31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 10:21 AM WIB

Makin Getol Upaya Pelestarian dengan Wajibkan Anak SD Ikut Les Melukis

Lukisan khas gaya Batuan Kecamatan Sukawati, masuk menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia 2018. Lukisan tradisional Bali, ini pun kini telah diakui di seantero dunia.

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

 

LUKISAN tradisional Bali bergaya Batuan telah banyak dikenal dan hampir tersebar di banyak Negara di dunia.

 

Di tempat asalnya di Batuan, lukisan gaya ini hampir banyak ditemukan di setiap rumah warga.

 

Bahkan masyarakatnya rata-rata mampu melukis lukisan gaya ini.

 

Temanya pun beragam.

 

Mulai dari cerita rakyat berupa Tantri, Rajapala, Calonarang, kisah pewayangan seperti Mahabharata dan Ramayana, kehidupan sehari-hari, hingga seremoni adat atau agama.

 

Berkembangnya zaman, beberapa pelukis mulai menyandingkan tema modern tanpa mengesampingkan gaya Batuan.

 

Seperti misalnya lukisan sepak bola, pesawat terbang, mobil, figur turis, dan sebagainya.

 

Contoh salah satu pelukis yang mengkolaborasikan tema modern ke dalam lukisan tradisonal gaya Batuan salah satunya adalah I Ketut Sadia.

 

Ketua Perkumpulan Baturulangun Batuan itu melukiskan kesenian tari cak yang mengelilingi Monumen Nasional (Monas) Jakarta.

 

Lukisan berjudul Cak di Tugu Monas itu kata I Ketut Sadia tetap menggunakan teknik dasar gaya Batuan.

 

 “Namun disandingkan dengan tema modern,” jelas Sadia di rumahnya di bilangan Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, kemarin (13/11).

 

Sadia yang juga Prajuru Pura Dalem Sukaluwih, Desa Pakraman Batuan ini menuturkan, yang membedakan gaya lukisan Batuan dengan lukisan lainnya adalah teknik goresan.

 

Dari berbagai teknik, menonjolkan warna merupakan pembeda.

 

“Melukis gaya Batuan perlu kesabaran, karena memang dikenal rumit.

 

Prosesnya pun adalah sebuah upaya pencarian jati diri,” jelasnya.

 

Diakui, seiring perkembangan zaman, apalagi semenjak bom Bali, sebagian besar warga berhenti melukis. Kondisi ini berlangsung hampir 10 tahun.

 

Hingga akhirnya, muncul niat para pelukis Batuan yang masih bertahan untuk bangkit kembali.

 

Dengan segala upaya, para pelukis membentuk Perkumpulan Baturulangun pada 2012.

 

Batur sebagai sebutan Desa Batuan pada jaman dahulu, sedangkan Ulangun merupakan aneka ragam kesenian, khususnya seni lukis.

 

Perkumpulan ini melakukan upaya edukasi termasuk menciptakan ruang pembelajaran seni lukis gaya Batuan pada anak-anak sekolah. Untuk tahap awal, diakui masih berat.

 

Sebab, minat anak-anak belajar melukis tradisi sulit digugah.

 

Bahkan, dari peserta awal ratusan, kian menyusut menjadi hanya beberapa orang.

 

“Walau begitu, justru kami semakin terpacu menggalakkan lukisan ini,” ujar pria kelahiran 20 Desember 1966 itu.

 

Tak habis cara, Baturulangun menggandeng 4 Sekolah Dasar (SD) yang ada di Desa Batuan dengan dukungan Pemerintah Desa Batuan.

 

Sehingga les melukis gaya Batuan diwajibkan bagi anak-anak kelas III sampai kelas VI.

 

“Termasuk juga adanya ekstrakurikuler melukis gaya Batuan di 4 SD. Jadi hari Sabtu, anggota kami melakukan pembinaan di masing-masing sekolah.

 

Lalu setiap hari Minggu pagi, mereka melanjutkan les melukis di kantor desa.

