26.3 C
Jakarta
24 November 2024, 22:16 PM WIB

Perlu Revitalisasi Biar Metaksu Lagi

Kehidupan di wilayah utara Bali yang begitu egaliter mempengaruhi seni ukiran yang ada di Buleleng.

Namun, seiring perubahan zaman, lambat laun, kini mulai kehilangan ciri khasnya.

 

I WAYAN WIDYANTARA, Singaraja

DALAM penuturannya kepada koran ini, Wayan Sudiarta, 48, yang asal Ubud dan Ketut Sopir, 53, asal Guwang, Gianyar,  kembali mengurai cerita.

Ukiran di Buleleng, menurut ahli sejarah, Pageh, pada tahun 1917 di Bali ada gempa. Saat itu, Belanda sudah masuk ke Buleleng.

Nah, saat itu Pura Meduwe Karang itu rusak akibat gempa tersebut. Kemudian, pihak pemerintah waktu itu berinisiatif membongkar pura tersebut.

Waktu itu, orang Buleleng melihat warga Belanda yang menaiki sepeda. Saat itu, sepeda jadi barang yang sangat berharga.

Orang Buleleng dan Belanda yang memegang pemerintahan saat itu mengkolaborasikan jadi sebuah ukiran orang Belanda naik sepeda.

“Karena penduduk Buleleng egaliter, jadi nyambung dengan pemikiran orang Belanda,” tuturnya.

Sementara di Pura Dalem Jagaraga, Sopir mengatakan karena merupakan markas perjuangan maka diukir relief-relief Belanda naik mobil, minum bir, dan lainnya.

“Saya berpikir, apakah itu berkaitan menjadi markas atau karena egaliter itu tadi. Ketika dipengaruhi oleh barat, sekuler dan sakral itu tidak ada bedanya,” ujarnya.

Dalam pengamatan Sopir, pengaruh ini muncul karena pihak Belanda sebagai pemegang kekuasaan. Siapa yang berkuasa, maka akan mewariskan ilmunya.

Kekuasaan dan ilmu pengetahuan saling berkaitan. Yang memiliki kekuasaan berwenang menentukan dan yang memiliki ilmu tinggi juga menguasai.

Dan orang Bali sendiri, apalagi di Buleleng yang kehidupannya sangat egaliter ini, apabila muncul sesuatu yang baru akan sangat diterima.

Bila dilihat jejaknya, generasi muda Buleleng, dengan adanya sanggar-sanggar, sekarang banyak yang belajar megamel atau bermain gamelan Bali.

Dulu, di era 1980-an, sangat kecil tertarik dengan tradisi tersebut. Mereka cenderung tertarik dengan kesenian modern.

Sekarang, Buleleng menerima pola-pola yang ada di Bali selatan, perubahan ciri khas ukiran Buleleng mulai terlihat.

Untuk itu, Sopir melihat perlu membangkitkan spirit Buleleng itu kembali, biar metaksu lagi,  agar tidak meninggalkan ciri khasnya.

“Spirit orang Buleleng mestinya digali kembali, untuk tetap ada ruang yang berciri khas Buleleng,” harapnya.

Kalau bicara spirit orang Buleleng, seperti dituturkan juga  Wayan Sudiarta, memang harus membangun ruang keterbukaan.

Spirit itu, yang tampak dilihatnya adalah soal  kelugasan dalam pergaulan, dinamis dan punya keberanian lebih untuk melintasi batasan-batasan yang ada sebelumnya.

“Selain sesuatu yang tersedia oleh alam, ini juga soal lingkungan. Kondisi lingkungan di Buleleng dengan geografis segara-gunung ini, secara kosmologi tidak dapat dihindari bahwa itu membentuk alam bawah sadar orang yang ada di Buleleng dalam berkarya,” tuturnya.

Sudiarta mencoba membandingkan ornamen ukiran yang ada di Bali selatan dan Buleleng.

Dalam pengamatannya, di Bali selatan ukirannya lebih melengkung. Sedangkan ornamen di Bali utara, tidak terlalu melengkung.

”Ini yang membuat ada rasa “jering”, cita rasanya. Seperti menyatakan diri, sesuai dengan karakter orang Buleleng,” ujarnya, bernada heran.

Yang jadi kelemahan di Buleleng dan di kabupaten lainnya di Bali, selalu melihat bila tidak fungsional kembali, mengapa mesti dilanjutkan.

