31.3 C
Jakarta
8 Desember 2024, 14:01 PM WIB

Edukasi Pemilahan Jadi Kunci, Sampah Plastik Jadi Tabungan Warga

Desa Baktiseraga sukses mengelola timbulan sampah di wilayahnya. Kesadaran masyarakat menjadi kunci dalam proses tersebut. Butuh waktu dan komitmen hingga sampah benar-benar terkelola dengan baik.

 

EKA PRASETYA, Singaraja 

BANGUNAN di Jalan Kumba Karna, kawasan LC Baktiseraga itu terlihat mencolok. Bangunan yang berdiri di atas lahan seluas sekitar 3 are itu, dimanfaatkan sebagai lokasi penampungan dan pengelolaan sampah.

Meski begitu, tak ada bau busuk yang muncul dari bangunan tersebut. Beberapa tahun lalu, bangunan itu hanya menjadi lokasi penampungan sampah sementara.

Masyarakat dari penjuru desa datang membuang sampahnya di sana. Nihil proses pengelolaan. Dampaknya bau busuk menguar. Mengundang komplain dari warga yang tinggal di sekitar lokasi penampungan itu.

Sejak Juli lalu, lokasi penampungan sampah sementara itu disulap menjadi Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, Recycle (TPS3R) yang diberi nama Baktiseraga Bersih.

Bangunan itu efektif digunakan sebagai lokasi pengelolaan sampah sejak Oktober 2020 lalu. Kini fasilitas itu sukses dimanfaatkan sebagai lokasi pengelolaan sampah, bukan lagi menjadi lokasi penampungan sampah semata.

Saat Jawa Pos Radar Bali berkunjung ke fasilitas itu, sejumlah pemuda tampak sibuk melakukan pemilahan sampah.

Sampah plastik yang masih tercampur dengan sampah organik, dipilah sedemikian rupa. Pemuda lainnya sibuk mencacah sampah.

Ada yang melakukan proses pembuatan kompos, ada juga yang melakukan pengemasan kompos dan media tanam.

Bukan perkara mudah menjaga fungsi fasilitas tersebut. Pada awal beroperasi, pihak desa dibuat kewalahan dengan sampah yang masuk.

Warga enggan memilah sampah. Dampaknya sampah plastik dan organik bercampur begitu saja. Pemilahan yang dilakukan di TPS tidak efektif.

“Memilah sampah satu truk itu tidak selesai sehari. Sedangkan sehari yang masuk ke TPS kami itu bisa sampai 3 truk,” ungkap Perbekel Baktiseraga Gusti Putu Armada.

Pihak desa akhirnya mengubah strategi. Warga diminta melakukan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga.

Masing-masing rumah tangga diberikan dua buah karung. Satu untuk sampah organik, satu lagi untuk sampah non organik.

TPS dan depo penampungan juga dijaga ketat. Warga yang tidak memilah, dilarang membuang sampah di fasilitas tersebut.

Awalnya proses itu penuh dengan resistensi. Warga yang patuh merasa kecewa karena saat sampah diangkut ke mobil sampah, ujung-ujungnya tercampur menjadi satu.

Sehingga pemilahan menjadi sia-sia. Warga yang tidak patuh, merasa instruksi dari desa berlebihan. Terlebih mereka merasa sudah langganan jasa pengangkutan sampah.

Desa terus melakukan proses edukasi. Baik pada pengelola maupun rumah tangga. Butuh waktu edukasi selama tiga bulan, hingga akhirnya warga benar-benar taat dan terbiasa melakukan pemilahan sampah di rumah tangga.

Kini warga terbiasa membawa sampah organik ke TPS3R. Sampah-sampah plastik dibawa ke Bank Sampah Baktiseraga Bersih.

Sementara sampah residu, dibawa ke depo penampungan. Volume sampah yang dulunya mencapai 2-3 truk pada hari biasa, kini merosot drastis.

