Piodalan di Pura Desa Panji pada Sabtu (18/6) kemarin menjadi momen istimewa. Gong duwe yang diberikan oleh Raja Buleleng, Ki Barak Panji Sakti, dihadirkan dalam piodalan tersebut.
Eka Prasetya, Buleleng
SUASANA di Pura Desa Panji penuh sesak. Sejak Sabtu (18/6) sore, ratusan krama datang ke pura desa untuk melakukan persembahyangan. Jumlahnya bukan lagi ratusan, tapi ribuan. Mereka datang dari sejumlah wilayah. Seperti dari Desa Panji dan Desa Panji Anom. Kedua desa dinas itu, memang masuk dalam wewidangan Desa Adat Panji.
Sabtu kemarin, bertepatan dengan saniscara kliwon kuningan, merupakan momen istimewa sekaligus bersejarah. Selain krama dari Desa Adat Panji, juga hadir krama dari Desa Adat Menyali. Krama dari Menyali datang membawa sejumlah persembahan, sekaa gong, juga gong duwe.
Rombongan dari Desa Adat Menyali sampai sekitar pukul 16.00 sore. Mereka dipimpin Bendesa Adat Menyali Gede Carita yang didampingi Perbekel Menyali I Made Jaya Harta, Jro Pasek Menyali Made Sutama, serta beberapa tokoh adat. Mereka disambut Bendesa Adat Panji Gusti Ketut Susila Darma dan Perbekel Panji Jro Mangku Made Ariawan.
Gong duwe itu merupakan penganugerahan dari Raja Buleleng Ki Barak Panji Sakti. Konon gong itu merupakan gong kembar. Sebuah gong disimpan di Pura Desa Menyali, dan sebuah lagi tersimpan di Desa Adat Panji.
Piodalan kemarin merupakan momen bersejarah. Sebab untuk pertama kalinya setelah tiga abad, kedua gong itu dipertemukan kembali. Terlebih kedua gong itu diyakini sebagai simbol purusha dan pradana atau pasangan suami istri. Keberadaan gong itu juga dipercaya sebagai simbol kekerabatan antara krama Desa Adat Panji dan Desa Adat Menyali.
Hubungan itu bermula pada awal abad ke-17 silam, atau pada tahun 1600-an. Saat itu sebuah kapal dagang dari Tiongkok terdampar di Pantai Segara Penimbangan. Ki Barak Panji Sakti kemudian mengambil para abdi yang berasal dari trah Pasek Menyali, Pasek Bulian, Pasek Kubutambahan, dan Pasek Gobleg.
Berbekal keris pusaka Ki Baru Semang, Panji Sakti berhasil menggeser kapal ke tengah laut. Merujuk aturan tawan karang, Panji Sakti kala itu sejatinya berhak atas harta benda di dalam kapal. Sebab kapal kandas di wilayah Buleleng, bukan berlabuh. Namun Panji Sakti hanya mengambil dua buah gong. Masing-masing berupa jegir atau bagian terbesar dalam gamelan gong.
“Sebuah diberikan pada Pasek Menyali yang kemudian di-stana-kan di Pura Desa Menyali, dan satu lagi diberikan pada Pasek Gobleg yang di-stana-kan di Pura Desa Panji,” jelas tokoh adat Menyali, I Gede Budasi.
Belakangan gong duwe di Pura Desa Adat Panji diberi nama sekar sandat sebagai simbol pradana atau perempuan, sedangkan gong yang di Pura Desa Adat Menyali bernama sekar gadung yang jadi simbol purusha atau pria.
Menurut Budasi, dulunya Pasek Menyali, Pasek Kubutambahan, Pasek Bulian, dan Pasek Gobleg kerap bertemu pada momen-momen hari raya. Namun saat penjajah datang, sejumlah cerita dikaburkan. Sejumlah catatan leluhur yang tertulis dalam prasasti dan lontar dimusnahkan. Sehingga beberapa cerita terputus, hubungan kekerabatan juga mengalami jeda.
Bahkan pemerintahan kolonial Belanda, sempat berusaha menghancurkan gong sekar gadung. Syahdan saat itu Belanda meminjam gong tersebut untuk dipentaskan di Puri Buleleng. Namun saat itu gong tidak mengeluarkan bunyi. Sehingga gong itu dirusak hingga pecah.
“Meskipun pecah, gong itu masih bisa digunakan. Tapi harus ada prosesi upacara dulu, baru mau berbunyi. Biasanya gong ini (sekar gadung) hanya diturunkan saat galungan atau piodalan di pura subak,” imbuh Bendesa Adat Menyali, Gede Carita.
Konon gong sekar jagat hanya berbunyi pada waktu tertentu. Bila gong berbunyi, maka akan terjadi sebuah peristiwa yang besar. Entah itu peristiwa yang bermakna positif, maupun negatif.
Perbekel Panji Jro Mangku Made Ariawan mengatakan, momen itu merupakan momen bersejarah. Setelah tiga abad berlalu, hubungan kekerabatan yang sempat terputus, kembali terjalin. Bahkan gong duwe peninggalan Ki Barak Panji Sakti, kembali bersanding.
Pada piodalan kemarin, gong sekar gadung dan sekar sandat ditempatkan di sebuah bale khusus di jaba tengah Pura Desa Adat Panji. Tidak ada seorang pun yang berani naik ke bale tersebut. Hanya orang-orang yang diizinkan oleh prajuru desa yang boleh naik ke sana. Tak hanya itu, sekaa gong dari Desa Menyali juga turut mesolah. Mereka megamel bergantian dengan sekaa gong dari Desa Adat Panji.
Menurutnya, gong tersebut merupakan tanda bahwa hubungan antara Pasek Gobleg, Pasek Menyali, Pasek Bulian, dan Pasek Kubutambahan, tak bisa dipisahkan. Terlebih kedua gong itu merupakan peninggalan dari Anglurah Ki Barak Panji Sakti yang sangat disakralkan.
Pria yang akrab disapa Mangku Panji itu mengungkapkan, sebenarnya sejak lama pihaknya sudah meyakini bahwa krama Panji dan krama Menyali memiliki hubungan erat. Acuannya adalah gong duwe yang dianugerahkan Panji Sakti. Namun pihaknya tidak memiliki acuan berupa lontar dan prasasti. Sebab peninggalan itu telah dimusnahkan pada masa penjajahan.
Seiring berjalannya waktu, sejumlah prasasti, lontar, dan babad, berhasil ditemukan oleh krama Menyali. Catatan itu diselaraskan dengan cerita para tetua dari kedua desa. Gayung bersambut, hari raya Galungan dan Kuningan ini menjadi momen menjalin kembali tali silaturahmi yang sempat terputus.
“Gong duwe yang dianugerahkan Beliau pada kami juga bisa bertemu kembali. Kami meyakini kedua gong ini adalah simbol purusha dan pradana. Sehingga saat berkumpul kembali, tentu akan membawa kehidupan yang lebih baik. Bukan hanya bagi kami di Panji dan Menyali, tapi bagi seluruh Denbukit (Buleleng, Red),” demikian Mangku Panji.