28 C
Jakarta
22 September 2024, 1:54 AM WIB

Napak Tilas Sejarah Balingkang, Kolaborasi Barongsai dan Barongket

Seniman asal Bali dan Tiongkok bekerjasama. Mereka menampilkan sebuah kolaborasi seni yang digarap secara apik. Pementasan itu menuai decak kagum dari penonton.

 

EKA PRASETYA, Singaraja

TIGA barong muncul di atas panggung. Dua diantaranya adalah barongsai, satu lagi barong ket. Ketiga barong ini kemudian melakukan kolaborasi.

Tak lama kemudian muncul dua barong landung sebagai simbol perwujudan Raja Sri Jaya Pangus dan Permaisuri Kang Ching Wei.

Pementasan itu berlangsung selama hampir 20 menit. Meski dipentaskan dalam waktu singkat, pementasan itu berhasil memukau penonton yang memadati Gedung Kesenian Gde Manik, kemarin malam.

Pementasan malam itu merupakan buah kerjasama antara Konsulat Jenderal Republik Rakyat Tiongkok dan Pemerintah Kabupaten Buleleng.

Diplomasi budaya itu bermula dari pementasan rutin yang digelar Disbud Buleleng pada hari Jumat tiap pekannya. Pementasan itu rupanya menarik perhatian Konjen Tiongkok.

Pihak konsulat pun menawarkan kerjasama budaya dengan Pemkab Buleleng. Gayung bersambut, kerjasama pun terjalin.

Untuk tahap awal, digelar pementasan budaya antara dua negara. Konjen Tiongkok memboyong seniman dari Provinsi Fujian.

Sementara Pemkab Buleleng mengoptimalkan potensi di Tim Kesenian Disbud Buleleng, termasuk sanggar seni yang ada di Buleleng.

Salah satu kesenian yang menarik disimak, adalah kolaborasi antara barongsai dengan barong ket. Kedua kesenian ini diyakini berasal dari kiblat yang sama, yakni Tiongkok.

Kesenian ini pun menggambarkan rwa bhinneda dalam keyakinan Hindu atau yin-yang dalam keyakinan Tionghoa.

Dua hal berbeda yang sebebarnya berdampingan dan tak dapat dihilangkan dari kehidupan manusia. Dalam proses kolaborasi itu, ditampilkan pura Barong Landung.

Barong Landung merupakan perlambang dari penguasa Kerajaan Balingkang pada tahun 1181, yakni Sri Jaya Pangus dan istrinya Kang Ching Wie yang berasal dari Tiongkok.

Kang Ching Wie juga diyakini mengenalkan sejumlah kebudayaan Tiongkok ke Bali, termasuk barongsai yang kemudian diadopsi dalam berbagai wujud barong di Bali.

Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng Gede Komang mengatakan, proses kolaborasi seni itu dilakukan dalam waktu singkat.

Tim kesenian Tiongkok dan Disbud Buleleng hanya memiliki waktu selama dua pekan untuk berlatih. Mulai dari menyamakan persepsi pemenatasan, olah gerak, hingga olah tabuh yang digunakan.

Perbedaan bahasa, tak dipungkiri memengaruhi proses penyelarasan kerjasama menjadi agak terkendala.

“Syukurnya semua berjalan lancar. Kami sengaja tampilkan barongsai dan barong ket karena ada filosofinya. Barongsai itu simbol Budha,

sedangkan barong ket itu simbol Siwa. Jadi ada pertemuan antara Siwa-Budha di Bali, termasuk dalam hal keyakinan,” kata Gede Komang.

Konsul Jenderal Tiongkok Gou Haodong mengatakan, dari sekian banyak kerjasama budaya yang digelar Konjen Tiongkok, pertunjukan semalam yang dianggap paling luar biasa.

Gou juga mengaku terkesan dengan pementasan Tari Trunajaya yang begitu energik. Gou mengatakan kerjasama antara Indonesia dengan Tiongkok sudah berjalan selama ribuan tahun.

Khusus dengan Bali, kerjasama diyakini sudah terjadi sejak 1811 sejak masa Kerajaang Balingkang kuna. Sehingga sedikit banyak, ada kesamaan antara kesenian dan kebudayaan yang ada di Bali dengan Tiongkok.