“Dulu kalau hari raya, sampah itu bisa sampai 5 truk. Meluber sampai ke jalan. Tapi sekarang, hanya satu truk saja. Itu pun sampah residu. Seperti plastik basah, barang pecah belah, batere.

Yang semacam itu, kata Armada, dibawa ke bank sampah, menjadi tabungan warga. Tabungan itu dapat dialihkan pada unit simpan pinjam BUMDes, atau dapat digunakan untuk membayar tagihan air bersih.

Sementara  sampah organik dikelola desa. Dimanfaatkan sebagai pupuk dan media tanam. Dalam sehari, produksi pupuk organik bisa mencapai satu ton.

Pupuk itu kemudian dijual dengan harga Rp 15 ribu untuk ukuran 15 kilogram. Dalam sehari pupuk yang terjual bisa berkisar pada angka 400-600 kilogram.

Upaya pengelolaan  sampah itu juga membuka lapangan kerja bagi warga setempat. Total ada 13 orang yang dipekerjakan di unit pengelolaan sampah ini.

Sebagian dari mereka adalah pemuda-pemuda yang kehilangan pekerjaan di sektor pariwisata karena pandemi. Mereka digaji mulai dari Rp 1,5 juta hingga RP 2,5 juta.

“Prioritas kami saat ini memang ke penyerapan tenaga kerja. Bukan untuk mencari untung. Jadi program yang kami luncurkan di desa, sebisa mungkin padat karya.

Kami bersyukur pola pemilahan ini jalan dan memudahkan proses pengelolaan sampah di desa,” ungkap Armada.

Upaya itu memberi hasil tersendiri bagi desa. Baktiseraga menjadi salah satu dari lima desa di Bali yang menerima penghargaan Bhakti Pertiwi Bali Nugraha, karena berhasil melakukan pengelolaan sampah berbasis sumber.

Desa pun mendapat bantuan senilai Rp 50 juta. Rencananya dana itu akan dimanfaatkan untuk perluasan fasilitas TPS3R serta optimalisasi pengelolaan sampah di desa. (*)

Desa Baktiseraga sukses mengelola timbulan sampah di wilayahnya. Kesadaran masyarakat menjadi kunci dalam proses tersebut. Butuh waktu dan komitmen hingga sampah benar-benar terkelola dengan baik.

 

EKA PRASETYA, Singaraja 

BANGUNAN di Jalan Kumba Karna, kawasan LC Baktiseraga itu terlihat mencolok. Bangunan yang berdiri di atas lahan seluas sekitar 3 are itu, dimanfaatkan sebagai lokasi penampungan dan pengelolaan sampah.

Meski begitu, tak ada bau busuk yang muncul dari bangunan tersebut. Beberapa tahun lalu, bangunan itu hanya menjadi lokasi penampungan sampah sementara.

Masyarakat dari penjuru desa datang membuang sampahnya di sana. Nihil proses pengelolaan. Dampaknya bau busuk menguar. Mengundang komplain dari warga yang tinggal di sekitar lokasi penampungan itu.

Sejak Juli lalu, lokasi penampungan sampah sementara itu disulap menjadi Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, Recycle (TPS3R) yang diberi nama Baktiseraga Bersih.

Bangunan itu efektif digunakan sebagai lokasi pengelolaan sampah sejak Oktober 2020 lalu. Kini fasilitas itu sukses dimanfaatkan sebagai lokasi pengelolaan sampah, bukan lagi menjadi lokasi penampungan sampah semata.

Saat Jawa Pos Radar Bali berkunjung ke fasilitas itu, sejumlah pemuda tampak sibuk melakukan pemilahan sampah.

Sampah plastik yang masih tercampur dengan sampah organik, dipilah sedemikian rupa. Pemuda lainnya sibuk mencacah sampah.

Ada yang melakukan proses pembuatan kompos, ada juga yang melakukan pengemasan kompos dan media tanam.

