Menjelang malam ketiga, Sabtu siang (17/3), kami check out dari Citin Hotel Masjid Jamek, pindah ke Hotel 1000 Miles di Thousand Miles No. 17 & 19 Jalan Tun HS Lee 50000, Kuala Lumpur.
Kami lewati malam bersama turis backpacker. Seperti apa suasananya?
LANTARAN ogah melihat peta, kami sempat memutar jauh saat menuju Hotel 1000 Miles. Padahal, jarak kedua hotel ini bisa ditempuh hanya 20 menitan berjalan santai,
melewati gang sempit sejauh 55 langkah kaki, di kanan hotel yang tembus Jalan Leoh Ampang, 50100, Kuala Lumpur.
Ujung gangnya tembus seberang Restoran Karaidu Chettidu Mess. Atau, di kiri Restaurant Betel Leaf. Pukul 14.00 kami check in di Hotel 1000 Miles.
Untuk bisa masuk ke hotel ini, terlebih dahulu memencet bel di bagian kanan pintu hotel. Sesampai di dalam hotel, kami disambut Ali Imron dan Mukhlis, dua pegawai hotel. Lantas melakukan proses administrasi.
Selama menunggu proses check in tersebut, kami sudah boleh menikmati ’’welcome’’ drink, yang bisa disiapkan sendiri alias swayalan. Pilihannya; kopi hangat hingga teh hangat.
Kami mengambil tempat duduk di meja kayu persegi panjang, ukuran 1,5×2 meter. Menempati sisi kiri lobi yang berdinding ala cafe.
Hanya berupa potongan bata acak. Plus hiasan dinding; lukisan dan foto-foto Kuala Lumpur tempo dulu. Plafonnya berhias aneka bola lampu handmade, panjang-panjang, bagai buah asam yang panjang.
Sambil ngopi, kami juga ngobrol dengan Imron dan Mukhlis. ’’Saya baru tiga bulan bekerja di hotel ini,’’ aku Imron.
Walau tergolong pegawai baru, Imron tampak akrab dengan tamu-tamu hotel. Bahkan, cara berinteraksinya, bukan layaknya pegawai hotel dengan tamunya. Tapi, bagai sahabat karib yang liburan bersama.
Mereka berpakain casual. Santai banget. Hanya pakai celana pendek selutut, dipadu T-shirt. Kadang juga pakai kaos lengan panjang. Bukan seperti pegawai hotel yang selalu pakai seragam kebesaran hotel bersangkutan.
Ada yang mencuri perhatian selama kami di lobi hotel; sepasang turis, asyik-asyik saja di depan laptop masing-masing. Mereka cuek dengan lingkungan sekitarnya.
Dengan lalu lalangnya penghuni hotel. Baik yang check in maupun check out. Bahkan, pantauan penulis, pada waktu-waktu berikutnya, sekitar 12 jam, mereka belum pindah tempat duduknya.
Si perempuan rambutnya keriting dengan gulungan besar. Si prianya, berambut rapi tipis, tapi tidak cepak. Duduk berdampingan, yang pria menyilangkan kaki kanan di atas kaki kirinya.
Saking cueknya, posisi kaki yang ditumpangkan itu sampai lebih tinggi dari meja di hadapannya. Padahal, di meja itu, ada makanan dan minuman, termasuk kopi dan kuenya Jawa Pos Radar Bali, yang baru pindah dari meja persegi panjang.
Usai proses check in, kami dapat password Wi-fi lantai 5 plus kunci kamar. Persisnya kunci dengan nomor 502.
Artinya, penulis menempati kamar di lantai 5, dengan tempat tidur (bed) nomor 2. Karena hotel ini menyasar tamu backpacker, maka dalam satu kamar yang kami tempati terdapat 4 bed.
Posisinya membentuk huruf L, di pojok kiri kamar. Masing-masing dua tingkat atau bed susun. Bed penulis di bagian atas, persis menghadap pintu kamar.
Untuk naik ke bed ini, harus menaiki 5 anak tangga bed berbahan baja segi empat selebar 3 sentimeter ini. Masing-masing bed dilengkapi korden yang dibuka tutup dengan digeser ke kanan atau ke kiri, bila ingin tidur.
Dari lobby, dalam lift, hingga masuk kamar banyak petunjuk dan aturan yang berlaku di hotel tersebut. Begini, di antaranya; ’’Complimentary breakfast,
toast with peanut butter, cereal with fresh milk, coffee/ tea, served 7.00 AM-11.00 AMl lobby, at the lobby.’’ Juga ditempel, ’’coffee and tea, available 24 hrs at the lobby.’’
Memang, di lobi komplit. Berjajar kotak Lipton, BOH (teh), Kopi O, In.Comix, Indocafe, Nescafe, gula di toples tersendiri.
Sebuah baki yang diberi serbet biru kotak-kotak, tempat piring kecil (lepek), mangkuk kecil, hingga mug pun tersedia. Juga dua buah panggangan roti tawar elektrik.
Semuanya menempati rak kayu susun dua, yang di atasnya ada instalasi berupa satu unit pesawat telepon antik. Yakni, masih pakai nomor yang harus diputar terlebih dahulu, saat dioperasikan.
Sedang dari dalam kamar, tertempel pemberitahuan/ peringatan di balik pintu kamar. ’’Laws of Malaysia. Act 248, Innkeepers Act 1952.’’