 

Dan ini gratis, difasilitasi oleh Pemerintah Desa,” jelas pelukis asal Banjar Pekandelan ini.

 

Saat ini, jumlah peserta didik les melukis gaya Batuan mencapai ratusan.

 

Jika di awal mereka kurang tertarik, kini para pelukis anak-anak semakin termotivasi.

 

Apalagi lukisan anak-anak ini dipajang dalam beberapa pameran bergengsi.

 

Lukisan karya anak-anak itu pernah dipajang di pameran bertajuk Nawa Citra pada 22-31 Oktober 2017 di Titian Art Space, Ubud.

 

Pernah juga ditampilkan di Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40 di Gedung Kriya, Art Center, Denpasar, 23 Juni-21 Juli 2018.

 

“Anak-anak Desa Batuan memang punya potensi yang luar biasa.

 

Karya-karya mereka sering dipamerkan dan diapresiasi, sehingga anak-anak semakin termotivasi,” ungkap suami dari Ni Putu Subawati ini.

 

Disamping melestarikan seni budaya, keahlian melukis gaya Batuan juga kerap diterapkan untuk ngayah.

 

“Di Bali, seni erat kaitannya dengan upacara Agama Hindu. Sehingga keahlian kami pada bidang lukis, kerap kami abdikan untuk ngayah.

 

Misal melukis kober, umbul-umbul maupun perlengkapan upacara lainnya.

 

Maka itu, seni sebagai kunci ekonomi sekaligus kunci sosial, dia harus tetap ada,” terang ayah 4 anak itu.

 

Seperti dilakukan dalam rangka karya upacara besar di Pura Dalem Alas Arum Desa Batuan beberapa waktu lalu. Perkumpulan Baturulangun Batuan ngayah membuat lukisan dinding (praba) yang terdapat pada bangunan suci umat.

 

“Disitu sebetulnya penerapan kesenian di Bali. Tidak hanya ungkapan perasaan dari sang seniman tapi juga diperuntukan untuk kepentingan adat dan keagamaan,” tukasnya. (*)

Lukisan khas gaya Batuan Kecamatan Sukawati, masuk menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia 2018. Lukisan tradisional Bali, ini pun kini telah diakui di seantero dunia.

 

IB INDRA PRASETIA, Gianyar

 

LUKISAN tradisional Bali bergaya Batuan telah banyak dikenal dan hampir tersebar di banyak Negara di dunia.

 

Di tempat asalnya di Batuan, lukisan gaya ini hampir banyak ditemukan di setiap rumah warga.

 

Bahkan masyarakatnya rata-rata mampu melukis lukisan gaya ini.

 

Temanya pun beragam.

 

Mulai dari cerita rakyat berupa Tantri, Rajapala, Calonarang, kisah pewayangan seperti Mahabharata dan Ramayana, kehidupan sehari-hari, hingga seremoni adat atau agama.

 

Berkembangnya zaman, beberapa pelukis mulai menyandingkan tema modern tanpa mengesampingkan gaya Batuan.

 

Seperti misalnya lukisan sepak bola, pesawat terbang, mobil, figur turis, dan sebagainya.

 

Contoh salah satu pelukis yang mengkolaborasikan tema modern ke dalam lukisan tradisonal gaya Batuan salah satunya adalah I Ketut Sadia.

 

Ketua Perkumpulan Baturulangun Batuan itu melukiskan kesenian tari cak yang mengelilingi Monumen Nasional (Monas) Jakarta.

 

Lukisan berjudul Cak di Tugu Monas itu kata I Ketut Sadia tetap menggunakan teknik dasar gaya Batuan.

 

 “Namun disandingkan dengan tema modern,” jelas Sadia di rumahnya di bilangan Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, kemarin (13/11).

 

Sadia yang juga Prajuru Pura Dalem Sukaluwih, Desa Pakraman Batuan ini menuturkan, yang membedakan gaya lukisan Batuan dengan lukisan lainnya adalah teknik goresan.