Bukan perkara mudah menjaga fungsi fasilitas tersebut. Pada awal beroperasi, pihak desa dibuat kewalahan dengan sampah yang masuk.

Warga enggan memilah sampah. Dampaknya sampah plastik dan organik bercampur begitu saja. Pemilahan yang dilakukan di TPS tidak efektif.

“Memilah sampah satu truk itu tidak selesai sehari. Sedangkan sehari yang masuk ke TPS kami itu bisa sampai 3 truk,” ungkap Perbekel Baktiseraga Gusti Putu Armada.

Pihak desa akhirnya mengubah strategi. Warga diminta melakukan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga.

Masing-masing rumah tangga diberikan dua buah karung. Satu untuk sampah organik, satu lagi untuk sampah non organik.

TPS dan depo penampungan juga dijaga ketat. Warga yang tidak memilah, dilarang membuang sampah di fasilitas tersebut.

Awalnya proses itu penuh dengan resistensi. Warga yang patuh merasa kecewa karena saat sampah diangkut ke mobil sampah, ujung-ujungnya tercampur menjadi satu.

Sehingga pemilahan menjadi sia-sia. Warga yang tidak patuh, merasa instruksi dari desa berlebihan. Terlebih mereka merasa sudah langganan jasa pengangkutan sampah.

Desa terus melakukan proses edukasi. Baik pada pengelola maupun rumah tangga. Butuh waktu edukasi selama tiga bulan, hingga akhirnya warga benar-benar taat dan terbiasa melakukan pemilahan sampah di rumah tangga.

Kini warga terbiasa membawa sampah organik ke TPS3R. Sampah-sampah plastik dibawa ke Bank Sampah Baktiseraga Bersih.

Sementara sampah residu, dibawa ke depo penampungan. Volume sampah yang dulunya mencapai 2-3 truk pada hari biasa, kini merosot drastis.

“Dulu kalau hari raya, sampah itu bisa sampai 5 truk. Meluber sampai ke jalan. Tapi sekarang, hanya satu truk saja. Itu pun sampah residu. Seperti plastik basah, barang pecah belah, batere.

Yang semacam itu, kata Armada, dibawa ke bank sampah, menjadi tabungan warga. Tabungan itu dapat dialihkan pada unit simpan pinjam BUMDes, atau dapat digunakan untuk membayar tagihan air bersih.

Sementara  sampah organik dikelola desa. Dimanfaatkan sebagai pupuk dan media tanam. Dalam sehari, produksi pupuk organik bisa mencapai satu ton.

Pupuk itu kemudian dijual dengan harga Rp 15 ribu untuk ukuran 15 kilogram. Dalam sehari pupuk yang terjual bisa berkisar pada angka 400-600 kilogram.

Upaya pengelolaan  sampah itu juga membuka lapangan kerja bagi warga setempat. Total ada 13 orang yang dipekerjakan di unit pengelolaan sampah ini.

Sebagian dari mereka adalah pemuda-pemuda yang kehilangan pekerjaan di sektor pariwisata karena pandemi. Mereka digaji mulai dari Rp 1,5 juta hingga RP 2,5 juta.

“Prioritas kami saat ini memang ke penyerapan tenaga kerja. Bukan untuk mencari untung. Jadi program yang kami luncurkan di desa, sebisa mungkin padat karya.

Kami bersyukur pola pemilahan ini jalan dan memudahkan proses pengelolaan sampah di desa,” ungkap Armada.

Upaya itu memberi hasil tersendiri bagi desa. Baktiseraga menjadi salah satu dari lima desa di Bali yang menerima penghargaan Bhakti Pertiwi Bali Nugraha, karena berhasil melakukan pengelolaan sampah berbasis sumber.

Desa pun mendapat bantuan senilai Rp 50 juta. Rencananya dana itu akan dimanfaatkan untuk perluasan fasilitas TPS3R serta optimalisasi pengelolaan sampah di desa. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/