27.3 C
Jakarta
30 April 2024, 8:54 AM WIB

Diolah Jadi Bulu Barong, Solusi Cegah Sedimentasi Perairan Tulamben

Kekayaan lokal yang dimiliki masyarakat Bali tak terhitung banyaknya. Salah satunya adalah kreativitas merajut gebang untuk buah tangan. Butuh modal untuk mengembangkan kerajinan ini biar bertambah besar.

 

 

WAYAN WIDYANTARA, Amlapura

SABTU siang (17/11) kemarin, sinar panas matahari menembus kulit. Pohon rindang menjadi pilihan tempat dan paling nyaman untuk menghindari panas yang menyengat.

Hanya saja, pohon besar dan hijau sangat sulit ditemui. Ya, tempat panas dan kering tersebut berada di Desa Dukuh, Karangasem. Sebuah desa yang dekat dengan Gunung Agung.

Untuk mencapai desa tersebut sebenarnya tidak sulit. Jalanan beraspal, meski tidak terlalu rata. Ada pula jalan berbatu. Sehingga untuk menempuhnya, menjadi tantangan tersendiri.

Setiba di desa tersebut, ibu-ibu nampak sedang membuat sebuah kerajinan. Mereka duduk merajut kerajinan dari pohon yang bernama gebang.

Gebang adalah nama lokal yang disematkan oleh warga Dukuh dan sekitarnya untuk tumbuhan dari jenis Agave sisalana Perrine.

Menurut warga bernama Ketut Sila, pohon gebang sudah ada sekitar 20 tahun silam di desanya, namun belakangan ini sangat menipis keberadaanya.

Kini, masyarakat lokal di Desa Dukuh menanam gebang dan mengolahnya menjadi gembrang untuk digunakan sebagai bahan dekorasi penjor maupun pembuatan kerajinan barong.

“Dulu sempat hilang, namun kini mulai di tanam lagi. Warga dulu menganggapnya sebagai gulma (tanaman pengganggu). Namun kini mereka sudah tahu manfaatnya,” ujarnya.

Pohon gebang tersebut digunakan untuk membuat sejumlah kerajinan, seperti bulu barong dan juga kerajinan lainnya. Seperti membuat alas meja dan sebagainya.

Para pekerjanya, adalah ibu-ibu yang umurnya rata-rata di atas 30 puluh tahun. Kelompok Tani Ternak Darma Kerti, begitulah nama kelompok yang terpajang di atas bangunan terbuka seluas 4×6 meter.

Bangunan tersebut sangat sederhana. Hanya ada 4 penyangga, atap asbes dan lantai yang belum dikeramik.

Disanalah ibu-ibu tersebut membuat kerajinan tersebut. Dengan beralasan karpet dari anyaman bambu, ibu-ibu duduk bersila sambil mengayam dan mengobrol.

Tak jauh tempat itu, terlihat juga ibu-ibu sedang mengolah pohon gebang. Ia mengolah daun-daun pohon gebang untuk menjadi bahan utama dan satu-satunya sebagai kerajinan yang disebutkan diatas.

Cara mengolah pun sangat sederhana. Daun tersebut dijepit kuat-kuat pada sebuah bambu, kemudian ditarik kuat dengan tangan. Alhasil, jadilah bentuk seperti bulu.

“Setelah ini, saya jemur satu hari dulu. Biar besok bisa dirajut,” ungkap Ni Luh Sikiasih, ibu-ibu perajin pohon gebang tersebut.

Sedangkan limbah dari pohon gebang tersebut, digunakan untuk pupuk. Nah, ibu-ibu di desa tersebut mengaku diberikan upah oleh pemilik lahan untuk setiap kerajinan yang dibuatnya.

Per meter pohon gebang yang sudah jadi, dihargai Rp 2000 rupiah. Dalam sehari, mereka bisa menggarap sampai 20 meter pohon gebang yang sudah di proses.

Selain membantu kehidupan perekonomian di Desa Dukuh, ternyata pohon gebang juga memiliki fungsi yang berguna untuk terumbu karang. Kok bisa?

Conservation Internasional Indonesia (CI) memilki program berkonsep nyegara gunung. Namun sebelum membahas salah satu program nyegara gunung, patut diketahui kalau CI

bekerja sama dengan para pihak untuk melestarikan alam yang menyediakan air bersih, pangan, dan mata pencaharian, sumber kehidupan bagi manusia.

Didirikan pada 1987 dan berkantor pusat di Washington DC, CI bekerja di lebih dari 30 negara pada enam benua untuk mewujudkan dunia yang sehat dan sejahtera untuk kita semua.

