31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 9:58 AM WIB

Jadi Tapol 12 Tahun Lantaran Anggota Lekra, Masih Melukis di Usia Uzur

Bali memiliki segudang seniman, salah satu seniman lukis. Dari seniman-seniman tersebut banyak karya-karya apik yang lahir dari tantangan seniman ini. Selain itu, konsistensi para seniman dalam melahirkan karya, meski sudah berusia uzur.

 

 

ZULFIKA RAHMAN, Denpasar

FISIKNYA masih lumayan sehat, meski di usianya yang hampir menginjak 80 tahun, pelukis gaek Raka Swasta masih tetap eksis melukis karya.

Meski sedikit ringkih. Namun pendengaranya sudah tidak lagi tajam, untuk berbicara, volume suara sedikit ditinggikan.

Usia senja tidak menghalangi Raka untuk terus melahirkan karya. Meski sesekali kerap dilanda sakit, seperti batuk dan lainnya.

Namun, untuk urusan fisik ia masih tetap kuat menyelesaikan lukisan-lukisan yang cenderung mengeksplore keindahan Bali ini.

Ia masih sanggup menyetir mobil seorang dir dari rumahnya di Jalan Salya Denpasar menuju Desa Lodtunduh, Ubud tempat studio lukis yang ia tempati cukup lama.

“Saya memilih Lodtunduh sebagai tempat kerja saya, karena di sana suasananya sepi, dingin. Jarang juga orang mau main ke sana. Jadi fokus untuk melukis saja di sana.

Seminggu sekali balik ke Denpasar. tinggal sendiri. Saya suka menyendiri,” katanya mengawali cerita saat wartawan Jawa Pos Radar Bali ini bertandang ke rumahnya di Jalan Salya Denpasar.

Lokasi tempat ia bekerja tersebut berdekatan dengan sawah, masih sangat asri. Jauh dari kebisingan arus kendaraan.

Berbeda dengan pusat Kecamatan Ubud, yang saat ini cukup krodit oleh aktivitas kendaraan lantaran ramainya pengunjung. Atau Denpasar tempat ia tinggal.

Raka adalah salah satu seniman yang cukup berpengaruh di Bali. Ia adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Salah satu underbow atau organisasi sayap partai politik yang memiliki afiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang hingga saat ini keberadaanya dilarang di Indonesia.

Ia masuk Lekra karena menganggap Lekra bisa menjadi wadah tempat ia bersosialisasi bersama seniman. “Saya masuk Lekra tahunya saya lupa. Tempat pendaftarannya saat itu di sebelah timur Puri Satria,” tuturnya.

Seniman kelahiran Denpasar, tahun 1939 silam menceritakan awal mula tergabung dalam organisasi sayap PKI itu.

Raka sendiri, merupakan pelukis yang tumbuh dengan cara otodidak. Kemahirannya dalam melukis ia dapatkan dalam pergaulan bersama beberapa seniman di Denpasar.

Sejak tahun 1960, Raka memutuskan untuk berkeliling ke daerah Jawa. Tepatnya di Jogjakarta. “Saya di Jogja delapan bulan. Selama disana saya membuat sketsa. Banyak juga bergaul dengan seniman. Banyak ilmu,” kenangnya.

Selanjutnya, di tahun 1961. Raka merantau ke Jakarta. Di sana ia berkenalan dengan beberapa seniman dari berbagai daerah.

Hingga akhirnya dia masuk dalam satu sanggar seni yang ia sendiri lupa nama perkumpulan sanggar tersebut.

Sanggar itu kata dia berlokasi di Wilayah Jalan Kebon Manggis, Matraman Jakarta Timur. “Di sanggar itu saya bertemu dengan beberapa anggota Lekra. Salah satunya pelukis Batara Lubis.

Saya mulai kenal Lekra disana,” jelas pria yang telah dikaruniai empat anak dari pasangannya bernama Ni Made Ripek ini.

