SINGARAJA – Sejumlah pemilih lahan yang terdampak proyek pembangunan ruas jalan shortcut 7-10 secara resmi mengajukan keberatan pada Tim Pembebasan Lahan.
Rencananya keberatan itu akan diteruskan pada Pengadilan Negeri Singaraja, sehingga dapat dilakukan proses konsinyasi pembayaran.
Dalam proses pembebasan lahan jalan shortcut titk 7-10, tercatat ada 299 bidang yang terdampak. Sebanyak 169 bidang telah menyatakan kata sepakat menerima ganti rugi.
Selain itu, ada 19 bidang yang akan diselesaikan lewat konsinyasi di pengadilan. Sementara 111 lainnya, masih melengkapi dokumen penunjang.
Sekretaris Tim Pembebasan Lahan Ngurah Mahartha mengatakan, cukup banyak warga yang belum bisa melengkapi dokumennya.
Misalnya sertifikat yang kini tengah disimpan di luar Bali. Selain itu ada sejumlah proses jual beli yang tidak tercatat di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Contohnya, tanah yang melalui proses jual beli pada tahun 2013 lalu. Ternyata tanah itu belum dibuatkan Akta Jual Beli (AJB) di PPAT.
Entah itu di notaris maupun di camat. Tanah yang belum dilengkapi AJB, tak dapat divalidasi oleh Kantor Pertanahan.
“Sesuai undang-undang, segala jual beli tanah yang terjadi di atas tahun 1997 itu harus ada akta jual beli di PPAT. Kalau tanah yang tidak ada akta jual beli kemudian divalidasi,
kami bisa terindikasi konspirasi. Nggak main-main, kami bisa kena penggelapan pajak penjual, pajak pembeli, dan BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan,” kata Mahartha.
Terhadap permasalahan itu, Mahartha menyebut pihaknya masih meminta pertimbangan ke sejumlah pihak.
Di antaranya pada Kantor Wilayah Pertanahan Bali, Kejaksaan Negeri Buleleng, bahkan tak menutup kemungkinan meminta penetapan pengadilan.
“Masyarakat kan sekarang posisinya terjepit. Tanah mereka kena jalur, dan itu harus dapat ganti rugi. Kami coba minta legal opinion, biar masalah ini tidak buntu,” tegasnya.
Lebih lanjut Mahartha mengatakan, ada 19 bidang tanah yang akan dibayarkan melalui proses konsinyasi di Pengadilan Negeri Singaraja.
Total biaya yang akan dititipkan di pengadilan mencapai Rp 5,96 miliar. Langkah konsinyasi diambil karena sejumlah pertimbangan.
Di antaranya 7 pemilik tanah tidak hadir saat musyawarah ganti rugi, 2 pemilik tanah sertifikatnya tengah menjadi agunan di bank, dan 10 lainnya telah mengajukan keberatan.
Warga yang mengajukan keberatan itu pun cukup beragam alasannya. Ada yang menganggap harga yang ditawarkan tidak layak,
biaya ganti rugi imaterial tidak diperhitungkan, serta kerugian imaterial akibat pemindahan tempat ibadah (sanggah kemulan) juga tak turut diperhitungkan.