CI bekerja di Indonesia sejak tahun 1991 bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),

dan Pemerintah Daerah setempat untuk mendukung masyarakat madani yang sejahtera melalui upaya perlindungan alam,

dukungan sistem produksi yang berkelanjutan, penguatan tata kelola yang efektif, dan mekanisme pendanaan lingkungan berkelanjutan.

CI bekerja di empat prioritas wilayah yaitu Sumatra Utara, Jawa Barat, Bali, dan Papua Barat serta menginisiasi sejumlah kegiatan strategis di tingkat nasional.

Dalam kaitannya dengan pohon gebang untuk melindungi terumbu karang, di perairan Tulamben, Adi Mahardika dari pihak CI Indonesia menjelaskan,

setahun belakangan ini, mereka sedang mengadvokasi tentang kerusakan terumbu karang yang disebabkan karena sedimentasi dari gunung.

Pada musim hujan, sedimentasi terjadi dari Tukad Maong dari desa Dukuh Dekat Gunung Agung menuju Perairan Tulamben.

Hal ini membuat perairan tulamben jadi kotor dan membahayakan terumbu karang di Tulamben yang sangat terkenal di dunia ini.

“Penyebabnya karena hutan di Desa Dukuh dalam keadaan kritis,” ujar pria menangani project officer dari “Mount Agung Landscape Reforestation Program” yang diluncurkan sejak November 2017.

Untuk itu, pihak CI, melalui program reforestasi Bentang Alam Gunung Agung menjadi program kehutanan pertama dari Conservation International (CI) Indonesia program Bali.

Semakin melengkapi program Bali dengan filosofi “Nyegara Gunung”, mereka  membuat terobosan dengan warga di Desa Dukuh.

Salah satunya dengan menanam pohon gebang yang juga memiliki fungsi untuk kehidupan perekonomian masyarakat.

Selain itu, saat ini pihaknya juga sedang berjuang agar Desa Dukuh dapat mengelola hutan desa yang luasnya mencapai 680 hektar.

Jika status hutan desa dapat di kelola warga di bawah program Perhutanan Sosial (Perhutanan Sosial), pihak CI meyakini hal tersebut dapat bermanfaat bagi perairan Tulamben dengan terumbu karangnya yang indah.

Sebab, dapat menghalang sedimen dan sampah  yang datang dari gunung ke laut dengan penghijauan dan sebagainya yang ada di pegunungan. (*).

 

Kekayaan lokal yang dimiliki masyarakat Bali tak terhitung banyaknya. Salah satunya adalah kreativitas merajut gebang untuk buah tangan. Butuh modal untuk mengembangkan kerajinan ini biar bertambah besar.

 

 

WAYAN WIDYANTARA, Amlapura

SABTU siang (17/11) kemarin, sinar panas matahari menembus kulit. Pohon rindang menjadi pilihan tempat dan paling nyaman untuk menghindari panas yang menyengat.

Hanya saja, pohon besar dan hijau sangat sulit ditemui. Ya, tempat panas dan kering tersebut berada di Desa Dukuh, Karangasem. Sebuah desa yang dekat dengan Gunung Agung.

Untuk mencapai desa tersebut sebenarnya tidak sulit. Jalanan beraspal, meski tidak terlalu rata. Ada pula jalan berbatu. Sehingga untuk menempuhnya, menjadi tantangan tersendiri.

Setiba di desa tersebut, ibu-ibu nampak sedang membuat sebuah kerajinan. Mereka duduk merajut kerajinan dari pohon yang bernama gebang.

Gebang adalah nama lokal yang disematkan oleh warga Dukuh dan sekitarnya untuk tumbuhan dari jenis Agave sisalana Perrine.

Menurut warga bernama Ketut Sila, pohon gebang sudah ada sekitar 20 tahun silam di desanya, namun belakangan ini sangat menipis keberadaanya.

Kini, masyarakat lokal di Desa Dukuh menanam gebang dan mengolahnya menjadi gembrang untuk digunakan sebagai bahan dekorasi penjor maupun pembuatan kerajinan barong.

“Dulu sempat hilang, namun kini mulai di tanam lagi. Warga dulu menganggapnya sebagai gulma (tanaman pengganggu). Namun kini mereka sudah tahu manfaatnya,” ujarnya.

Pohon gebang tersebut digunakan untuk membuat sejumlah kerajinan, seperti bulu barong dan juga kerajinan lainnya. Seperti membuat alas meja dan sebagainya.

Para pekerjanya, adalah ibu-ibu yang umurnya rata-rata di atas 30 puluh tahun. Kelompok Tani Ternak Darma Kerti, begitulah nama kelompok yang terpajang di atas bangunan terbuka seluas 4×6 meter.