Banyak ilmu yang didapat selama satu tahun bernaung dalam sanggar seni tersebut. Salah satunya, Raka bisa membuat poster yang di Bali sendiri yang jarang bisa membuat poster.

Akhirnya ia memutuskan pulang dan tergabung di Lekra pada tahun 1963, dua tahun setelah keberadaan Lekra di Bali di tahun 1961 silam.

“Saat itu saya bergabung ke Lekra saat saya pulang ke sini (Bali),” bebernya. Selama merintis menjadi seniman,

dia sempat mendapat orderan membuat poster untuk kebutuhan acara Sidang Komite Eksekutif Konferensi Pengarang Asia-Afrika (SKE-KPAA) tahun 1963 silam.

Dua sastrawan muda Indonesia waktu itu, Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang menjadi panitia pelaksana.

“Orang Bali yang bisa membuat poster masih belum ada, kebetulan saya bisa, karena belajar dari saya merantau itu. Akhirnya saya diminta mengerjakan proyek membuat poster,” tuturnya.

Berbagai kegiatan ia lakukan, termasuk di Lekra itu. Saat ia menjadi anggota Lekra, kala itu dijabat Warjana, seniman asal Desa Budakeling, Karangasem.

Menjadi anggota Lekra, menurutnya, suatu kebanggaan, ini mengingat beberapa seniman ternama Indonesia yang menjadi panutan masuk dalam Lekra.

Ia pun tidak membayangkan, ketika organisasi yang berhubungan dengan PKI di tahun 1965 dibredel sampai ke akar-akarnya.

“Karena saya masuk di Lekra murni karena berkesenian. Kegiatannya murni seni, tidak ada yang membahas politik dan lainnya.

Kegiatan seperti pameran lukisan, pementasan drama modern juga terlaksana di Lekra,” terang seniman asal Banjar Titih, Denpasar ini.

Hingga akhirnya, ia dijemput paksa di rumahnya di Banjar Titih, Denpasar oleh pasukan militer sekitar siang hari untuk naik ke atas truk.

Raka tidak sendiri saat itu, tapi di sudah mendapati 12 rekannya yang juga tergabung dalam Lekra.

“Langsung dibawa menuju rumah tahanan. Dituduh menjadi anggota PKI. Saat itu dipenjara tempatnya di Pekambingan,” kenangnya lagi.

Selama menjadi tahanan politik (tapol), Raka termasuk orang yang paling beruntung. Karena kerap bisa bertemu keluarga.

Ini karena ia kerap kali diminta untuk membersihkan taman, hingga secara tidak langsung ada kedekatan antara dirinya dengan militer.

Namun dia menceritakan beberapa temannya yang sempat mengalami penyiksaan. “Saya menjadi tapol selama 12 tahun.

Tapol-tapol ini biasanya diminta untuk mengerjalan proyek-proyek jalan. Seperti di Jalan Sudirman itu, saya dulu ikut kerja,” kenangnya lagi.

Hingga akhirnya ia dibebaskan. “Tapi tanpa diadili, dan proses pembebasan selama 12 tahu di penjara juga hanya diikasi surat pernyataan kalau saya tidak terlibat dan tidak terbukti sebagai anggota PKI,” imbuhnya.

Semenjak bebas sebagai tapol, Raka sempat berhenti melukis. Dia mengaku sempat bekerja serabutan. Hingga akhirnya, keinginan melukisnya datang lagi setelah rasa traumanya hilang.

Dia menuturkan, gaya melukis saat ini dengan sebelum ia  ditahan berbeda. “Kalau dulu saya melukis, ada kritiknya. Lebih menceritakan kondisi sosial.