 

Dari berbagai teknik, menonjolkan warna merupakan pembeda.

 

“Melukis gaya Batuan perlu kesabaran, karena memang dikenal rumit.

 

Prosesnya pun adalah sebuah upaya pencarian jati diri,” jelasnya.

 

Diakui, seiring perkembangan zaman, apalagi semenjak bom Bali, sebagian besar warga berhenti melukis. Kondisi ini berlangsung hampir 10 tahun.

 

Hingga akhirnya, muncul niat para pelukis Batuan yang masih bertahan untuk bangkit kembali.

 

Dengan segala upaya, para pelukis membentuk Perkumpulan Baturulangun pada 2012.

 

Batur sebagai sebutan Desa Batuan pada jaman dahulu, sedangkan Ulangun merupakan aneka ragam kesenian, khususnya seni lukis.

 

Perkumpulan ini melakukan upaya edukasi termasuk menciptakan ruang pembelajaran seni lukis gaya Batuan pada anak-anak sekolah. Untuk tahap awal, diakui masih berat.

 

Sebab, minat anak-anak belajar melukis tradisi sulit digugah.

 

Bahkan, dari peserta awal ratusan, kian menyusut menjadi hanya beberapa orang.

 

“Walau begitu, justru kami semakin terpacu menggalakkan lukisan ini,” ujar pria kelahiran 20 Desember 1966 itu.

 

Tak habis cara, Baturulangun menggandeng 4 Sekolah Dasar (SD) yang ada di Desa Batuan dengan dukungan Pemerintah Desa Batuan.

 

Sehingga les melukis gaya Batuan diwajibkan bagi anak-anak kelas III sampai kelas VI.

 

“Termasuk juga adanya ekstrakurikuler melukis gaya Batuan di 4 SD. Jadi hari Sabtu, anggota kami melakukan pembinaan di masing-masing sekolah.

 

Lalu setiap hari Minggu pagi, mereka melanjutkan les melukis di kantor desa.

 

Dan ini gratis, difasilitasi oleh Pemerintah Desa,” jelas pelukis asal Banjar Pekandelan ini.

 

Saat ini, jumlah peserta didik les melukis gaya Batuan mencapai ratusan.

 

Jika di awal mereka kurang tertarik, kini para pelukis anak-anak semakin termotivasi.

 

Apalagi lukisan anak-anak ini dipajang dalam beberapa pameran bergengsi.

 

Lukisan karya anak-anak itu pernah dipajang di pameran bertajuk Nawa Citra pada 22-31 Oktober 2017 di Titian Art Space, Ubud.

 

Pernah juga ditampilkan di Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40 di Gedung Kriya, Art Center, Denpasar, 23 Juni-21 Juli 2018.

 

“Anak-anak Desa Batuan memang punya potensi yang luar biasa.

 

Karya-karya mereka sering dipamerkan dan diapresiasi, sehingga anak-anak semakin termotivasi,” ungkap suami dari Ni Putu Subawati ini.

 

Disamping melestarikan seni budaya, keahlian melukis gaya Batuan juga kerap diterapkan untuk ngayah.

 

“Di Bali, seni erat kaitannya dengan upacara Agama Hindu. Sehingga keahlian kami pada bidang lukis, kerap kami abdikan untuk ngayah.

 

Misal melukis kober, umbul-umbul maupun perlengkapan upacara lainnya.

 

Maka itu, seni sebagai kunci ekonomi sekaligus kunci sosial, dia harus tetap ada,” terang ayah 4 anak itu.

 

Seperti dilakukan dalam rangka karya upacara besar di Pura Dalem Alas Arum Desa Batuan beberapa waktu lalu. Perkumpulan Baturulangun Batuan ngayah membuat lukisan dinding (praba) yang terdapat pada bangunan suci umat.

 

“Disitu sebetulnya penerapan kesenian di Bali. Tidak hanya ungkapan perasaan dari sang seniman tapi juga diperuntukan untuk kepentingan adat dan keagamaan,” tukasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/