24 C
Jakarta
13 September 2024, 1:40 AM WIB

Jual Buah Lokal via Online, Siap Antar Langsung ke Pembeli

Dari 20-an pedagang buah di pasar Kidul, Bangli, hanya 8 yang tetap buka. Pedagang buah tak berani menjual buah import.

Mereka takut virus corona melekat di kulit buah. Pedagang kini beralih ke buah lokal. Pedagang pun memasarkan dengan cara diantar ke rumah.

 

IB INDRA PRASETIA, Bangli

SEKILAS pasar Kidul di pusat kota Bangli masih ramai. Namun, menurut salah satu pedagang buah, Ni Putu Eka, keramaian itu hanya didominasi pedagang dan supliyer yang keluar masuk pasar.

“Kalau pembeli sepi. Ini termasuk sepi,” ujar Eka yang jualan di tangga sebelah barat, pasar Kidul.  Lantaran sepi pembeli, ada pedagang yang sampai menutup lapaknya menggunakan terpal.

Sebagai pedagang buah, Eka merasakan pesaingnya kini hanya tinggal 7 yang tetap buka. “Dagang buah ada sekitar 20-an. Yang buka hanya 8, termasuk saya,” jelasnya.

Bahkan, Selasa (14/4) lalu lapak dagangannya tutup lebih awal. Sekitar pukul 12.30, lapaknya ditutup terpal. “Sudah tidak ada yang datang, makanya ditutup saja,” sahutnya.

Diakui, ada perbedaan drastis akibat Covid-19 ini. Pertama, pedagang takut menjual buah import. Begitu juga pembeli menghindari buah import.

“Tidak ada yang jual buah import, karena takut nanti kena virus dari luar,” ujarnya. Padahal, kata dia, buah import punya kelebihan bisa bertahan lama atau awet.

“Tapi pembeli juga takut beli buah import. Makanya dari puluhan pedagang buah, banyak yang tutup karena mereka selama ini jual import,” ungkapnya.

Disamping itu, penurunan pesanan terjadi akibat pembatasan upacara keagamaan akibat Covid-19.

“Sekarang upacara dibatasi. Nggak boleh besar-besar, itu juga yang menyebabkan pedagang buah banyak tutup,” terangnya.

Sebagai solusi, Eka dan Pagiswari memilih menjual buah lokal saja. “Kami pesan dari supliyer, ada yang bawakan ke sini. Kami juga cari di penanam buahnya,” jelasnya.

Meski beralih ke buah lokal, tampaknyam buah lokal ternyata mudah membusuk. “Pembusukan kelihatan dari warna kulitnya. Mungkin karena tidak isi pengawet lilin di kulitnya,” jelasnya.

Mengantisipasi supaya tidak cepat membusuk, pedagang asal Banjar Tegalalang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli itu jualan via online.

“Karena pembeli sepi ke pasar ini, saya pasarkan lewat Facebook, Instagram,” ujarnya. Dia juga berteman dengan banyak orang.

Sehingga pesannya dalam berjualan sampai ke pelannggan. “Kalau ada yang tertarik, saya bawakan langsung ke rumah pemesan,” jelasnya.

Ketika ada pesanan, Eka membawakan sendiri ke rumah pembeli naik motor Honda Vario. Sedangkan, adik sepupunya, Pagiswari berjaga di lapak pasar.

Selasa siang, sembari ngobrol dengan Jawa Pos Radar Bali, Eka bersiap membungkus pesanan manggis untuk dibawakan ke rumah pemesan di Jalan Merdeka, Kecamatan Bangli.

“Keluar ongkos bensin sedikit, untuk biaya mengirim. Yang penting habis saja dagangan. Supaya cepat laku dan uangnya bisa muter,” ujarnya.

Harga buah lokal yang ditawarkan bervariasi. Di antaranya manggis dan langsat masing-masing seharga Rp 8000-12.000 per kilo.

Kemudian rambutan seharga Rp 12.000-15.000. Lalu silik seharga Rp 10.000-12.000. Buah wani Rp 11-15.000. Dan salak gula pasir seharga Rp 20.000-22.000.

