25.8 C
Jakarta
26 April 2024, 7:38 AM WIB

Tembok Bolong-bolong, Hidup Ngepas, Keluarga Wijaya Kerap Diteror Ular

Klungkung mendapat pujian dari Badan Statistik Bali (BPS) sebagai salah satu kabupaten di Bali yang paling sukses menekan angka kemiskinan. Meski begitu, bukan berarti tidak ada kemiskinan di Gumi Serombotan. Ngurah Wijaya dan Ngurah Suartana adalah contoh nyata.



DEWA AYU PITRI ARISANTI, Semarapura

Berprofesi sebagai pemulung dengan penghasilan tidak menentu membuat keluarga I Gusti Ngurah Wijaya, 50, warga Dusun Sari Merta, hidup serba pas-pasan.

Saking kecilnya pendapatan ayah dua orang anak itu dari memulung, mereka terpaksa tidur di kamar dengan tembok yang berlubang dan tidak jarang dimasuki ular.

Ditemui di rumahnya yang sederhan, Wijaya menuturkan, dengan gangguan pendengaran yang dideritanya, serta tidak primanya kondisi fisik, dia harus puas dengan pekerjaannya sebagai pemulung.

Tidak banyak uang yang bisa dia peroleh dari profesinya tersebut. Untuk itu dia dan keluarga kecilnya harus pintar-pintar menggunakan uang.

“Per hari paling banyak dapat Rp 50 ribu. Biasanya istri saya juga bantu memulung,” katanya. Memiliki dua anak yang masih

duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dan SMA, menurutnya, penghasilannya tersebut lebih terfokus untuk kebutuhan sekolah dan makan.

Karena itu, meski tembok rumahnya mulai bolong dimakan usia, dan genting-gentinya juga mulai bocor, dia mengaku tidak bisa berbuat apa.

“Saat tidur, tiba-tiba ada ular jatuh dari atas. Kepala anak saya juga pernah dijatuhin ular,” tutur Ngurah Wijaya.

Masih berada di pekarangan rumah yang sama, rumah miliki I Gusti Ngurah Suartana juga tidak kalah memprihatinkan.

Berprofesi sebagai pemetik kelapa, membuat penghasilan Suartana tidak menentu. Biasanya sekali memetik kelapa, dia bisa mendapat upah sebesar Rp 50 ribu dari pemilik kelapa.

“Tapi tidak setiap hari ada orang nyuruh memetik kelapa. Seminggu kadang dua kali, kadang juga tidak ada,” ujarnya.

Dengan kondisi keuangan seperti itu, dia mengaku tidak bisa berbuat apa dengan rumahnya yang kian hari kian menua.

Itu bisa dilihat dari dari retakan di sejumlah dinding, serta bocor di beberapa genting. Meski begitu, dia terpaksa tetap tinggal dan tidur di rumah yang sewaktu-waktu bisa roboh itu.

“Rasa takut ada, tapi mau bagaimana. Saya tidak punya apa,” terang Suartana. Melihat kondisi warganya yang serba terbatas,

Wakil Bupati Klungkung, I Made Kasta meminta Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Klungkung untuk menindaklanjuti.

“Ini harus dipercepat karena ini sudah tidak layak untuk dihuni. Tidur ditemani ular, itu sudah tidak etis dari sisi kemanusiaan. Kami berharap Dinas Sosial bisa lebih jeli untuk mengecek keadaan RTM (rumah tangga miskin),” tandasnya.

Klungkung mendapat pujian dari Badan Statistik Bali (BPS) sebagai salah satu kabupaten di Bali yang paling sukses menekan angka kemiskinan. Meski begitu, bukan berarti tidak ada kemiskinan di Gumi Serombotan. Ngurah Wijaya dan Ngurah Suartana adalah contoh nyata.



DEWA AYU PITRI ARISANTI, Semarapura

Berprofesi sebagai pemulung dengan penghasilan tidak menentu membuat keluarga I Gusti Ngurah Wijaya, 50, warga Dusun Sari Merta, hidup serba pas-pasan.

Saking kecilnya pendapatan ayah dua orang anak itu dari memulung, mereka terpaksa tidur di kamar dengan tembok yang berlubang dan tidak jarang dimasuki ular.

Ditemui di rumahnya yang sederhan, Wijaya menuturkan, dengan gangguan pendengaran yang dideritanya, serta tidak primanya kondisi fisik, dia harus puas dengan pekerjaannya sebagai pemulung.

Tidak banyak uang yang bisa dia peroleh dari profesinya tersebut. Untuk itu dia dan keluarga kecilnya harus pintar-pintar menggunakan uang.

“Per hari paling banyak dapat Rp 50 ribu. Biasanya istri saya juga bantu memulung,” katanya. Memiliki dua anak yang masih

duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dan SMA, menurutnya, penghasilannya tersebut lebih terfokus untuk kebutuhan sekolah dan makan.

Karena itu, meski tembok rumahnya mulai bolong dimakan usia, dan genting-gentinya juga mulai bocor, dia mengaku tidak bisa berbuat apa.

“Saat tidur, tiba-tiba ada ular jatuh dari atas. Kepala anak saya juga pernah dijatuhin ular,” tutur Ngurah Wijaya.

Masih berada di pekarangan rumah yang sama, rumah miliki I Gusti Ngurah Suartana juga tidak kalah memprihatinkan.

Berprofesi sebagai pemetik kelapa, membuat penghasilan Suartana tidak menentu. Biasanya sekali memetik kelapa, dia bisa mendapat upah sebesar Rp 50 ribu dari pemilik kelapa.

“Tapi tidak setiap hari ada orang nyuruh memetik kelapa. Seminggu kadang dua kali, kadang juga tidak ada,” ujarnya.

Dengan kondisi keuangan seperti itu, dia mengaku tidak bisa berbuat apa dengan rumahnya yang kian hari kian menua.

Itu bisa dilihat dari dari retakan di sejumlah dinding, serta bocor di beberapa genting. Meski begitu, dia terpaksa tetap tinggal dan tidur di rumah yang sewaktu-waktu bisa roboh itu.

“Rasa takut ada, tapi mau bagaimana. Saya tidak punya apa,” terang Suartana. Melihat kondisi warganya yang serba terbatas,

Wakil Bupati Klungkung, I Made Kasta meminta Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Klungkung untuk menindaklanjuti.

“Ini harus dipercepat karena ini sudah tidak layak untuk dihuni. Tidur ditemani ular, itu sudah tidak etis dari sisi kemanusiaan. Kami berharap Dinas Sosial bisa lebih jeli untuk mengecek keadaan RTM (rumah tangga miskin),” tandasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/