Bangunan tersebut sangat sederhana. Hanya ada 4 penyangga, atap asbes dan lantai yang belum dikeramik.

Disanalah ibu-ibu tersebut membuat kerajinan tersebut. Dengan beralasan karpet dari anyaman bambu, ibu-ibu duduk bersila sambil mengayam dan mengobrol.

Tak jauh tempat itu, terlihat juga ibu-ibu sedang mengolah pohon gebang. Ia mengolah daun-daun pohon gebang untuk menjadi bahan utama dan satu-satunya sebagai kerajinan yang disebutkan diatas.

Cara mengolah pun sangat sederhana. Daun tersebut dijepit kuat-kuat pada sebuah bambu, kemudian ditarik kuat dengan tangan. Alhasil, jadilah bentuk seperti bulu.

“Setelah ini, saya jemur satu hari dulu. Biar besok bisa dirajut,” ungkap Ni Luh Sikiasih, ibu-ibu perajin pohon gebang tersebut.

Sedangkan limbah dari pohon gebang tersebut, digunakan untuk pupuk. Nah, ibu-ibu di desa tersebut mengaku diberikan upah oleh pemilik lahan untuk setiap kerajinan yang dibuatnya.

Per meter pohon gebang yang sudah jadi, dihargai Rp 2000 rupiah. Dalam sehari, mereka bisa menggarap sampai 20 meter pohon gebang yang sudah di proses.

Selain membantu kehidupan perekonomian di Desa Dukuh, ternyata pohon gebang juga memiliki fungsi yang berguna untuk terumbu karang. Kok bisa?

Conservation Internasional Indonesia (CI) memilki program berkonsep nyegara gunung. Namun sebelum membahas salah satu program nyegara gunung, patut diketahui kalau CI

bekerja sama dengan para pihak untuk melestarikan alam yang menyediakan air bersih, pangan, dan mata pencaharian, sumber kehidupan bagi manusia.

Didirikan pada 1987 dan berkantor pusat di Washington DC, CI bekerja di lebih dari 30 negara pada enam benua untuk mewujudkan dunia yang sehat dan sejahtera untuk kita semua.

CI bekerja di Indonesia sejak tahun 1991 bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),

dan Pemerintah Daerah setempat untuk mendukung masyarakat madani yang sejahtera melalui upaya perlindungan alam,

dukungan sistem produksi yang berkelanjutan, penguatan tata kelola yang efektif, dan mekanisme pendanaan lingkungan berkelanjutan.

CI bekerja di empat prioritas wilayah yaitu Sumatra Utara, Jawa Barat, Bali, dan Papua Barat serta menginisiasi sejumlah kegiatan strategis di tingkat nasional.

Dalam kaitannya dengan pohon gebang untuk melindungi terumbu karang, di perairan Tulamben, Adi Mahardika dari pihak CI Indonesia menjelaskan,

setahun belakangan ini, mereka sedang mengadvokasi tentang kerusakan terumbu karang yang disebabkan karena sedimentasi dari gunung.

Pada musim hujan, sedimentasi terjadi dari Tukad Maong dari desa Dukuh Dekat Gunung Agung menuju Perairan Tulamben.

Hal ini membuat perairan tulamben jadi kotor dan membahayakan terumbu karang di Tulamben yang sangat terkenal di dunia ini.

“Penyebabnya karena hutan di Desa Dukuh dalam keadaan kritis,” ujar pria menangani project officer dari “Mount Agung Landscape Reforestation Program” yang diluncurkan sejak November 2017.

Untuk itu, pihak CI, melalui program reforestasi Bentang Alam Gunung Agung menjadi program kehutanan pertama dari Conservation International (CI) Indonesia program Bali.

Semakin melengkapi program Bali dengan filosofi “Nyegara Gunung”, mereka  membuat terobosan dengan warga di Desa Dukuh.

Salah satunya dengan menanam pohon gebang yang juga memiliki fungsi untuk kehidupan perekonomian masyarakat.

Selain itu, saat ini pihaknya juga sedang berjuang agar Desa Dukuh dapat mengelola hutan desa yang luasnya mencapai 680 hektar.

Jika status hutan desa dapat di kelola warga di bawah program Perhutanan Sosial (Perhutanan Sosial), pihak CI meyakini hal tersebut dapat bermanfaat bagi perairan Tulamben dengan terumbu karangnya yang indah.

Sebab, dapat menghalang sedimen dan sampah  yang datang dari gunung ke laut dengan penghijauan dan sebagainya yang ada di pegunungan. (*).

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/