Padahal kalau bicara tentang unsur-unsur kebudayaan tradisional, itu harus ada keputusan ideologis.

“Jangan menjadi pragmatis. Saat menjaga unsur budaya, identitas dan lainnya, harus didasarkan keputusan ideologis,” terangnya.

Bila menyerah pada unsur pragmatis, semua orang akan belajar rakit handphone karena dianggap paling menjanjikan.

“Makanya, di sektor inilah, Negara dan pemerintah harus menyadari, bahwa ada investasi besar yang harus dilakukan kalau mau bicara ke depan. Kalau hanya melihat untung jangka pendeknya, ini akan berbahaya,” terangnya.

Puri di Buleleng juga diharapkan mengambil peran, sambung Sopir lagi. Kalau di Puri di Ubud, membina para senimannya.

Sementara di Buleleng, puri tidak mengambil peran lagi. “Padahal dulu, pemerintah adalah puri, sekarang Puri malah terkesan cuek,” ujarnya.

Ia melihat, Puri di Buleleng ini tidak lagi mau mempertahankan tatanan yang dulunya dimiliki oleh Buleleng.

Sementara di Bali Selatan, selain pura, keberadaan puri cukup jadi sebuah orientasi masyarakat yang membuat praktik-praktik kebudayaan tradisional tersebut masih terjaga.

Sopir berharap ke depan untuk mempertahankan spirit Buleleng ini tidak cukup hanya dari perorangan saja.

Mestinya adanya pengambil pemangku kebijakan yang ikut campur. “Pemerintah harus aktif juga, dan melakukan kerjasama dengan ahli-ahli budaya. Sehingga bagaimana sebenarnya di Buleleng itu dikembangkan oleh pemerintah,” terangnya.

Misalnya, mulai dari kantor-kantor pemerintahan. Mestinya harus bernafasan kan Buleleng, dan masyarakat biasanya akan cenderung mengikutinya.

Sebagai orang yang berkecimpung di akademis, mengaku sudah memberikan masukan terkait meng-cover Buleleng sebagai mata kuliah. “Kami sudah masuk ke materi lokal, dari sejarah, ragam hias dan lainnya. Namun belum bisa meng-cover sepenuhnya,” tuturnya.

Namun sekarang ada kesulitan, karena yang menulis ragam hias berasal dari Bali selatan. Otomatis, contoh-contohnya hanya dari Bali selatan saja. Seolah, yang dari Bali selatan ini tidak peduli bahwa ada yang lain.

“Saya kemarin membina anak-anak di lomba PKB. Jurinya dari ISI yang merupakan warga dari Bali selatan. Mereka hanya melihat ukiran di sekitar itu (Bali selatan). Dan Ukiran Buleleng, sama sekali tidak dilihat atau tidak tahu ada ukiran seperti ini di Buleleng,” ujarnya.

Untuk itu, Sopir melihat, lomba kesenian seperti ini sesungguhnya merugikan. Kalau pemerintah mau, saran Sopir, dibuat parade saja.

Sementara itu, Sudiarta mengatakan sudah ada keinginan masyarakat untuk mempertahankan warisan budaya, namun belum diterjemahkan dalam bentuk strategis yang terbaik dan terjadi dalam waktu yang lebih cepat.

“Umur kita terbatas. Pelaku itu terbatas. Sementara informasi dan pengetahuan baru tersebut jauh lebih deras, dibandingkan tumbuhnya kesadaran untuk menjaga tradisi dulu. Untuk itu butuh strategis yang lebih baik,” katanya.

Untuk menumbuhkan dan menguatkan kembali terhadap nilai-nilai yang mentradisi itu lebih cepat terjadi, tahun lalu (2016), Sudiarta mendengar wacana satu area di Buleleng akan dibuatkan ruangan yang tampak nafas arsitektur tradisional Buleleng.

“Kalau sudah dikurung dengan proyek, harus dilakukan. Apalagi sekarang, pembangunan di pura-pura di seluruh wilayah, tidak ada yang lepas dari pemerintah.

Dari sumbangan misalnya. Barang kali dari sini perlu supervisi desain dari pemerintah agar tidak dilepas begitu saja,” ujarnya.

Selain itu, juga perlu kampanye kesadaran bahwa kita punya sesuatu yang perlu dijaga. Seperti beberapa kawasan wisata yang perlu dipermak agar memiliki identitas daerah tersebut.