Di antaranya, tentang; ’’Limitation of Innkeepers’ Liability’’ atau aturan di hotel ini. Kamar mandinya, meski sederhana, namun bersih dan komplit.
Tersedia locker susun empat. Masing-masing bernomor sesuai nomor tempat tidur. Saat kami masuk kamar, sudah ada seorang tamu.
Wajahnya, bagai Sylvano Dominique Comvalius, mantan striker Bali United. Berkumis dan jambang lebat. Saat kami masuk hotel, sempat bertegur sapa; ’’Hai!.’’ Lantas dibalas, ’’Hai!’’ juga.
Selebihnya, dia larut dalam novel tebalnya di tangannya, sambil tiduran. Ba’da Maghrib, saat penulis hendak meninggalkan kamar hotel, pria tersebut sudah menutup korden tempat tidurnya.
Lampu, di tempat tidurnya, juga sudah dipadamkan. Hingga siang, esok harinya, belum jua bangun.
Sore hari, kami makan di seberang hotel, Restoran Mair Dua. Seorang pramu saji, perempuan berkerudung, Suriah, mengaku berasal dari Pamekasan, Madura, Jatim.
Dia sudah 6 tahun bekerja di Kuala Lumpur. ’’Nanti hari Senin (21/3, Red), makan di sini lagi, ya. Kalau hari Minggu, saya cuti,’’ katanya ramah, sambil melempar senyum.
Malamnya, setelah menyusuri sudut Kota Kuala Lumpur, penulis kembali ke hotel. Kemudian, dari balkon lantai lima, kami melewati malam bersama beberapa turis backpacker.
Menempati empat pasang meja kursi, juga tiga unit kursi panjang atau lonjer. Bahkan, penulis akhirnya tertidur di balkon hingga subuh.
Duo warga Jepang Hokaido dan Sazue, sempat bersantai bersama penulis. Hokaido mengaku tengah holiday di Malaysia dan Singapura. ’’Kami pingin ke Bali untuk menyelam,’’ kata Hokaido.
Hokaido dan Sazue mengaku sudah lama mendengar tempat menyelam nan elok di Bali. Yakni, di Tulamben, Karangasem.
Dia ngaku kagum dengan keindahan alam bawah laut di Pulau Bali tersebut. Seperti, adanya bangkai kapal USS Liberty dengan biota bawah laut; mulai kuda laut, siput laut, hingga ikan mola-mola.
Mereka sekitar 2-3 hari berlibur ke Malaysia, lantas akan menikmati Singapura dengan perjalanan darat dari Kuala Lumpur, naik bus.
Malam itu, di seberang hotel, di keremangan malam, bangunan Maybank nan menjulang, tampak remang-remang. Bahkan, nyaris siluet.
Di kiri hotel (utara), tampak Kuala Lumpur Tower (KL Tower) menjulang dengan lampu terang, bagai angka 1 yang bersinar terang benderang.
Di belakangnya, tampak Petronas Twin Towers. Namun, persis pukul 24.00, lampu-lampu KL Tower dipadamkan. Hanya lampu di puncak tower yang tetap menyala hingga pagi.
Sekitar pukul 23.00, beberapa turis yang sempat meninggalkan balkon, tiba-tiba berhamburan dari kamarnya. Mereka kembali ke balkon. ’’Dooor, dooor, doooorrr…!.’’
Mereka yang tidur langsung terbangun begitu mendengar suara ledakan bagai bom, atau suara petir yang menggelar ini.
Usut punya usut; itu adalah suara kembang api raksasa dari acara PDRM Night Run 2018, In Commemoration of 211th, di Royal Malaysia Police Day, di Dataran Merdeka, Kuala Lumpur.
Karena kaget, seorang bule perempuan dengan rambut acak-acakan, masih berpakaian tidur atasan saja. Meski pakai pakaian dalam, namun dia nggak sempat pakai baju tidur bawahan.
Begitu tahu, ledakan yang mengejutkan itu hanya kembang api raksasa, mereka malah asyik mengabadikan pesta kembang api berdurasi sekitar 15 menit ini.
Seiring berakhirnya hiburan kembang api di angkasa, mereka kembali ke kamar masing-masing. Sementara, penulis yang tertidur di lonjer, bangun saat subuh.
Bersamaan terdengar suara adzan Subuh dari Masjid Jamek (Masjid Jamek Sultan Abdul Samad Kuala Lumpur), berdentang pula lonceng Gereja The Cathedral of St. John di Jalan Bukit Nenas No. 5 Kuala Lumpur.
Saat itulah, ratusan ekor burung gagak bernyanyi bersahut-sahutan. Unggas ini terbang dari arah barat Hotel 1000 Miles menuju arah Maybank.
Di beberapa sudut Kota Kuala Lumpur, memang mudah sekali menjumpai sekawanan burung gagak. Unggas yang oleh sebagian warga Indonesia, dimaknai memiliki isyarat gaib ini, sering hinggap di atas gedung pencakar langit.
Mulai di hotel, kantor swasta, kantor pemerintahan, hingga lapangan terbuka. Gagak-gagak gemuk ini, paling banyak hinggap di pohon-pohon besar di Little India, barat Masjid India, Kuala Lumpur.
Suaranya bersahut-sahutan. Makanya, kawasan itu juga jadi kumuh, lantaran di seluruh lantai-lantainya, mayoritas dipenuhi feses gagak besar alias raven ini. (djoko heru setiyawan/ bersambung)