30.1 C
Jakarta
27 April 2024, 16:47 PM WIB

Punya Potensi Besar, Pengelolaan Air Harus Berdasar Kearifan Lokal

Balai Arkeologi membedah secara khusus tata kelola pengelolaan Sumber Daya Air di Bali. Mulai dari era lampau hingga terkini.

Tata kelola air yang arif dan bijaksana bisa menjadi kunci keberhasilan bahka kegagalan suatu pemerintahan.

 

 

EKA PRASETYA, Singaraja

BALI Utara memiliki sumber peradaban yang kaya di masa lampau. Pusat peradaban itu rata-rata berada dekat dengan air sebagai pusat kehidupan.

Peradaban-peradaban lampau dapat ditemui di sekitar Danau Buyan-Tamblingan, kawasan Menasa di Desa Sinabun yang mendapat limpahan air,

hingga temuan terbaru di sekitar Tukad Daya yang membelah Kecamatan Sawan dan Kecamatan Kubutambahan.

Balai Arkeologi (Balar) Bali sudah berkali-kali melakukan penelitian di beberapa pusat peradaban. Mulai dari wilayah Klandis, Sawan, hingga Bengkala yang diduga menjadi pusat peradaban di wilayah Tukad Daya.

Hingga kawasan Gobleg dan Munduk yang diduga menjadi pusat peradaban di sekitar Danau Buyan-Tamblingan.

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balar Denpasar, menggelar diseminasi publik tentang penelitian peradaban Bali dalam pengelolaan Sumber Daya Air.

Diseminasi itu dilangsungkan di Dinas Kebudayaan Buleleng. Kepala Balar Bali I Gusti Made Suarbhawa mengatakan, keberadaan peradaban pada masa lampau selalu dekat dengan sumber air.

Dalam hal ini danau, sungai, maupun pantai. Di Buleleng sendiri, Balar kerap menemukan lokasi yang disebut sebagai sawen. 

Sawen berfungsi sebagai penanda bahwa lokasi itu telah dimanfaatakan dan disadari pemanfaatannya oleh masyarakat pada masa itu.

Temuan tinggalan sejarah tak melulu ditemukan pada masa Hindu. Bahkan pada masa pra Hindu pun sudah ditemukan.

“Misalnya temuan celak kontong lugeng luweng itu kan budaya astronesia yang kemudian dikemas sedemikian rupa masuk dalam pengaruh peradaban Hindu. Ini ditemukan di Buyan dan Tamblingan,” kata Suarbhawa.

Selain itu di kawasan Tukad Daya juga ditemukan ceruk-ceruk pertapaan sebagai tanda adanya peradaban di wilayah tersebut.

“Di desa-desa sekitar juga banyak ditemukan prasasti, yang tentu saja ini menandakan adanya peradaban yang maju dan terpusat pada masa itu,” jelasnya.

Lebih lanjut dijelasakan, pada masa-masa lampau, para raja selalu menjadikan air sebagai sumber untuk kesejahteraan masyarakat.

Air menjadi kunci untuk pembangunan. Entah itu pembangunan pertanian pada masa itu, maupun pembangunan peradaban-peradaban lainnya.

Dalam konteks kekinian, Suarbhawa menilai pemerintah pun harus meneladani pemikiran-pemikiran pemimpin terdahulu. Terutama dalam pemanfaatan sumber daya air.

Hal itu dapat menjadi kunci dalam keberhasilan pembangunan sebuah daerah. Sebab air diakui atau tidak, menjadi sumber hajat hidup orang banyak.

“Kita lihat sekarang bendungan mulai dibangun untuk kebutuhan air baku dan subak. Semangatnya adalah menjadikan air sebagai sumber kehidupan dan penghidupan.

Hanya tinggal sekarang bagaimana mengelolanya secara berkeadilan dan tidak terjadi ego sektoral,” tegasnya.

Suarbhawa mengingatkan bahwa nenek moyang sudah menjadi konseptor ulung dalam pengelolaan air.