Kehidupan di wilayah utara Bali yang begitu egaliter mempengaruhi seni ukiran yang ada di Buleleng.

Namun, seiring perubahan zaman, lambat laun, kini mulai kehilangan ciri khasnya.

 

I WAYAN WIDYANTARA, Singaraja

DALAM penuturannya kepada koran ini, Wayan Sudiarta, 48, yang asal Ubud dan Ketut Sopir, 53, asal Guwang, Gianyar,  kembali mengurai cerita.

Ukiran di Buleleng, menurut ahli sejarah, Pageh, pada tahun 1917 di Bali ada gempa. Saat itu, Belanda sudah masuk ke Buleleng.

Nah, saat itu Pura Meduwe Karang itu rusak akibat gempa tersebut. Kemudian, pihak pemerintah waktu itu berinisiatif membongkar pura tersebut.

Waktu itu, orang Buleleng melihat warga Belanda yang menaiki sepeda. Saat itu, sepeda jadi barang yang sangat berharga.

Orang Buleleng dan Belanda yang memegang pemerintahan saat itu mengkolaborasikan jadi sebuah ukiran orang Belanda naik sepeda.

“Karena penduduk Buleleng egaliter, jadi nyambung dengan pemikiran orang Belanda,” tuturnya.

Sementara di Pura Dalem Jagaraga, Sopir mengatakan karena merupakan markas perjuangan maka diukir relief-relief Belanda naik mobil, minum bir, dan lainnya.

“Saya berpikir, apakah itu berkaitan menjadi markas atau karena egaliter itu tadi. Ketika dipengaruhi oleh barat, sekuler dan sakral itu tidak ada bedanya,” ujarnya.

Dalam pengamatan Sopir, pengaruh ini muncul karena pihak Belanda sebagai pemegang kekuasaan. Siapa yang berkuasa, maka akan mewariskan ilmunya.

Kekuasaan dan ilmu pengetahuan saling berkaitan. Yang memiliki kekuasaan berwenang menentukan dan yang memiliki ilmu tinggi juga menguasai.

Dan orang Bali sendiri, apalagi di Buleleng yang kehidupannya sangat egaliter ini, apabila muncul sesuatu yang baru akan sangat diterima.

Bila dilihat jejaknya, generasi muda Buleleng, dengan adanya sanggar-sanggar, sekarang banyak yang belajar megamel atau bermain gamelan Bali.

Dulu, di era 1980-an, sangat kecil tertarik dengan tradisi tersebut. Mereka cenderung tertarik dengan kesenian modern.

Sekarang, Buleleng menerima pola-pola yang ada di Bali selatan, perubahan ciri khas ukiran Buleleng mulai terlihat.

Untuk itu, Sopir melihat perlu membangkitkan spirit Buleleng itu kembali, biar metaksu lagi,  agar tidak meninggalkan ciri khasnya.

“Spirit orang Buleleng mestinya digali kembali, untuk tetap ada ruang yang berciri khas Buleleng,” harapnya.

Kalau bicara spirit orang Buleleng, seperti dituturkan juga  Wayan Sudiarta, memang harus membangun ruang keterbukaan.

Spirit itu, yang tampak dilihatnya adalah soal  kelugasan dalam pergaulan, dinamis dan punya keberanian lebih untuk melintasi batasan-batasan yang ada sebelumnya.

“Selain sesuatu yang tersedia oleh alam, ini juga soal lingkungan. Kondisi lingkungan di Buleleng dengan geografis segara-gunung ini, secara kosmologi tidak dapat dihindari bahwa itu membentuk alam bawah sadar orang yang ada di Buleleng dalam berkarya,” tuturnya.

Sudiarta mencoba membandingkan ornamen ukiran yang ada di Bali selatan dan Buleleng.

Dalam pengamatannya, di Bali selatan ukirannya lebih melengkung. Sedangkan ornamen di Bali utara, tidak terlalu melengkung.

”Ini yang membuat ada rasa “jering”, cita rasanya. Seperti menyatakan diri, sesuai dengan karakter orang Buleleng,” ujarnya, bernada heran.

Yang jadi kelemahan di Buleleng dan di kabupaten lainnya di Bali, selalu melihat bila tidak fungsional kembali, mengapa mesti dilanjutkan.

