28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 3:54 AM WIB

Antarkerajaan Bersaing Berebut Pengaruh, Satu Budak Ditukar Dua Pistol

PERNYATAAN mencengangkan disampaikan sejarawan Universitas Udayana (Unud) Prof. Dr. I Gde Parimartha, MA.

Dari penelusurannya berdasar sejumlah sumber, budak juga ditukar dengan senjata api. Harga seorang budak saat itu bisa ditukar dengan dua pucuk senjata api atau pistol.

Barter budak dengan senjata api ini dikarenakan raja-raja pada waktu itu masih bersaing. Antara raja satu dengan yang lain saling berebut kekuasaan dan pengaruh.

Tak heran antarkerajaan kerap mesiat atau perang. Masing-masing kerajaan merasa perlu memperkuat diri. Para raja merasa perlu menambah amunisi.

Salah satunya dengan senjata api buatan luar negeri. “Di situlah budak menjadi berguna, dan perdagangan budak ramai. Jadi, budak ini berharga. Sehingga senjata ditukar dengan budak,” bebernya.

Guru besar Unud itu menerangkan, budak yang didatangkan dari Bali kemudian dikirim ke Batavia (sekarang Jakarta) dan sebagian Sumatra.

“Makanya di Jakarta ada kampung Bali karena dulunya berasal dari orang-orang Bali,” imbuh pria 76 tahun itu.

Sebelum ditemukan mesin seperti sekarang, manusia memiliki nilai tinggi. Budak juga menjadi simbol status sosial orang asing di Indonesia.

Semakin banyak budak, maka dianggap semakin kaya. Manusia juga diibaratkan barang yang bisa diperjualbelikan sesuai kehendak tuannya.

Bahkan, kerajaan-kerajaan saat itu juga banyak memiliki budak. Kerajaan yang bersifat feodal berusaha menghegemoni masyarakat dengan jargon raja Sang Amurwa Rat yang artinya raja berkuasa atas dunia dan manusianya.

Hal itu membuat raja bebas melakukan apa saja. “Waktu itu belum ada hukum kemanusiaan yang meluas seperti sekarang.

Yang merasa menjadi raja gede bayune, mekejang dadi (merasa hebat, semua boleh dilakukan). Yen sing nuutan, pelih ye (kalau tidak mau menurut, maka disalahkan),” tukasnya.

Karena itu, ketika ada penduduk yang tidak memiliki ahli waris, semua kekayaan seperti tanah bisa menjadi hak milik kerajaan.

Tidak hanya tanah, manusianya juga bisa dijual. Jika manusianya bagus atau memiliki kelebihan seperti menari, menabuh gamelan, dan pandai metutur (bercerita), maka dipelihara di kerajaan.

Orang tersebut kemudian dimanfaatkan untuk mengajar di kerajaan. Di Jawa, pengabdi kerajaan seperti ini disebut abdi dalem.

“Makanya, kerajaan juga disebut sebagai pusat kebudayaan karena digunakan untuk belajar berbagai macam kegiatan,” jelas akademisi asal Karangasem, itu.

Para budak ini biasanya diambil dari kerajaan yang kalah perang. Bisa juga dari rakyat yang lacur (miskin) dan tidak memiliki keterampilan apapun. Para budak ini kemudian dikirim ke luar Bali.

Orang Belanda disebut lebih suka budak dari Bali karena sifat orang Bali lebih setia dan taat pada tuannya. Di kalangan orang-orang Eropa budak dari Bali cukup terkenal.

Budak laki-lakinya dikenal memiliki kesetiaan yang besar dan keinginan belajar yang tinggi. Sementara budak perempuan Bali dikenal sebagai pengasuh yang baik, serta pandai dalam melakukan perawatan kesehatan.

Kelebihan krama Bali ini malah jadi bumerang di zaman penjajahan. “Orang Bali itu selain berbudaya, juga menjunjung tinggi norma dan etika. Selalu hormat dengan orang lain.