“Harga pakai rata-rata karena ada ukuran besar dan kecil. Jelas sekarang keuntungan turun. Tapi harus berusaha biar bisa muter modal,” pungkasnya. (*)

Dari 20-an pedagang buah di pasar Kidul, Bangli, hanya 8 yang tetap buka. Pedagang buah tak berani menjual buah import.

Mereka takut virus corona melekat di kulit buah. Pedagang kini beralih ke buah lokal. Pedagang pun memasarkan dengan cara diantar ke rumah.

 

IB INDRA PRASETIA, Bangli

SEKILAS pasar Kidul di pusat kota Bangli masih ramai. Namun, menurut salah satu pedagang buah, Ni Putu Eka, keramaian itu hanya didominasi pedagang dan supliyer yang keluar masuk pasar.

“Kalau pembeli sepi. Ini termasuk sepi,” ujar Eka yang jualan di tangga sebelah barat, pasar Kidul.  Lantaran sepi pembeli, ada pedagang yang sampai menutup lapaknya menggunakan terpal.

Sebagai pedagang buah, Eka merasakan pesaingnya kini hanya tinggal 7 yang tetap buka. “Dagang buah ada sekitar 20-an. Yang buka hanya 8, termasuk saya,” jelasnya.

Bahkan, Selasa (14/4) lalu lapak dagangannya tutup lebih awal. Sekitar pukul 12.30, lapaknya ditutup terpal. “Sudah tidak ada yang datang, makanya ditutup saja,” sahutnya.

Diakui, ada perbedaan drastis akibat Covid-19 ini. Pertama, pedagang takut menjual buah import. Begitu juga pembeli menghindari buah import.

“Tidak ada yang jual buah import, karena takut nanti kena virus dari luar,” ujarnya. Padahal, kata dia, buah import punya kelebihan bisa bertahan lama atau awet.

“Tapi pembeli juga takut beli buah import. Makanya dari puluhan pedagang buah, banyak yang tutup karena mereka selama ini jual import,” ungkapnya.

Disamping itu, penurunan pesanan terjadi akibat pembatasan upacara keagamaan akibat Covid-19.

“Sekarang upacara dibatasi. Nggak boleh besar-besar, itu juga yang menyebabkan pedagang buah banyak tutup,” terangnya.

Sebagai solusi, Eka dan Pagiswari memilih menjual buah lokal saja. “Kami pesan dari supliyer, ada yang bawakan ke sini. Kami juga cari di penanam buahnya,” jelasnya.

Meski beralih ke buah lokal, tampaknyam buah lokal ternyata mudah membusuk. “Pembusukan kelihatan dari warna kulitnya. Mungkin karena tidak isi pengawet lilin di kulitnya,” jelasnya.

Mengantisipasi supaya tidak cepat membusuk, pedagang asal Banjar Tegalalang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli itu jualan via online.

“Karena pembeli sepi ke pasar ini, saya pasarkan lewat Facebook, Instagram,” ujarnya. Dia juga berteman dengan banyak orang.

Sehingga pesannya dalam berjualan sampai ke pelannggan. “Kalau ada yang tertarik, saya bawakan langsung ke rumah pemesan,” jelasnya.

Ketika ada pesanan, Eka membawakan sendiri ke rumah pembeli naik motor Honda Vario. Sedangkan, adik sepupunya, Pagiswari berjaga di lapak pasar.

Selasa siang, sembari ngobrol dengan Jawa Pos Radar Bali, Eka bersiap membungkus pesanan manggis untuk dibawakan ke rumah pemesan di Jalan Merdeka, Kecamatan Bangli.

“Keluar ongkos bensin sedikit, untuk biaya mengirim. Yang penting habis saja dagangan. Supaya cepat laku dan uangnya bisa muter,” ujarnya.

Harga buah lokal yang ditawarkan bervariasi. Di antaranya manggis dan langsat masing-masing seharga Rp 8000-12.000 per kilo.

Kemudian rambutan seharga Rp 12.000-15.000. Lalu silik seharga Rp 10.000-12.000. Buah wani Rp 11-15.000. Dan salak gula pasir seharga Rp 20.000-22.000.

“Harga pakai rata-rata karena ada ukuran besar dan kecil. Jelas sekarang keuntungan turun. Tapi harus berusaha biar bisa muter modal,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/