Tapi usai dipenjara, gaya lukisan saya berubah, lebih santai. Lebih kepada gaya keindahan tentang Bali. Tapi ada keinginan lagi untuk kembali melukis dengan gaya saya dulu,” tutupnya. (*)

 

 

 

 

 

 

Bali memiliki segudang seniman, salah satu seniman lukis. Dari seniman-seniman tersebut banyak karya-karya apik yang lahir dari tantangan seniman ini. Selain itu, konsistensi para seniman dalam melahirkan karya, meski sudah berusia uzur.

 

 

ZULFIKA RAHMAN, Denpasar

FISIKNYA masih lumayan sehat, meski di usianya yang hampir menginjak 80 tahun, pelukis gaek Raka Swasta masih tetap eksis melukis karya.

Meski sedikit ringkih. Namun pendengaranya sudah tidak lagi tajam, untuk berbicara, volume suara sedikit ditinggikan.

Usia senja tidak menghalangi Raka untuk terus melahirkan karya. Meski sesekali kerap dilanda sakit, seperti batuk dan lainnya.

Namun, untuk urusan fisik ia masih tetap kuat menyelesaikan lukisan-lukisan yang cenderung mengeksplore keindahan Bali ini.

Ia masih sanggup menyetir mobil seorang dir dari rumahnya di Jalan Salya Denpasar menuju Desa Lodtunduh, Ubud tempat studio lukis yang ia tempati cukup lama.

“Saya memilih Lodtunduh sebagai tempat kerja saya, karena di sana suasananya sepi, dingin. Jarang juga orang mau main ke sana. Jadi fokus untuk melukis saja di sana.

Seminggu sekali balik ke Denpasar. tinggal sendiri. Saya suka menyendiri,” katanya mengawali cerita saat wartawan Jawa Pos Radar Bali ini bertandang ke rumahnya di Jalan Salya Denpasar.

Lokasi tempat ia bekerja tersebut berdekatan dengan sawah, masih sangat asri. Jauh dari kebisingan arus kendaraan.

Berbeda dengan pusat Kecamatan Ubud, yang saat ini cukup krodit oleh aktivitas kendaraan lantaran ramainya pengunjung. Atau Denpasar tempat ia tinggal.

Raka adalah salah satu seniman yang cukup berpengaruh di Bali. Ia adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Salah satu underbow atau organisasi sayap partai politik yang memiliki afiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang hingga saat ini keberadaanya dilarang di Indonesia.

Ia masuk Lekra karena menganggap Lekra bisa menjadi wadah tempat ia bersosialisasi bersama seniman. “Saya masuk Lekra tahunya saya lupa. Tempat pendaftarannya saat itu di sebelah timur Puri Satria,” tuturnya.

Seniman kelahiran Denpasar, tahun 1939 silam menceritakan awal mula tergabung dalam organisasi sayap PKI itu.

Raka sendiri, merupakan pelukis yang tumbuh dengan cara otodidak. Kemahirannya dalam melukis ia dapatkan dalam pergaulan bersama beberapa seniman di Denpasar.

Sejak tahun 1960, Raka memutuskan untuk berkeliling ke daerah Jawa. Tepatnya di Jogjakarta. “Saya di Jogja delapan bulan. Selama disana saya membuat sketsa. Banyak juga bergaul dengan seniman. Banyak ilmu,” kenangnya.

Selanjutnya, di tahun 1961. Raka merantau ke Jakarta. Di sana ia berkenalan dengan beberapa seniman dari berbagai daerah.

Hingga akhirnya dia masuk dalam satu sanggar seni yang ia sendiri lupa nama perkumpulan sanggar tersebut.

Sanggar itu kata dia berlokasi di Wilayah Jalan Kebon Manggis, Matraman Jakarta Timur. “Di sanggar itu saya bertemu dengan beberapa anggota Lekra. Salah satunya pelukis Batara Lubis.

Saya mulai kenal Lekra disana,” jelas pria yang telah dikaruniai empat anak dari pasangannya bernama Ni Made Ripek ini.

