African swine fever (ASF) atau deman babi Afrika masih menghantui sejumlah peternak babi di Bali. Lantaran wabah ASF yang menyerang sejak tahun 2020 itu, ratusan ribu babi mati.
Virus ASF yang kini masih massif menular di Bali tidak membuat Ketut Jaya Ada, peternak babi asal Desa Baru, Kecamatan Marga Tabanan ketakutan untuk memelihara babi.
JULIADI, Tabanan
BEKAS kandang ayam potong seluas 4 are itulah yang dimanfaatkan kembali oleh Ketut Jaya Ada untuk beternak babi bertahun-bertahun lamanya.
Kekhawatiran akan serangan virus ASF yang masih mewabah tak menyurutkan niat dan konsistennya untuk tetap beternak babi.
Jika flashback ulang saat virus ASF menyerang peternak babi di Bali tahun 2020 lalu, petugas kesehatan hewan di Dinas Pertanian Tabanan, ini, tak menyangka ternak babinya bakal mati.
“Astungkara ketika para peternak babi ribut dengan wabah ASF dan berlomba-lomba menjual babi karena kekhawatiran mati, saya tidak demikian.
Saya berusaha tetap beternak seperti biasanya,” ucap Ketut Jaya Ada ditemui di kandang babi miliknya di Banjar Dinas Baru, Desa Baru, Kecamatan Marga, beberapa waktu lalu.
Beternak babi, Ketut Jaya mengaku, sudah menjadi hidup kesehariannya. Secara umum di Bali beternak babi memang sudah menjadi peternakan rakyat.
Mengapa demikian, karena kebutuhan babi selain sebagai daging potong juga dijadikan sebagai sarana upacara setiap ritual keagamaan di masyarakat Hindu Bali.
Seiring perkembangan zaman, beternak babi tidak cukup hanya beternak semata, cukup dengan memberikan pakan pada babi.
Tetapi harus mengikuti perkembangan pengetahuan perihal kesehatan hewan, kualitas pakan, kandang, sanitasi hingga bibit babi yang dihasilkan.
“Selama ini saya yang lihat itu yang masih diabaikan oleh masyarakat Bali yang beternak babi,” ungkap pria berusia 39 tahun.
Sebenarnya beternak tidaklah mudah, jika melihat kondisi sekarang ini. Di mana para pengusaha babi dan peternak masih dihantui virus ASF yang masih menyerang.
Diakui Ketut Jaya, ada tiga kata kunci ketika harus memulai beternak babi di Bali. Mulailah dengan bio security pada kandang babi.
Selama ini bio security belum diterapkan oleh peternak babi. Menurutnya, meski harus beternak babi skala rumahan (KK),
antara kandang babi dan rumah tempat tinggal harus memiliki jarak dan sekat maksimal sekitar 5 meter dari tempat tinggal.
Kandang babi jika berada di belakang rumah dibuatlah sekat (pembatas). Kemudian usahakan kondisi kandang tetap kering, karena lembab, kotor dan bau otomatis itu yang mengundang kuman, virus dan bakteri datang.
Karena menurutnya, virus ASF bisa ditularkan melalui lalat. Selain itu kebutuhan pakan harus terjaga dan harus bersih.
“Selanjutnya sanitasi, selain mencakup kebersihan kadang, juga menyangkut sterilisasi kandang. Bagaimana para peternak babi rutin penyemprotan
disinfektan setiap dua kali dalam sehari dan yang paling penting juga tidak sembarang orang bisa masuk dalam kandang,” bebernya.
Yang paling penting penguatan genetik. Dimana bibit babi yang dihasilkan unggul. Dalam menghasilkan bibit babi yang unggul,
peternak babi harus menghindari perkawinan babi sedarah atau sesama jenis agar bibit babi yang dihasilkan tidak cacat dan mudah sakit.
Khusus untuk babi indukan betina sangat cocok dengan jenis landrace. Karena karakter babi landrace sifatnya keibuan.
Kemudian susu yang dihasilkan sangat baik. Sedangkan untuk pejantan boleh menggunakan babi Yorkshire, duroc dan pietrain.
Perkawinan kemudian dilakukan dengan inseminasi buatan (kawin suntik). Mengapa dengan kawin suntik? Menurutnya, agar dapat menentukan sperma pilihan pada babi.
Karena babi jantan yang unggul dapat mengawinkan bibit babi betina lainnya. “Kalau kawin suntik dari sperma babi jantan dapat mengetahui bahwa babi tersebut berapa kali kawin,
bahkan asalnya dari mana. Karena babi melakukan perkawinan ada batasannya untuk menghasilkan bibit yang unggul dan tahan terhadap serangan virus dan lainnya,” tutur Ketut Jaya.
Lantaran babinya masih dapat bertahan ditengah wabah ASF, Ketut Jaya beserta 10 anggota Kelompok Ternak Babi Sekar Nadi
kerap kali dikunjungi oleh para pakar hewan dan mahasiswa dari Universitas udayana dan Universitas Warmadewa untuk melakukan penelitian.
“Saat ini saya beserta kelompok ternak babi masih memelihara babi. Dengan ratusan ekor babi yang masih bertahan. Karena dalam setiap satu anggota kelompok
memelihara babi sebanyak 30-35 ekor. Dengan kisaran berat babi mencapai 130-150 kilogram. Sedangkan indukkan babi dengan berat 300-350 kilogram,” pungkasnya. (*)