Oleh: Dahlan Iskan
Saya terbiasa minta tolong Google. Untuk mencari masjid terdekat. Google itu Islam. Ngerti kata masjid. Tidak harus ditulis mosque. Dia itu juga Kristen. Juga Hindu. Juga Budha. Juga Konghucu. Juga tidak beragama.
Waktu tiba di San Antonio sudah pukul 18.00. Saya order ‘Masjid in San Antonio, Texas’. Muncullah lima lokasi masjid. Dengan nama masing-masing. Saya pilih yang terdekat: 2,5 Km. Jarak tempuh: 7 menit. Namanya: Masjid Hussainiah.
Melihat namanya saya mulai membayangkan dua hal. Inilah salah satu masjid dari jaringan Jamea Al-Kauthar. Yang berpusat di Inggris.
Yang punya gerakan Masharee Kaushar. Yang dipimpin Shaykh Riyadh ul Haq. Anak muda asal India yang luar biasa. Memimpin Akademi Al-Kauthar di Leichester. Kota yang dua tahun lalu bikin heboh. Sepak bolanya tiba-tiba tumben banget: juara liga Inggris.
Masharee Kauthar punya banyak masjid di Inggris, India, Pakistan, Afrika dan Amerika. Saya khayalkan: saya lagi menuju salah satu masjid dalam jaringan itu.
Syeikh Riyadh ul Haq juga menulis buku hadits yang sangat terkenal: ‘’Sarah Sohih Bukhari-Muslim’’.
Atau jangan-jangan saya lagi menuju masjid aliran Syiah. Dilihat dari namanya: bisa jadi. Nama masjid Hussainiah bisa saja diambil dari nama cucu Nabi Muhammad: Sayidina Hussein. Putra Sayidina Ali. Yang dibunuh secara tragis di Karbala itu. Yang kepalanya dipenggal itu. Yang tiap tanggal 10 Muharam ditangisi menggebu oleh jutaan orang Iran itu. Yang tiap tahun 7 juta orang jalan kaki 60 Km menuju Karbala. Untuk mengenang perjalanan terakhir Sayidina Hussein.
Begitulah pelajaran tarikh Islam yang saya terima dulu. Tapi kisah terbaik tragedi itu saya temukan belakangan. Di buku berjudul ‘’Padang Karbala’’. Kalau tidak salah ingat. Ditulis oleh O’Hashem.
Isinya sangat diskriptif. Seperti reportase. Seperti karya jurnalistik. Seperti ada wartawan yang mengintip dari jarak dekat perjalanan terakhir itu: dari Makkah di Arab Saudi ke Karbala di Iraq. Yang tujuan awalnya ke Baghdad. Untuk menerima warisan jabatan Amirul Mukminin: semacam presiden. Yang ternyata dibelokkan ke Karbala.
Saking diskriptifnya cerita itu sampai bisa digambarkan: bagaimana paniknya rombongan kecil Sayidina Hussein itu. Saat kemahnya diserbu mendadak. Sampai harus lari. Dengan sebelah sandal ketinggalan di kemah.
Saya tidak peduli: apakah menuju Hussainiah Inggris atau Hussainiah Karbala. Pokoknya masjid. Bisa buka puasa di situ. Sudah lapar sekali: mengemudikan mobil empat jam nonstop dari kota Laredo.
Ini dia masjidnya: di pojok jalan. Ada tulisan Hussainiah di dekat pintunya. Tapi tidak ada indikasi Hussainiah yang mana. Yang Inggris atau yang Syiah.
Saya parkir di depan garasi. Sepi. Pintu terkunci. Tidak ada mobil lewat. Tidak ada pejalan kaki. Saya pilih duduk di bawah pohon. Di halaman masjid itu. Terlindung dari matahari khas Texas: menyengat sekali.
Sambil istirahat. Sambil menulis naskah untuk Disway. Setelah satu jam di bawah pohon: sedan putih berhenti di depan saya.
”Apakah menunggu seseorang?” tanyanya dari kaca jendela yang diturunkan.
”Saya menunggu masjid ini buka. Ingin berbuka puasa di masjid ini,” jawab saya.
”Tunggu ya. Saya lupa bawa kuncinya. Saya ambil dulu,” tambahnya.
Lega. Pasti masjid ini akan di buka.
Masjid ini tergolong baru. Dari tulisan di papannya: didirikan tahun 2012. Seumur dengan masjid di Laredo.
Sebelum itu masjid tersebut rumah biasa. Yang dibeli. Dijadikan masjid. Tanpa ada perubahan apa pun.
Setelah pintu masjid ini dibuka pun saya belum tahu: Hussainiah yang mana. Yang Suni atau yang Syiah.
Ketika masuk ruang pertama yang ada buku-buku. Saya bertanya: apakah ada buku Riyadh ul Haq di perpustakaan ini? Tidak ada. Justru buku-buku Kristen ada di situ. Misalnya: Catholic Ethic.
Beberapa orang lagi datang. Anak-anak muda. Berwajah Arab. Pakai celana sebatas dengkul. Atau sedikit di atasnya. Seperti umumnya anak muda Amerika.
Atasannya kaus. Mereka langsung sibuk iris-iris semangka. Membuka meja. Menata makanan di atasnya. Banyak sekali: jumlahnya dan jenisnya.
Sambil menunggu komando ‘serbuuu’ saya masuk ke ruang utama. Ada sofa panjang di sepanjang dindingnya. Ada kursi-kursi lipat. Karpetnya luas dan empuk. Saya duduk di sofa itu. Mengamati apa saja yang tertempel di dinding.
Saya terpana: di depan tempat imam itu banyak tulisan Arab. Saya baca satu persatu: ada 12 nama yang saya kenal. Dari buku.
Kesimpulan saya bulat: ini masjid Syiah. Bukan Hussainiah-nya Riyadh ul Haq Inggris.
Tulisan 12 nama itu adalah nama-nama imam dalam aliran Syiah: Sayidina Ali bin Abi Thalib yang meninggal tahun 661, Sayidina Hassan putra Ali, Sayidina Hussaein adik Hassan, Muhamad Ibn Ali, Jafar Muhammad, Musa Jafar, Ali bin Musa, Muhammad Ibn Ali, Ali Ibn Muhammad, Hasan Ibn Ali, terakhir Muhammad Ibn Hassan yang lahir tahun 869.
Kesimpulannya: saya telah berada di dalam masjid Syiah.
Ya sudah. Rapopo. Insyaalah aku lilo.
Sambil biar berpengalaman berjamaah bersama penganut Syiah. Di San Antonio, Texas, Amerika. Sekalian bisa untuk tulisan di Disway.(dis)