Salah satu progam strategis TNI adalah memastikan ketahanan pangan masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Salah satu yang dibidik adalah budidaya tanaman porang di lahan milik warga, Jro Made Sukresna.
EKA PRASETYA, Kubutambahan
SUARA mesin traktor terdengar menderu-deru. Bedanya traktor itu bukan digerakkan petani. Tapi digerakkan oleh pasukan berpakaian loreng, khas tentara.
Pria-pria memang tentara betulan. Kali ini mereka bukan berperang, tapi berjuang menggarap lahan kebun yang ada di Banjar Dinas Sanih, Desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan.
Lahan itu terletak tak jauh dari Lapangan Umum Sanih. Tepat di sebelah timur Pura Bale Agung Desa Adat Sanih.
Lahan yang digarap itu merupakan milik Jro Made Sukresna yang juga Bendesa Adat Sanih. Luas lahannya mencapai 1 hektare
Di atas lahan tersebut sebenarnya sudah berdiri beberapa tanaman. Seperti kelapa dan mangga. Pada beberapa bagian juga ditanami kacang dan jagung.
Namun masih banyak lahan yang kosong, belum tersentuh tanaman. Kali ini lahan itu akan dioptimalkan untuk budidaya tanaman porang (Amorphopallus muelleri Blume).
Tanaman yang selama ini tumbuh secara liar, akan dibudidayakan secara serius di atas lahan tersebut. Konon tanaman ini memiliki nilai jual yang cukup menjanjikan.
Pasukan TNI pun dikerahkan untuk mengelola lahan. Hal itu bukan tanpa alasan. Program budidaya porang itu merupakan salah program strategis TNI, guna memastikan ketahanan pangan masyarakat.
Terutama pada masa pandemi dan pasca-pandemi nanti.
Rencananya pada lahan seluas satu hektare itu akan ditanam 42 ribu bibit pohon. Dari puluhan ribu bibit pohon itu diyakini bisa menghasilkan 132 ton porang dalam sekali panen.
Bendesa Adat Sanih Jro Made Sukresna mengungkapkan, ia sengaja menyerahkan lahan tersebut pada personil TNI untuk pengembangan tanaman porang.
Harapannya kebun itu bisa jadi kebun percontohan budi daya porang. Dari sisi hasil, ia mengaku tak terlalu memikirkan, karena masih dalam tahap uji coba.
“Selama ini saya kan dapat dari kelapa, mangga, dan sapi sedikit-sedikit. Karena ini porang tidak menggangu tanaman yang lain, saya rasa tidak masalah,” kata Sukresna.
Menurutnya, dari hitung-hitungan bisnis, sebenarnya budidaya porang cukup menjanjikan. Hasil yang dijual bukan hanya berupa bibit porang yang juga disebut dengan istilah bibit katak, namun juga bisa dijual dalam bentuk umbi.
Untuk proyeksi bibit katak misalnya. Konon pada lahan seluas satu hektare, petani bisa mengantongi keuntungan hingga Rp 716 juta.
Keuntungan ini akan dikantongi pada tahun kedua. Sementara bila proyeksi menjual umbi, keuntungan yang diraih bahkan bisa mencapai Rp 980 juta.
Namun keuntungan ini baru akan tercapai pada tahun kedua hingga tahun ketiga setelah penanaman. Apabila dijual dalam bentuk umbi, pangsa pasarnya bukan hanya pasar lokal. Namun ekspor.
Sebab porang kerap digunakan sebagai bahan dasar pembuatan shirataki (mie jepang), konyaku (tahu jepang), pengikat rasa bumbu penyedap, perekat tablet, hingga pembungkus kapsul.
Sukresna sendiri mengaku tidak terlalu memikirkan potensi keuntungan dari budidaya porang yang digarap TNI.
“Mumpung saya ada lahan, silahkan saja dijadikan percontohan. Kalau memang misalnya tidak cocok atau rugi, biar tidak petani langsung yang merasakan. Kalau memang untung, bagi saya ya itu tambahan saja,” imbuhnya.
Bila melihat kondisi tanah di Desa Bukti, ia optimistis porang bisa tumbuh dengan subur. Sebab tanaman suweg (Amorphophallus paeoniifolius) yang notabene satu famili dengan porang, bisa tumbuh subur.
Sukresna menyebut selama ini suweg tumbuh seperti tanaman liar. Suweg juga sudah sering dikonsumsi masyarakat setempat.
Pria yang akrab disapa Jro Cilik itu mengaku sering mengonsumsi suweg maupun porang. “Kalau saya biasanya dibuat kolak.
Kadang dikukus, kemudian dikasih gula merah cair. Kalau orang-orang di sini memang sering makan umbinya,” jelasnya.
Sementara itu Komandan Kodim 1609/Buleleng Letkol Inf Windra Lisrianto mengatakan, TNI sengaja turun tangan karena melihat kondisi ekonomi masyarakat selama masa pandemi ini.
Saat pariwisata lesu, masyarakat membutuhkan alternatif sumber pendapatan lain. Disamping itu kebutuhan pangan juga harus terpenuhi.
Windra menyebut dari sisi pangan, porang dapat menjadi pangan pengganti beras. Sementara dari sisi bisnis, porang punya nilai ekonomi tinggi.
“Pasarnya bagus. Permintaan dari Jepang dan Vietnam tinggi. Sementara ini kami menggandeng masyarakat di Desa Bukti sebagai lokasi percontohan,” kata Letkol Inf Windra.
Untuk meyakinkan masyarakat, TNI juga menggandeng tenaga ahli dalam proses sosialisasi pada masyarakat.
Letkol Inf Windra juga berusaha meyakinkan masyarakat, bahwa mereka tak akan mengalami kendala dari sisi pemasaran hasil tani.
“Ada banyak perusahaan penyedia bibit yang siap menampung hingga puluhan ribu ton. Sekarang tergantung masyarakat saja.
Makanya kami coba dulu, sebagai pembuktian pada masyarakat bahwa ini memang komoditas yang menjanjikan,” demikian Windra. (*)