Banyak ilmu yang didapat selama satu tahun bernaung dalam sanggar seni tersebut. Salah satunya, Raka bisa membuat poster yang di Bali sendiri yang jarang bisa membuat poster.

Akhirnya ia memutuskan pulang dan tergabung di Lekra pada tahun 1963, dua tahun setelah keberadaan Lekra di Bali di tahun 1961 silam.

“Saat itu saya bergabung ke Lekra saat saya pulang ke sini (Bali),” bebernya. Selama merintis menjadi seniman,

dia sempat mendapat orderan membuat poster untuk kebutuhan acara Sidang Komite Eksekutif Konferensi Pengarang Asia-Afrika (SKE-KPAA) tahun 1963 silam.

Dua sastrawan muda Indonesia waktu itu, Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang menjadi panitia pelaksana.

“Orang Bali yang bisa membuat poster masih belum ada, kebetulan saya bisa, karena belajar dari saya merantau itu. Akhirnya saya diminta mengerjakan proyek membuat poster,” tuturnya.

Berbagai kegiatan ia lakukan, termasuk di Lekra itu. Saat ia menjadi anggota Lekra, kala itu dijabat Warjana, seniman asal Desa Budakeling, Karangasem.

Menjadi anggota Lekra, menurutnya, suatu kebanggaan, ini mengingat beberapa seniman ternama Indonesia yang menjadi panutan masuk dalam Lekra.

Ia pun tidak membayangkan, ketika organisasi yang berhubungan dengan PKI di tahun 1965 dibredel sampai ke akar-akarnya.

“Karena saya masuk di Lekra murni karena berkesenian. Kegiatannya murni seni, tidak ada yang membahas politik dan lainnya.

Kegiatan seperti pameran lukisan, pementasan drama modern juga terlaksana di Lekra,” terang seniman asal Banjar Titih, Denpasar ini.

Hingga akhirnya, ia dijemput paksa di rumahnya di Banjar Titih, Denpasar oleh pasukan militer sekitar siang hari untuk naik ke atas truk.

Raka tidak sendiri saat itu, tapi di sudah mendapati 12 rekannya yang juga tergabung dalam Lekra.

“Langsung dibawa menuju rumah tahanan. Dituduh menjadi anggota PKI. Saat itu dipenjara tempatnya di Pekambingan,” kenangnya lagi.

Selama menjadi tahanan politik (tapol), Raka termasuk orang yang paling beruntung. Karena kerap bisa bertemu keluarga.

Ini karena ia kerap kali diminta untuk membersihkan taman, hingga secara tidak langsung ada kedekatan antara dirinya dengan militer.

Namun dia menceritakan beberapa temannya yang sempat mengalami penyiksaan. “Saya menjadi tapol selama 12 tahun.

Tapol-tapol ini biasanya diminta untuk mengerjalan proyek-proyek jalan. Seperti di Jalan Sudirman itu, saya dulu ikut kerja,” kenangnya lagi.

Hingga akhirnya ia dibebaskan. “Tapi tanpa diadili, dan proses pembebasan selama 12 tahu di penjara juga hanya diikasi surat pernyataan kalau saya tidak terlibat dan tidak terbukti sebagai anggota PKI,” imbuhnya.

Semenjak bebas sebagai tapol, Raka sempat berhenti melukis. Dia mengaku sempat bekerja serabutan. Hingga akhirnya, keinginan melukisnya datang lagi setelah rasa traumanya hilang.

Dia menuturkan, gaya melukis saat ini dengan sebelum ia  ditahan berbeda. “Kalau dulu saya melukis, ada kritiknya. Lebih menceritakan kondisi sosial.

Tapi usai dipenjara, gaya lukisan saya berubah, lebih santai. Lebih kepada gaya keindahan tentang Bali. Tapi ada keinginan lagi untuk kembali melukis dengan gaya saya dulu,” tutupnya. (*)

 

 

 

 

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/