Pada masanya, dongeng sudah jadi hal yang akrab di masyarakat. Pada masa lalu, masyarakat Bali mengisahkan dongeng secara turun temurun melalui cerita tantri. Kini dongeng tak lagi familiar. Pegiat sastra di Bali Utara pun berusaha mengembalikan kejayaan dongeng.
Eka Prasetya, Buleleng
SASTRAWAN Cok Sawitri mengeksplorasi panggung terbuka di Wantilan Sasana Budaya. Dia tampil dengan mengenakan baju kemeja merah dan alas kaki berbentuk sapi.
Siang itu, dia tampil atraktif di atas panggung dengan membawakan dongeng berjudul “Sang Landean”. Dongeng yang sarat pesan. Salah satunya mengajak agar mamsyarakat hidup sehat dengan mengonsumsi makanan sederhana namun bergizi.
Cok Sawitri hanya salah seorang penampil pada pembukaan Festival Mendongeng yang dilaksanakan Komunitas Mahima. Festival itu dimulai sejak Kamis (22/7) dan akan berlangsung hingga Selasa (27/9) mendatang.
Festival Mendongeng sebenarnya bermula dari kegiatan Mendongeng dari Rumah yang diinisasi Komunitas Mahima pada 2020 lalu. Tatkala pandemi melanda, aktivitas dibatasi, komunitas yang bergerak di bidang seni, sastra, dan pendidikan itu menyelenggarakan kegiatan mendongeng. Caranya melakukan live dari akun media sosial.
Hal itu kemudian berlanjut pada tahun 2021. Pendongeng yang terlibat juga makin banyak. Bukan hanya berasal dari Bali, tapi juga dari seluruh Indonesia. Tahun ini, seiring dengan meredanya pandemi, kegiatan itu diperluas menjadi Festival Mendongeng.
Ketua Komunitas Mahima, Kadek Sonia Piscayanti mengungkapkan, festival itu berawal dari gagasan sederhana. Yakni mempopulerkan kembali dongeng di masyarakat. Baik pada anak maupun orang tua.
“Kami sadar dongeng itu semakin redup dan semakin ditinggalkan, karena ada gadget. Padahal di dongeng itu ada banyak sekali nilai-nilai Pendidikan karakter,” kata Sonia.
Sonia menjelaskan, festival itu dilangsungkan secara hybrid. Sejumlah kegiatan seperti workshop dan bursa buku, dilakukan secara offline. Sementara pertunjukan teater, bedah buku, serta lomba mendongeng, dilakukan secara online.
Dalam kegiatan pertunjukan, ada sejumlah pendongeng yang terlibat. Selain Cok Sawitri, ada pula dr. Putu Arya Nugraha, Sp.PD yang menceritakan dongeng berjudul “Dinosaurus versus Virus”, dan Luh Wanda yang mendongeng “Dadong Dauh”. Penampilan mereka diiringi oleh Tini Wahyuni yang menabuh gender.
Festival yang digelar secara mandiri oleh komunitas itu, mendapat apresiasi dari pemerintah. Sekkab Buleleng Gede Suyasa hadir dan membuka acara tersebut.
Suyasa menyadari dongeng kini kian terdegradasi. Sekitar dua dekade silam, mendongeng lazim dilakukan orang tua pada anak-anaknya sebelum tidur. Kegiatan itu menimbulkan interaksi dan keterikatan batin yang kuat antara orang tua dan anak. Dongeng juga sarat pesan moral.
Kini seiring dengan digitalisasi, dongeng telah ditinggalkan. “Anak kita lebih ramah dengan ponsel. Mencari cerita lewat ponsel, lewat media sosial. Tapi di sana tidak ada seleksi. Pesan yang disampaikan juga belum tentu sesuai harapan kita,” kata Suyasa.
Ia pun berharap agar kegiatan mendongeng kembali dimasyarakatkan. Suyasa menginstruksikan agar sekolah-sekolah, baik di jenjang sekolah dasar maupun SMP, mengenalkan kembali dongeng pada siswanya.
Selain itu Dinas Arsip dan Perpustakaan juga diminta memperkaya koleksi buku yang terkait dengan dongeng. “Dongeng itu selalu menyelipkan pesan kehidupan yang baik. Dongeng juga menghaluskan jiwa. Makanya dongeng harus tetap hidup dan lestari, meski digempur teknologi,” demikian Suyasa. (*)