Menurutnya kesamaan budaya itu bisa menjadi daya tarik besar bagi warga Tiongkok yang ingin berwisata ke Bali.

“Saat ini banyak wisatawan Tiongkok yang fokus di Bali Selatan. Saya kira Bali Utara punya potensi pariwisata budaya

yang begitu luar biasa. Itu akan jadi pendorong sehingga banyak turis yang berkunjung ke Buleleng,” ujarnya.

Sementara itu Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana mengatakan budaya Tionghoa telah menjadi aset budaya lokal di Buleleng. Terutama dalam hal akulturasi budaya.

“Salah satu indikator yang mendukung pernyataan tersebut yaitu orang Bali menganggap orang China sebagai kakak tertua dan memasukan unsur-unsur budaya China dalam kesenian dan ritual adat,” ungkapnya.
Lebih lanjut Bupati Suradnyana menyebutkan, begitu banyak akulturasi budaya antara Bali dan China. Cerita Sampik Ingtai menjadi salah satunya.

Selain itu, penggunaan uang kepeng dalam setiap upacara agama Hindu di Bali juga ditengarai sebagai bagian akulturasi budaya masa lalu.

“Dari keterkaitan di bidang sejarah antara kebudayaan China dan Bali, maka dapat kita jadikan awal kerja sama antara Pemkab Buleleng dengan Konjen RRT dalam bentuk kerja sama ekonomi dan budaya,” demikian Agus.

Selain pementasan Tari Trunajaya serta kolaborasi antara barongsai dan barong ket, juga dipentaskan sejumlah kesenian lain.

Yakni tarian masyarakat Minnan, pertunjukan wayang golek khas Tiongkok, nyanyian tradisional daerah Minnan, permainan alat musik phi-pa yang notabene alat musik khas Tiongok,

pertunjukan keterampilan seni gunting kertas, permainan wayang golek tradisional Kota Zhang Zhou, permainan alat musik Tiongkok hu-lu-si, kolaborasi manusia dan boneka wayang, serta nyanyian dan tarian Tiongkok. (*)

 

Seniman asal Bali dan Tiongkok bekerjasama. Mereka menampilkan sebuah kolaborasi seni yang digarap secara apik. Pementasan itu menuai decak kagum dari penonton.

 

EKA PRASETYA, Singaraja

TIGA barong muncul di atas panggung. Dua diantaranya adalah barongsai, satu lagi barong ket. Ketiga barong ini kemudian melakukan kolaborasi.

Tak lama kemudian muncul dua barong landung sebagai simbol perwujudan Raja Sri Jaya Pangus dan Permaisuri Kang Ching Wei.

Pementasan itu berlangsung selama hampir 20 menit. Meski dipentaskan dalam waktu singkat, pementasan itu berhasil memukau penonton yang memadati Gedung Kesenian Gde Manik, kemarin malam.

Pementasan malam itu merupakan buah kerjasama antara Konsulat Jenderal Republik Rakyat Tiongkok dan Pemerintah Kabupaten Buleleng.

Diplomasi budaya itu bermula dari pementasan rutin yang digelar Disbud Buleleng pada hari Jumat tiap pekannya. Pementasan itu rupanya menarik perhatian Konjen Tiongkok.

Pihak konsulat pun menawarkan kerjasama budaya dengan Pemkab Buleleng. Gayung bersambut, kerjasama pun terjalin.

Untuk tahap awal, digelar pementasan budaya antara dua negara. Konjen Tiongkok memboyong seniman dari Provinsi Fujian.

Sementara Pemkab Buleleng mengoptimalkan potensi di Tim Kesenian Disbud Buleleng, termasuk sanggar seni yang ada di Buleleng.

Salah satu kesenian yang menarik disimak, adalah kolaborasi antara barongsai dengan barong ket. Kedua kesenian ini diyakini berasal dari kiblat yang sama, yakni Tiongkok.

Kesenian ini pun menggambarkan rwa bhinneda dalam keyakinan Hindu atau yin-yang dalam keyakinan Tionghoa.