Apalagi dengan atasannya. Tidak hanya disukai Belanda, orang Bali  juga disukai banyak orang di dunia,” urai pria kelahiran 31 Desember 1943 itu.  (maulana sandijaya/made dwija putra/juliadi/ni kadek novi febriani/pit)

PERNYATAAN mencengangkan disampaikan sejarawan Universitas Udayana (Unud) Prof. Dr. I Gde Parimartha, MA.

Dari penelusurannya berdasar sejumlah sumber, budak juga ditukar dengan senjata api. Harga seorang budak saat itu bisa ditukar dengan dua pucuk senjata api atau pistol.

Barter budak dengan senjata api ini dikarenakan raja-raja pada waktu itu masih bersaing. Antara raja satu dengan yang lain saling berebut kekuasaan dan pengaruh.

Tak heran antarkerajaan kerap mesiat atau perang. Masing-masing kerajaan merasa perlu memperkuat diri. Para raja merasa perlu menambah amunisi.

Salah satunya dengan senjata api buatan luar negeri. “Di situlah budak menjadi berguna, dan perdagangan budak ramai. Jadi, budak ini berharga. Sehingga senjata ditukar dengan budak,” bebernya.

Guru besar Unud itu menerangkan, budak yang didatangkan dari Bali kemudian dikirim ke Batavia (sekarang Jakarta) dan sebagian Sumatra.

“Makanya di Jakarta ada kampung Bali karena dulunya berasal dari orang-orang Bali,” imbuh pria 76 tahun itu.

Sebelum ditemukan mesin seperti sekarang, manusia memiliki nilai tinggi. Budak juga menjadi simbol status sosial orang asing di Indonesia.

Semakin banyak budak, maka dianggap semakin kaya. Manusia juga diibaratkan barang yang bisa diperjualbelikan sesuai kehendak tuannya.

Bahkan, kerajaan-kerajaan saat itu juga banyak memiliki budak. Kerajaan yang bersifat feodal berusaha menghegemoni masyarakat dengan jargon raja Sang Amurwa Rat yang artinya raja berkuasa atas dunia dan manusianya.

Hal itu membuat raja bebas melakukan apa saja. “Waktu itu belum ada hukum kemanusiaan yang meluas seperti sekarang.

Yang merasa menjadi raja gede bayune, mekejang dadi (merasa hebat, semua boleh dilakukan). Yen sing nuutan, pelih ye (kalau tidak mau menurut, maka disalahkan),” tukasnya.

Karena itu, ketika ada penduduk yang tidak memiliki ahli waris, semua kekayaan seperti tanah bisa menjadi hak milik kerajaan.

Tidak hanya tanah, manusianya juga bisa dijual. Jika manusianya bagus atau memiliki kelebihan seperti menari, menabuh gamelan, dan pandai metutur (bercerita), maka dipelihara di kerajaan.

Orang tersebut kemudian dimanfaatkan untuk mengajar di kerajaan. Di Jawa, pengabdi kerajaan seperti ini disebut abdi dalem.

“Makanya, kerajaan juga disebut sebagai pusat kebudayaan karena digunakan untuk belajar berbagai macam kegiatan,” jelas akademisi asal Karangasem, itu.

Para budak ini biasanya diambil dari kerajaan yang kalah perang. Bisa juga dari rakyat yang lacur (miskin) dan tidak memiliki keterampilan apapun. Para budak ini kemudian dikirim ke luar Bali.

Orang Belanda disebut lebih suka budak dari Bali karena sifat orang Bali lebih setia dan taat pada tuannya. Di kalangan orang-orang Eropa budak dari Bali cukup terkenal.

Budak laki-lakinya dikenal memiliki kesetiaan yang besar dan keinginan belajar yang tinggi. Sementara budak perempuan Bali dikenal sebagai pengasuh yang baik, serta pandai dalam melakukan perawatan kesehatan.

Kelebihan krama Bali ini malah jadi bumerang di zaman penjajahan. “Orang Bali itu selain berbudaya, juga menjunjung tinggi norma dan etika. Selalu hormat dengan orang lain.

Apalagi dengan atasannya. Tidak hanya disukai Belanda, orang Bali  juga disukai banyak orang di dunia,” urai pria kelahiran 31 Desember 1943 itu.  (maulana sandijaya/made dwija putra/juliadi/ni kadek novi febriani/pit)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/