya ngaben ini digelar 10 tahun sekali.

Sebelumnya pihak di desa adat pernah mengusulkan agar ngaben bikul digelar rutin setiap 10 tahun sekali, namuan beberapa kendala sehingga baru bisa dilaksanakan. Adanya kembali ritual ngaben bikul digelar dirinya sebagai petani merasa senang.

“Yadnyana pertanian (sawah) semua kita sucikan. Kami selaku petani sangat merasakan manfaatnya. Biasanya setelah pelaksanaan Yadnya atau ngaben bikul akan terasa hasilnya. Karena berkaca pada sebelumnya serangan hama tikus da hama lainnya pada pertanian menjadi menurun,” imbuhnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/