Padahal kalau bicara tentang unsur-unsur kebudayaan tradisional, itu harus ada keputusan ideologis.

“Jangan menjadi pragmatis. Saat menjaga unsur budaya, identitas dan lainnya, harus didasarkan keputusan ideologis,” terangnya.

Bila menyerah pada unsur pragmatis, semua orang akan belajar rakit handphone karena dianggap paling menjanjikan.

“Makanya, di sektor inilah, Negara dan pemerintah harus menyadari, bahwa ada investasi besar yang harus dilakukan kalau mau bicara ke depan. Kalau hanya melihat untung jangka pendeknya, ini akan berbahaya,” terangnya.

Puri di Buleleng juga diharapkan mengambil peran, sambung Sopir lagi. Kalau di Puri di Ubud, membina para senimannya.

Sementara di Buleleng, puri tidak mengambil peran lagi. “Padahal dulu, pemerintah adalah puri, sekarang Puri malah terkesan cuek,” ujarnya.

Ia melihat, Puri di Buleleng ini tidak lagi mau mempertahankan tatanan yang dulunya dimiliki oleh Buleleng.

Sementara di Bali Selatan, selain pura, keberadaan puri cukup jadi sebuah orientasi masyarakat yang membuat praktik-praktik kebudayaan tradisional tersebut masih terjaga.

Sopir berharap ke depan untuk mempertahankan spirit Buleleng ini tidak cukup hanya dari perorangan saja.

Mestinya adanya pengambil pemangku kebijakan yang ikut campur. “Pemerintah harus aktif juga, dan melakukan kerjasama dengan ahli-ahli budaya. Sehingga bagaimana sebenarnya di Buleleng itu dikembangkan oleh pemerintah,” terangnya.

Misalnya, mulai dari kantor-kantor pemerintahan. Mestinya harus bernafasan kan Buleleng, dan masyarakat biasanya akan cenderung mengikutinya.

Sebagai orang yang berkecimpung di akademis, mengaku sudah memberikan masukan terkait meng-cover Buleleng sebagai mata kuliah. “Kami sudah masuk ke materi lokal, dari sejarah, ragam hias dan lainnya. Namun belum bisa meng-cover sepenuhnya,” tuturnya.

Namun sekarang ada kesulitan, karena yang menulis ragam hias berasal dari Bali selatan. Otomatis, contoh-contohnya hanya dari Bali selatan saja. Seolah, yang dari Bali selatan ini tidak peduli bahwa ada yang lain.

“Saya kemarin membina anak-anak di lomba PKB. Jurinya dari ISI yang merupakan warga dari Bali selatan. Mereka hanya melihat ukiran di sekitar itu (Bali selatan). Dan Ukiran Buleleng, sama sekali tidak dilihat atau tidak tahu ada ukiran seperti ini di Buleleng,” ujarnya.

Untuk itu, Sopir melihat, lomba kesenian seperti ini sesungguhnya merugikan. Kalau pemerintah mau, saran Sopir, dibuat parade saja.

Sementara itu, Sudiarta mengatakan sudah ada keinginan masyarakat untuk mempertahankan warisan budaya, namun belum diterjemahkan dalam bentuk strategis yang terbaik dan terjadi dalam waktu yang lebih cepat.

“Umur kita terbatas. Pelaku itu terbatas. Sementara informasi dan pengetahuan baru tersebut jauh lebih deras, dibandingkan tumbuhnya kesadaran untuk menjaga tradisi dulu. Untuk itu butuh strategis yang lebih baik,” katanya.

Untuk menumbuhkan dan menguatkan kembali terhadap nilai-nilai yang mentradisi itu lebih cepat terjadi, tahun lalu (2016), Sudiarta mendengar wacana satu area di Buleleng akan dibuatkan ruangan yang tampak nafas arsitektur tradisional Buleleng.

“Kalau sudah dikurung dengan proyek, harus dilakukan. Apalagi sekarang, pembangunan di pura-pura di seluruh wilayah, tidak ada yang lepas dari pemerintah.

Dari sumbangan misalnya. Barang kali dari sini perlu supervisi desain dari pemerintah agar tidak dilepas begitu saja,” ujarnya.

Selain itu, juga perlu kampanye kesadaran bahwa kita punya sesuatu yang perlu dijaga. Seperti beberapa kawasan wisata yang perlu dipermak agar memiliki identitas daerah tersebut.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/