Dua hal berbeda yang sebebarnya berdampingan dan tak dapat dihilangkan dari kehidupan manusia. Dalam proses kolaborasi itu, ditampilkan pura Barong Landung.

Barong Landung merupakan perlambang dari penguasa Kerajaan Balingkang pada tahun 1181, yakni Sri Jaya Pangus dan istrinya Kang Ching Wie yang berasal dari Tiongkok.

Kang Ching Wie juga diyakini mengenalkan sejumlah kebudayaan Tiongkok ke Bali, termasuk barongsai yang kemudian diadopsi dalam berbagai wujud barong di Bali.

Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng Gede Komang mengatakan, proses kolaborasi seni itu dilakukan dalam waktu singkat.

Tim kesenian Tiongkok dan Disbud Buleleng hanya memiliki waktu selama dua pekan untuk berlatih. Mulai dari menyamakan persepsi pemenatasan, olah gerak, hingga olah tabuh yang digunakan.

Perbedaan bahasa, tak dipungkiri memengaruhi proses penyelarasan kerjasama menjadi agak terkendala.

“Syukurnya semua berjalan lancar. Kami sengaja tampilkan barongsai dan barong ket karena ada filosofinya. Barongsai itu simbol Budha,

sedangkan barong ket itu simbol Siwa. Jadi ada pertemuan antara Siwa-Budha di Bali, termasuk dalam hal keyakinan,” kata Gede Komang.

Konsul Jenderal Tiongkok Gou Haodong mengatakan, dari sekian banyak kerjasama budaya yang digelar Konjen Tiongkok, pertunjukan semalam yang dianggap paling luar biasa.

Gou juga mengaku terkesan dengan pementasan Tari Trunajaya yang begitu energik. Gou mengatakan kerjasama antara Indonesia dengan Tiongkok sudah berjalan selama ribuan tahun.

Khusus dengan Bali, kerjasama diyakini sudah terjadi sejak 1811 sejak masa Kerajaang Balingkang kuna. Sehingga sedikit banyak, ada kesamaan antara kesenian dan kebudayaan yang ada di Bali dengan Tiongkok.

Menurutnya kesamaan budaya itu bisa menjadi daya tarik besar bagi warga Tiongkok yang ingin berwisata ke Bali.

“Saat ini banyak wisatawan Tiongkok yang fokus di Bali Selatan. Saya kira Bali Utara punya potensi pariwisata budaya

yang begitu luar biasa. Itu akan jadi pendorong sehingga banyak turis yang berkunjung ke Buleleng,” ujarnya.

Sementara itu Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana mengatakan budaya Tionghoa telah menjadi aset budaya lokal di Buleleng. Terutama dalam hal akulturasi budaya.

“Salah satu indikator yang mendukung pernyataan tersebut yaitu orang Bali menganggap orang China sebagai kakak tertua dan memasukan unsur-unsur budaya China dalam kesenian dan ritual adat,” ungkapnya.
Lebih lanjut Bupati Suradnyana menyebutkan, begitu banyak akulturasi budaya antara Bali dan China. Cerita Sampik Ingtai menjadi salah satunya.

Selain itu, penggunaan uang kepeng dalam setiap upacara agama Hindu di Bali juga ditengarai sebagai bagian akulturasi budaya masa lalu.

“Dari keterkaitan di bidang sejarah antara kebudayaan China dan Bali, maka dapat kita jadikan awal kerja sama antara Pemkab Buleleng dengan Konjen RRT dalam bentuk kerja sama ekonomi dan budaya,” demikian Agus.

Selain pementasan Tari Trunajaya serta kolaborasi antara barongsai dan barong ket, juga dipentaskan sejumlah kesenian lain.

Yakni tarian masyarakat Minnan, pertunjukan wayang golek khas Tiongkok, nyanyian tradisional daerah Minnan, permainan alat musik phi-pa yang notabene alat musik khas Tiongok,

pertunjukan keterampilan seni gunting kertas, permainan wayang golek tradisional Kota Zhang Zhou, permainan alat musik Tiongkok hu-lu-si, kolaborasi manusia dan boneka wayang, serta nyanyian dan tarian Tiongkok. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/