Semuanya sudah melewat proses kontemplasi yang mendalam. Sehingga air menjadi kunci dalam kehidupan masyarakat. (*)

Balai Arkeologi membedah secara khusus tata kelola pengelolaan Sumber Daya Air di Bali. Mulai dari era lampau hingga terkini.

Tata kelola air yang arif dan bijaksana bisa menjadi kunci keberhasilan bahka kegagalan suatu pemerintahan.

 

 

EKA PRASETYA, Singaraja

BALI Utara memiliki sumber peradaban yang kaya di masa lampau. Pusat peradaban itu rata-rata berada dekat dengan air sebagai pusat kehidupan.

Peradaban-peradaban lampau dapat ditemui di sekitar Danau Buyan-Tamblingan, kawasan Menasa di Desa Sinabun yang mendapat limpahan air,

hingga temuan terbaru di sekitar Tukad Daya yang membelah Kecamatan Sawan dan Kecamatan Kubutambahan.

Balai Arkeologi (Balar) Bali sudah berkali-kali melakukan penelitian di beberapa pusat peradaban. Mulai dari wilayah Klandis, Sawan, hingga Bengkala yang diduga menjadi pusat peradaban di wilayah Tukad Daya.

Hingga kawasan Gobleg dan Munduk yang diduga menjadi pusat peradaban di sekitar Danau Buyan-Tamblingan.

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balar Denpasar, menggelar diseminasi publik tentang penelitian peradaban Bali dalam pengelolaan Sumber Daya Air.

Diseminasi itu dilangsungkan di Dinas Kebudayaan Buleleng. Kepala Balar Bali I Gusti Made Suarbhawa mengatakan, keberadaan peradaban pada masa lampau selalu dekat dengan sumber air.

Dalam hal ini danau, sungai, maupun pantai. Di Buleleng sendiri, Balar kerap menemukan lokasi yang disebut sebagai sawen. 

Sawen berfungsi sebagai penanda bahwa lokasi itu telah dimanfaatakan dan disadari pemanfaatannya oleh masyarakat pada masa itu.

Temuan tinggalan sejarah tak melulu ditemukan pada masa Hindu. Bahkan pada masa pra Hindu pun sudah ditemukan.

“Misalnya temuan celak kontong lugeng luweng itu kan budaya astronesia yang kemudian dikemas sedemikian rupa masuk dalam pengaruh peradaban Hindu. Ini ditemukan di Buyan dan Tamblingan,” kata Suarbhawa.

Selain itu di kawasan Tukad Daya juga ditemukan ceruk-ceruk pertapaan sebagai tanda adanya peradaban di wilayah tersebut.

“Di desa-desa sekitar juga banyak ditemukan prasasti, yang tentu saja ini menandakan adanya peradaban yang maju dan terpusat pada masa itu,” jelasnya.

Lebih lanjut dijelasakan, pada masa-masa lampau, para raja selalu menjadikan air sebagai sumber untuk kesejahteraan masyarakat.

Air menjadi kunci untuk pembangunan. Entah itu pembangunan pertanian pada masa itu, maupun pembangunan peradaban-peradaban lainnya.

Dalam konteks kekinian, Suarbhawa menilai pemerintah pun harus meneladani pemikiran-pemikiran pemimpin terdahulu. Terutama dalam pemanfaatan sumber daya air.

Hal itu dapat menjadi kunci dalam keberhasilan pembangunan sebuah daerah. Sebab air diakui atau tidak, menjadi sumber hajat hidup orang banyak.

“Kita lihat sekarang bendungan mulai dibangun untuk kebutuhan air baku dan subak. Semangatnya adalah menjadikan air sebagai sumber kehidupan dan penghidupan.

Hanya tinggal sekarang bagaimana mengelolanya secara berkeadilan dan tidak terjadi ego sektoral,” tegasnya.

Suarbhawa mengingatkan bahwa nenek moyang sudah menjadi konseptor ulung dalam pengelolaan air.

Semuanya sudah melewat proses kontemplasi yang mendalam. Sehingga air menjadi kunci dalam kehidupan masyarakat. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/