Warga di Desa Jinengdalem kini berusaha mengembangkan lahan-lahan non produktif menjadi lahan pertanian. Targetnya tidak muluk-muluk. Setidaknya mencukupi kebutuhan konsumsi keluarga.
EKA PRASETYA, Singaraja
KEBUN sayur di Banjar Dinas Dalem, Desa Jinengdalem itu begitu sederhana. Lokasinya tak jauh dari SDN 1 Jinengdalem. Kebun tersembunyi di belakang deretan pertokoan.
Begitu masuk areal kebun, suasana sejuk mulai terasa. Beberapa bibit sudah mulai tumbuh. Pohon kelapa di beberapa titik membuat suasana siang itu terasa begitu rindang.
Suara obrolan serta senda gurau para petani, terdengar cukup riuh siang itu. Mereka baru saja tuntas mengaplikasikan teknologi penyiraman pada kebun sayur itu.
Sehingga proses pemeliharaan kebun bisa menjadi lebih efisien, baik dari sisi waktu dan tenaga.
Lahan yang kini menjadi kebun sayuran itu, dulunya merupakan lahan tandus milik Nengah Loster, warga setempat.
Bukan hanya tandus dan tidak produktif, lahan itu dulunya juga dijadikan tempat pembuangan sampah liar.
Tepat sebulan lalu, belasan warga sepakat mengelola lahan tersebut sebagai kebun sayur mayur.
Selama seminggu penuh, warga yang mengatasnamakan diri sebagai Kelompok Pemanfaatan Lahan Non Produktif Desa Jinengdalem, bekerja keras mengolah tanah tersebut.
Tanah digemburkan. Pupuk organik diaplikasikan. Berbagai nutrisi untuk tanah diaplikasikan. Sepekan setelah tanah tuntas diolah, para petani mulai menanam bibit.
Berbagai macam bibit telah ditanam. Mulai dari bunga gumitir, cabai, kangkung, terong, timun, serta lemon.
Hingga kemarin (18/10), bibit yang ditanam telah berusia 21 hari. Tinggal menunggu waktu beberapa hari lagi hingga siap panen.
Perbekel Jinengdalem Ketut Mas Budarma mengatakan, ide pengolahan lahan tandus itu bermula sekitar 1,5 bulan silam.
Budarma mendapati fakta bahwa 25 persen dari lahan perkebunan di Desa Jinengdalem berupa lahan tandus dan nonproduktif. Warga hanya menanam tanaman keras dan kelapa.
Biasanya lahan itu baru ditanami bibit-bibit tanaman semusim pada musim hujan. Mengingat sebagian besar lahan menggunakan sistem tadah hujan.
“Tapi, itu tidak banyak. Paling beberapa saja. Itu pun tidak ada jaminan bahwa bibit akan tumbuh baik. Karena hujan tidak bisa diprediksi,” katanya.
Secara kebetulan beberapa warga mulai menghimpun diri mengembangkan lahan non produktif. Keinginan warga dan perbekel pun seperti gayung bersambut.
Komunitas dan pemerintah desa bergandengan tangan mengolah lahan. Untuk tahap awal, tanaman-tanaman yang digunakan ialah tanaman yang identik dengan kebutuhan masyarakat.
Kangkung, timun, cabai, dan melon digunakan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi sehari-hari. Sementara bunga gumitir digunakan untuk kepentingan yadnya warga setempat.
Dari lahan seluas 23 are, baru 5 are saja yang ditanami bunga, buah, dan sayur mayur. “Target kami sebenarnya tidak muluk-muluk.
Ini jadi pilot project. Jadi warga bisa konsumsi sayur dan buah dari lahan sendiri. Kalau ada lebih, bisa dijual ke pasar,” jelas Budarma.
Untuk jangka panjang, ia ingin agar warga yang memiliki lahan tandus dan non produktif, bisa melakukan hal serupa.
Sehingga muncul potensi lapangan kerja baru di bidang pertanian. Terlebih, pihak desa mencatat ada 735 orang warga yang dirumahkan karena perusahaan mereka terdampak lesunya ekonomi selama masa pandemi.
“Paling tidak yang sekarang nganggur, bisa diajak bertani. Nanti hasilnya bisa dibagi. Cukup untuk makan. Kedepan kalau pariwisata sudah pulih lagi, bisa kembali kerja ke tempat lama,” katanya.
Budarma juga menargetkan lahan itu akan dikelola secara terintegrasi. Mulai dari pengolahan sampah untuk mendapatkan pupuk organik, budidaya maggot, budidaya ikan, hingga budidaya ayam pedaging serta petelur.
Di sisi lain, petani di perkebunan itu mulai mengaplikasikan teknologi sederhana dalam pengelolaan kebun.
Yakni menggunakan aktifasi suara dalam proses penyiraman otomatis. Teknologi itu menghemat waktu dan tenaga bagi para petani.
Teknologi itu dikembangkan oleh Gede Hendi Parwadipa, 20, mahasiswa jurusan pendidikan teknologi elektro pada Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha).
Hendi tadinya hanya melancong saja ke kebun itu. Karena salah seorang keluarganya terlibat aktif dalam proses optimalisasi pengelolaan lahan.
Ia kemudian ditantang mengembangkan teknologi untuk membantu petani. Untuk tahap awal ia mengembangkan sistem aktifisi suara untuk menggerakkan mesin penyiram otomatis.
Mesin itu melakukan penyiraman dengan sistem sprinkle. Kemarin baru satu titik pipa sprinkle yang diaplikasikan teknologi tersebut.
Nantinya titik penyiraman akan ditambah, sesuai dengan kemampuan pompa. Untuk mengoperasikan pompa penyiraman, cukup mengirim pesan suara “nyalakan dynamo”.
Sementara untuk mematikan pompa, hanya mengirim pesan suara “matikan dynamo”. Meski sudah bisa diaplikasikan, Hendi menyebut teknologi itu masih memiliki kelemahan.
“Ini ada kelemahan jarak. Karena aplikasinya menggunakan Bluetooth. Rencananya saya kembangkan lagi biar pakai SMS. Tinggal kirim pesan, bisa menyalakan dan mematikan pompa.
Untuk jangka panjang, maunya saya aplikasikan pengoperasian pompa otomatis dengan sistem waktu. Karena rencananya kebun ini kan mau pakai sistem irigasi tetes,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Kelompok Pemanfaatan Lahan Non Produktif Desa Jinengdalem Ngurah Ardika mengatakan, teknologi penyiraman otomatis itu cukup membantu. Biasanya penyiraman dilakukan tiap pagi dan sore hari.
“Sekali penyiraman itu perlu waktu hampir 1 jam. Belum lagi cek hama, gulma, aplikasi pupuk di tanaman.
Kalau ada teknologi begini kan lumayan, bisa hemat waktu 1 jam. Waktunya bisa digunakan untuk kerjakan yang lain,” kata Ardika. (*)